Skripsi merupakan sebuah karya tulis yang di buat oleh mahasiswa tingkat dalam rangka memenuhi tugas akhir untuk menyelesaikan jenjang Strata 1 (S1). Membuat sebuah skripsi tidak lah sulit, hanya saja mahasiswa harus memiliki keuletan dan rajin membaca. selain itu, agar skripsi yang diba cepat selesai, mahasiswa harus rajin bimbingan dan mengerjakan revisi sesuai hasil bimbingan.
Berikut ini E-Jurnal skripsi yang telah saya beuat ketika menyelesaikan jenjang S1 yang berjudul "Ketidakadilan Gender dalam Novel Midah Simanis Bergigi Emas Karya Pramoedya Ananta Toer (Analisis Karya Sastra Feminis)
KETIDAKADILAN GENDER
DALAM NOVEL “MIDAH SIMANIS BERGIGI EMAS”
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(ANALISIS
KARYA SASTRA FEMINIS)
oleh
NURHAYATI
2108120044
ABSTRAK
Penelitian
ini berjudul Ketidakadilan Gender Dalam Novel “Midah
Simanis Bergigi Emas” Karya Pramoedya Ananta Toer (Analisis Karya Sastra
Feminis) dan dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa di dalam kehidupan masyarakat banyak
terjadi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, sehingga penulis tertarik
untuk mengkaji bentuk feminisme berdasarkan perspektif gender pada sebuah novel
karya penulis terkenal berjudul Midah
Simanis Bergigi Emas” karya Pramoedya Ananta Toer. Bertolak pada latar belakang
masalah di atas, maka dalam penelitian ini dirumuskan masalahnya sebagai
berikut, “Bagaimana bentuk ketidakadilan gender dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer?”, sedangkan tujuan yang ingin dicapai yaitu untuk
mendeskripsikan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer. Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode deskripsi. Adapun fokus penelitian yang
dikaji yaitu analisis bentuk ketidakadilan gender dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer dengan sub fokus penelitiannya berupa marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja. Berdasarkan
hasil analisis bentuk ketidakadilan gender yang tedapat dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Bentuk
Marginalisasi mengacu pada marginalisasi berdasarkan tempat pekerjaan dan yang terjadi di dalam masyarakat atau kultur.
2) Bentuk Subordinasi, yaitu
adanya penempatan posisi yang tidak penting. 3)
Bentuk Stereotipe, yaitu
pelabelan negatif. 4) Bentuk Kekerasan,
yaitu Pemerkosaan terhadap perempuan, tindakan pemukulan dan serangan fisik
yang terjadi dalam rumah tangga (domestic
violence), dan kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). 5) Bentuk Beban Kerja,
yaitu Pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Hasil penelitian ini dapat
diimplikasikan pada masyarakat dan dunia pendidikan.
Kata
Kunci: Novel, Feminisme, Ketidakadilan Gender
|
Sastra merupakan
pengungkapan perasaan berdasarkan pengalaman hidup manusia yang dituangkan
dalam sebuah karya sehingga dapat dinikmati oleh orang banyak. Hal ini
sebagaimana diungkapkan Saini (1998: 3) bahwa, “Sastra adalah ungkapan
pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,
keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan
alat bahasa”. Dalam pengungkapannya, penulis seringkali menumpahkan emosi,
kekesalan, kebencian, bahkan kegembiraan. Sehingga sastra ini bisa menjadi
sebuah karya yang indah. Sesuai dengan pernyataan Wellek dan Austin (1989: 3)
sebagai berikut, “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni”.
Seiring berkembangnya
zaman, pembagian karya sastra sangat beragam. seperti pendapat Aristoteles dan
Horace dalam Wellek dan Austin (1989: 300) yakni, “Penggolongan dua jenis utama
sastra, yaitu tragedi dan epik”. Luxemberg, dkk (1991:23) menambahkan ragam
sastra atau genre sastra menjadi beberapa bagian sebagai berikut, “Sajak lirik
dan sajak peristiwa; ode, sonata dan balada; cerita pendek dan novel, tragedi,
komedi dan drama keluarga”.
Berdasarkan
kedua pendapat di atas jika dilihat berdasarkan sifatnya sastra terbagi menjadi
dua bagian. Seperti yang diungkapkan Saini (1988:18), “Sastra juga merupakan
suatu bentuk karya seni yang berupa lisan maupun tulisan, didalamnya berisi nilai-nilai serta unsur tertentu lainnya yang bersifat
imajinatif dan non imajinatif”. Sastra yang
bersifat imajinatif yakni karya sastra yang berdasarkan daya khayal penulis
seolah-oleh benar adanya, sedangkan sastra nonimajinatif yakni tanpa adanya
rekaan atau khayalan. Karya ini berdasarkan kenyataan. Sastra yang bersifat
imajinatif diantaranya prosa fiksi (novel, cerpen, epik), puisi, dan drama,
sedangkan sastra yang bersifat non imajinatif adalah khotbah, esai, surat
menyurat, dan sebagainya.
Istilah fiksi
diartikan sebagai cerita yang tidak nyata. Pujiharto (2012: 7) menjelaskan,
“Kata fiksi jauh lebih mengesankan secara kuat pada arti sesuatu yang tidak
nyata”. Artinya kata fiksi berarti sebuah cerita rekaan. Dalam karya sastra
kata fiksi biasa disebut dengan fiksi naratif. Wellek dan Werren dalam
Pujiharto (2012: 8) menyebutkan bahwa, “Dua ragam fiksi naratif yang utama,
yaitu romansa (romance) dan novel.
“Romansa menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin
terjadi”(Pujiharto, 2012: 8), sedangkan “Novel adalah gambaran dari kehidupan
dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis (Pujiharto,
2012:8)”. “Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial
yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail
(Stanton, 2012:90)”. Novel memiliki pembabakan-pembabakan atau episode-episode
yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Sebagai karya
sastra, novel banyak digemari. Sebagai bukti dari kegemaran tersebut yakni
adanya proses mengapresiasi. S. Effendi dalam Aminuddin (2003: 35)
mengungkapkan bahwa, “Apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli kara sastra
secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan
pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra”. Upaya pengapresiasian
karya sastra dapat dilakukakn dengan berbagai cara, diantaranya membaca,
mengamati, dan mengkaji karya sastra dengan sungguh-sungguh. “Kegiatan
apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab
dengan teks sastra yang diapresiasinya (Aminuddin, 2003: 35)”. Salah satu
bentuk apresiasi di atas, yakni dengan adanya proses pengkajian ketidakadilan
gender dalam karya sastra.
Ketidakadilan
gender ini merupakan bagian dari kritik sastra feminis. Ratna (2013:192)
menerangkan, “Kritik sastra feminis umumnya membicarakan tradisi sastra oleh
kaum perempuan, pengalaman perempuan di dalamnya, kemungkinan adanya penulisan
khas perempuan, dan sebagainya”. Ketidakadilan gender yang terjadi pada kaum
perempuan menurut Fakih (2013:12) yakni, “Marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan
lebih banyak (burden)”.
|
LANDASAN
TEORI
1.
Ketidakadilan
Gender
Gender berbeda
dengan seks. Seks merupakan jenis kelamin yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan. Fakih (2013:8) menjelaskan, “Jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang
melekat pada jenis kelamin tertentu”. Sejalan dengan pendapat Murniati
(2004:60) bahwa, “Seks membedakan manusia laki-laki dan perempuan dari aspek
biologis (-kodrat, Ilahi)”. Meksudnya jenis kelamin manusia perempuan dan
laki-laki yang memiliki ciri khusus. Ciri khusus dari jenis kelamin perempuan
seperti yang diungkapkan Fakih (2013:8) yaitu, “Perempuan memiliki alat
reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur,
memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui”, sedangkan jenis kelamin
laki-laki menurut Fakih (2013:8) adalah, “Manusia yang memiliki penis, memiliki
jakala (kala menjing) dan memproduksi
sperma”.
Sementara itu,
gender merupakan “Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2013:8)”. Muniarti
(2004:60) menambahkan bahwa, “Gender membedakan manusia laki-laki dan perempuan
secara sosial, mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, dan sosial (=bukan kodrat,
buatan manusia dari hasil belajar)”.
Perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan ini melahirkan ketidakadilan gender. Menurut
Fakih (2013:12), “Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana
baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban sistem tersebut”. Fakih
(2013:12) juga menuturkan bahwa,
Ketidakadilan gender termanifestasikan
dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan
(violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden).
Murniati (2004: 221) mengungkapkan
bahwa, “Sistem kekuasaan di dunia dibangun di atas pandangan oposisi biner
laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan itu tercipta oposisi biner patriarkis
yang memposisikan perempuan sebagai subordinat”.
Ketidakadilan gender akan berakibat
fatal, untuk menghindarinya perempuan harus
berupaya untuk membebaskan diri. Upaya pembebasan diri ini bukan untuk memberontak, melainkan
menyetarakan gender berdasarkan kultur sosial. Seperti pernyataan kedua ahli di
atas bahwa ketidakadilan gender ini menempatkan perempuan pada posisi yang
kurang beruntung, karena laki-laki berada satu tingkat lebih tinggi daripada
perempuan.
1)
Marginalisasi
Marginalisasi
merupakan bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan. Arivia
(2006:343) mengungkapkan bahwa, “Marginalisasi ini merupakan batasan-batasan
yang diterima oleh perempuan karena adanya perbedaan gender”. “Marginalisasi
terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk
diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. (Fakih,
2013:15).
Dengan demikian
akibat dari perbedaan gender ini menimbulkan diskriminasi berupa marginalisasi
terhadap perempuan yang sangat serius. Marginalisasi membatasi kaum perempuan.
Perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki sehingga perempuan mendapatkan
batasan-batasan. Batasan-batasan perempuan bisa dilihat dari sumbernya seperti yang diutarakan Fakih (2013:14),
“Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan,
tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu
pengetahuan”.
|
2)
Subordinasi
Ketidakadilan
gender yang kedua yaitu subordinasi. Subordinasi ini merupakan, “Anggapan bahwa
perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil
memimpin, berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting (Fakih, 2013:15)”. Subordinasi pada perempuan ini bisa terjadi
dari waktu ke waktu. Suarni (92016:31) juga menuturkan,
Subordinasi
ialah sikap atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi
yang lebih rendah dibanding laki-laki. Nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
Perempuan dainggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik
atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi.
Ketidakadilan
gender ini beranggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah lembut dan
selalu mengambil keputusan berdasarkan perasaannya sendiri. Berbeda dengan
laki-laki. Laki-laki lebih mengedepankan akal sehat dan logika. Secara
kodratnya, perempuan juga bertugas sebagai ibu rumah tangga yang
mengurus segala kebutuhan domestik.
3)
Stereotipe
Stereotipe
merupakan ketidakadilan gender yang ketiga. Setereotipe ini merupakan pelabelan
negatif yang terjadi pada peempuan. “Secara umum stereotipe adalah pelabelan
atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu (Fakih, 2013:16). Stereotipe
yang terjadi ini menimbulkan ketidakadilan terutama pada perempuan. Murniati
(2004:79) menambahkan, “Ketidakadilan ini melekat pada perempuan pekerja”.
Maksudnya jabatan sebagai sekretaris ataupun bendahara lebih cocok untuk
perempuan padahal laki-laki pun dapat melakukannya, sedangkan laki-laki
menjabat sebagai direktur atau pimpinan.
4)
Kekerasan
Kekerasan
merupakan bentuk ketidakadilan yang sering terjadi pada perempuan. Kekerasan
ini marak terjadi di berbagai tempat. “Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang (Fakih, 2013:17). Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Kekerasan ini
terdapat beberapa aspek, diantaranya:
·
Pemerkosaan terhadap perempuan
·
Tindakan pemukulan dan
serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence)
·
Bentuk penyiksaan yang
mengarah kepada organ alat kelamin (genital
mutilation)
·
Kekerasan dalam bentuk
pelacuran (prostitution).
·
Kekerasan dalam bentuk
pornografi.
·
Kekerasan dalam bentuk
pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization)
·
Kekerasan terselubung (molestation).
·
Pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment
Fakih (2013:20)
mengkategorikan berbagai bentuk pelecehan seksual. Diantaranya:
1)
Menyampaikan lelucon
jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif.
2)
Menyakiti atau membuat
malu seseorang dengan omongan kotor.
3)
Mengintrogasi seseorang
tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya.
4)
Meminta imbalan seksual
dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau
janji-janji lainnya.
5)
Menyentuh atau
menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang
bersangkutan.
5)
Beban
Kerja
Beban kerja
merupakan bentuk ketidakadilan yang diberatkan pada kaum perempuan karena
adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga
adalah tugas perempuan. Seperti pendapat Fakih (2013:21), “Semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan”.
2.
Feminisme
Feminise bukan
gerakan pemberontakan pada kaum laki-laki. Feminisme merupakan gerakan yang
memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Karya sastra sangat erat hubungannya
dengan feminisme. Karya sastra dapat dikaji dengan feminisme atau biasa disebut
kritik sastra feminisme. Selain itu, para feminis juga memiliki pandangan yang
berbeda-beda mengenai aliran ini. Oleh karena itu, feminisme sangat beragam.
1)
|
Feminisme lahir
awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang
berjudul A Rom Of One’s Own (1929).
“Perkembangannya yang sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori
kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960-an (Ratna, 2013:183)”. Feminisme merupakan gerakan perempuan dalam
memperjuangkan haknya. Seringkali perempuan dianggap lebih rendah ketimbang
laki-laki. “Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti
perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak),
sebagai kelas sosial (Ratna, 2013:184)”.
Bhasin dan Nighat (1999) menambahkan pengertian mengenai feminisme
sebagai berikut, “Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan
sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut”.
2)
Jenis-Jenis
Feminisme
Feminisme
merupakan gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara perempuan dan
laki-laki. Misiyah (2006:43) menuturkan sebagai berikut,
Feminisme
adalah pemikiran yang dinamis. Berbagai varian alirannya muncul karena
kedinamisannya itu, ketanggapannya menyesuaikan diri dengan kondisi dan status
perempuan setempat. Feminisme radikal dan liberal, misalnya, berkembang di
negara-negara liberal. Feminisme sosialis dan marxis berkembang untuk menggugat
persoalan struktur kelas. Untuk menjawab
kebutuhan perempuan yang didiskriminasi karena waran kulit, berkembang aliran
feminis yang memberdayakan perempuan kulit berwarna (blak feminism), feminisme dunia ketiga/ poskolonial menjawab
persoalan dunia ketiga/ poskolonial, dan feminisme agama menjadi alat bagi
perempuan untuk mencari sumber-sumber penindasan berdasar agama.
Varian aliran
feminisme di atas berkembang sesuai dengan pemberdayaannya dalam masyarakat.
Selain itu Fakih (2013:84) menambahkan
aliran-aliran feminisme berdasarkan konflik yang terjadi antara
perempuan dan laki-laki.
Kelompok pertama
menganut teori konflik adalah Feminisme
Radikal yang sejarahnya justru muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau
diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelmin di Barat pada tahun 60-an,
khususnya sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan
diakibatkan oleh sistem patriarki. Patriarki merupakan kelompok masyarakat yang
menomorduakan kaum perempua dan semua kekuasaan berada di tangan laki-laki.
Dalam feminisme radikal, tubuh perempuan menjadi objek segala penindasan yang
dilakukan oleh kaum laki-laki.
“Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi terjadi pada setiap perempuan
yang telah mengambil aksi untuk merubah gaya hidup, pengalaman, dan hubungan
mereka sendiri terhadap kaum laki-laki (Fakih, 2013:85).
Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah Feminisme Marxis. Kelompok ini menolak
keyakinan kaum feminism Radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan
gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas
dalam hubungan produksi (Fakih, 2013:86).
Penganut paham
feminisme marxis menolak keyakinan kaum feminisme radikal.
“Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam
hubungan produksi (Fakih, 2013:86). Paham ini tidak menyalahkan sistem
patriarki, tetapi sistem kapitalisme yang menjadi penyebabnya.
Penganut aliran
konflik ketiga adalah Feminisme Sosialis.
“Bagi feminisme sosialis penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun,
bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan
(Fakih, 2013:90)”. Aliran ini setuju dengan aliran feminisme marxis bahwa
kapitalisme merupakan sumber penindasan. Akan tetapi, aliran ini juga setuju
dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
“Feminisme
sosialis juga menganggap bahwa penindasan perempuan bisa mlahirkan kesadaran
revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan
sebagai jenis kelamin (woman as sex) yang diproklamirkan oleh feminis
radikal (Fakih, 2013:92)”. Penganut aliran konflik
keempat adalah Feminisme Liberal. Aliran
ini bertumpu pada kebebasaan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk yang rasional. Pandangan dan haknya sama dengan laki-laki.
3.
Novel
Novel adalah
karangan fiksi yang berisi tentang gambaran kehidupan manusia. Pujiharto
(2012:8) menyatakan “Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang
nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis. Jumlah kata dalam novel lebih
banyak daripada cerpen. Stanton (2012:76) menegaskan “Jumlah kata dalam cerpen
harus lebih sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel”.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan
permasalahan yang diteliti, metode penelitian yang dianggap tepat yakni metode
penelitian deskriptif. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Nazir (2011:54)
bahwa, “Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang”. Selain itu Nazir (2011:55) menjelaskan
cara kerja peneliti, “Kerja peneliti, bukan saja memberikan gambaran terhadap
fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
hipotesis-hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi
dari suatu masalah yang ingin dipecahkan”.
|
1.
Metode deskriptif
berkesinambungan (continuity descriptive)
“Metode
deskriptif berkesinambungan (continuity
descriptive research), adalah kerja meneliti secara deskriptif yang
dilakukan secara terus-menerus atas suatu objek penelitian (Nazir, 2011:55)”. Teknik ini digunakan
dengan maksud untuk menganalisis data secara terus menerus hingga informasi
yang dibutuhkan terpenuhi.
2.
Studi pustaka
Studi
pustaka digunakan untuk mendapatkan informasi dengan cara membaca atau meneliti
buku-buku yang menunjang dalam upaya mengumpulkan informasi data yang
dibutuhkan. Keraf (1994:167) menyatakan, “Untuk mengumpulkan bahan-bahan mentah
di perpustakaan itu seorang penulis tidak perlu membaca semua buku yang
tersedia”. Dengan demikian, dalam studi pustaka ini peneliti hanya perlu
membaca buku yang dianggap penting dan ada kaitannya dengan informasi data yang
dibutuhkan saja.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Deskripsi
Bentuk Marginalisasi
Bentuk
marginalisasi yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas sebagai
berikut:
1)
Marginalisasi
berdasarkan tempat pekerjaan
Bentuk
marginalisasi perempuan yang terdapat dalam novel “Midah Simanis Bergigi Emas”
karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama yakni marginalisasi yang terjadi
berdasarkan tempat pekerjaan. Sebagai
seorang perempuan yang mandiri tentunya pekerjaan sangat penting untuk
memperoleh penghasilan. Namun, karena usia yang tidak muda lagi akan menghambat
pekerjaan dan dianggap tidak produktif.
Pada novel “Midah Simanis Bergigi Emas” terdapat kutipan yang menceritakan
bahwa perempuan mengalami marginalisasi sebagai berikut:
Setelah
menunjuk perempuan setengah tua bergigi emas, ia meneruskan: Dia sudah tua,
Tidak menarik pendengar lagi.
Apa? Habis
manis sepah dibuang! Teriak wanita bergigi emas itu.
Nanti dulu,
Nini. Biar aku Bicara sama orang ini.
Kalau engkau
ambil dia dalam rombongan, sekarang juga aku pergi. (Toer, 2015:32).
2)
Marginalisasi
yang terjadi dalam masyarakat atau kultur
Bentuk
marginalisasi perempuan yang terdapat dalam novel “Midah Simanis Bergigi Emas”
karya Pramoedya Ananta Toer yang kedua yakni marginalisasi perempuan yang
terjadi dalam masyarakat atau kultur.
Berikut
ini kutipan yang menyatakan adanya marginalisasi yang terjadi di dalam
masyarakat atau kultur.
Hampir-hampir
ia tak sanggup berhadapan dengan paratetangganya yang datang menengok.
Mereka
semua musuh! Musuh kepercayaannya Musuh pendiriannya! Musuh kedamaian jiwa yang
dengan susahpayah ia pupuk.
Ia
dapat mengira-ngira apa saja yang dipercakapkan mereka atas dirinya. Ia pun
sudah bisa mengira-ngirakan bahwa mereka, karena sifat berkuasanya, akan
membuat dirinya menjadi aduan yang bisa dibuat kue sekehendak hati mereka.
(Toer, 2015:121).
2.
Deskripsi Bentuk
Subordinasi
Ketidakadilan
gender yang kedua yaitu subordinasi. Subordinasi ini merupakan, “Anggapan
bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa
tampil memimpin, berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi
yang tidak penting (Fakih, 2013:15)”. Bentuk
subordinasi yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting sebagai berikut:
“Kalau engakau begitu
cemburuan, aku takut engkau jatuh jadi pengemis di Pasar Senen.
(Toer, 2015:33)”.
3.
Deskripsi Bentuk
Stereotipe
Stereotipe
merupakan bentuk ketidakadilan gender yang ketiga. “Secara umum stereotipe
adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu (Fakih,
2013:16). Stereotipe yang terjadi ini menimbulkan ketidakadilan terutama pada
perempuan.
Bentuk
stereotipe yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas sebagai
berikut:
“Jadi harus anak empok dianggap
anak haram? (Toer, 2015:52)”.
4.
Deskripsi
Bentuk Kekerasan
Bentuk
kekerasan yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas sebagai
berikut:
1)
|
Pemerkosaan
merupakan bentuk kekerasan yang dapat merenggut kehormatan kaum perempuan.
Menurut Fakih (2013:18), “Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan
untuk mendapatkan palayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan”.
Ketidakrelaan ini timbul dari rasa malu, ketakutan, ataupun keterpaksaan.
Berikut ini kutipan yang menceritakan adanya pemerkosaan
terhadap perempuan.
“Jangan ganggu aku. Aku sedang mengandung. Tetapi Mimin tidak
peduli. Tubuhnya telah terguncang-guncang oleh terkaman itu. (Toer,
2015:49)”.
2)
Tindakan
pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence)
Salah satu
penyebab terjadinya pemukulan dan serangan fisik adalah adanya perbedaan
pendapat ataupun menyinggung perasaan pelaku. Pada novel Midah
Simanis Bergigi Emas terdapat kutipan yang menceritakan seorang perempuan
yang mengalami kekerasan berupa pemukulan sebagai berikut:
“Dan waktu dilihatnya Midah masih asyik mengiringi lagu itu, ia
tampar gadis itu pada pipinya. (Toer, 2015:18)”
3)
Kekerasan
dalam bentuk pelacuran (prostitution)
Pada
era globalisasi biaya hidup semakin mencekik rakyat menengah ke bawah, untuk
itu bagi sebagian orang pelacuran
menjadi pelarian dalam menyambung hidup.
“Pelacuran
merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu
mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan (Fakih, 2013:18)”. Dengan
demikian pemicu kekerasan ini sebagaian besar disebabkan oleh faktor ekonomi.
Pada
novel “Midah Simanis Bergigi Emas” terdapat kutipan yang menyatakan adanya kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution) sebagai berikut.
“Midah dalam sepotong hidupnya yang
sekarang, telah banyak bertemu lelaki-pertemuan antara segala-galanya. (Toer,
2015:131)”.
5.
Deskripsi Bentuk Beban
Kerja
Beban kerja
merupakan bentuk ketidakadilan yang diberatkan pada kaum perempuan karena
adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga
adalah tugas perempuan. Seperti pendapat Fakih (2013:21), “Semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan”.
Bebeban
kerja yang diberatkan pada perempuan yang terdapat pada novel Midah Simanis
Bergigi Emas sebagai berikut:
“Biarlah kita kawin saja, Manis. Engkau
tinggal di rumah merawat anak ini, dan bila aku pulang, makan sudah sedia.
(Toer, 2015:58)”.
SIMPULAN
DAN SARAN
1.
Simpulan
Berdasarkan
hasil analisis yang telah dilakukan dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer, dapat
disimpulkan bahwa bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Midah
Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya
Ananta Toer terdiri dari 5 bentuk: 1) marginalisasi, 2) subordinasi, 3)
stereotipe, 4) kekerasan, dan 5) beban kerja.
Ketidakadilan
gender yang terdapat dalam novel Midah
Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer sebagai berikut:
1)
Ketidakadilan
dalam bentuk marginalisasi
Ketidakadilan
gender dalam bentuk marginalisasi pada novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer yaitu marginalisasi berdasarkan tempat pekerjaan
dan yang terjadi di dalam masyarakat
atau kultur. Pada novel ini
ada dua tokoh yang mengalami marginalisasi yaitu Midah dan Nini.
2)
Ketidakadilan
dalam bentuk subordinasi
Ketidakadilan
gender yang kedua yaitu subordinasi. Subordinasi yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer yaitu adanya penempatan
posisi yang tidak penting yang di alami oleh tokoh perempuan bernama Midah.
3)
Ketidakadilan
dalam bentuk stereotype
Ketidakadilan
gender dalam bentuk stereotipe yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer yaitu pelabelan
negatif. Pelabelan negatif ini dialami oleh tokoh perempuan bernama Midah.
4)
Ketidakadilan
dalam bentuk kekerasan
Ketidakadilan
gender yang keempat yaitu ketidakadilan dalam bentuk kekerasan. Bentuk
kekerasan yang terdapat pada novel Midah
Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Pemerkosaan terhadap perempuan, tindakan
pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), dan kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Bentuk-bentuk kekerasan tersebut dialami oleh
tokoh bernama Midah.
Berdasarkan
penjelasan di atas, bentuk ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer didominasi oleh ketidakadilan dalam bentuk kekerasan.
Midah sebagai tokoh utama lebih banyak mengalami kekerasan. Baik berupa
pemerkosaan, pemukulan, ataupun pelacuran.
5)
|
Ketidakadilan
gender yang kelima yaitu ketidakadilan dalam bentuk beban kerja. Bentuk beban
kerja yang terdapat yang terdapat pada novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer yaitu pekerjaan domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab kaum perempuan.
2.
Saran
Berdasarkan
simpulan di atas maka penulis akan menyampaikan saran-saran sebagai berikut.
·
Hasil
penelitian mengenai ketidakadilan gender dalam
Novel Midah Simanis Bergigi Emas
karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan gambaran dalam hubungan sosial
antara kaum laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari.
·
Penelitian
ketidakadilan gender dalam Novel Midah Simanis Bergigi Emas karya
Pramoedya Ananta Toer ini dapat membantu memperbaiki permasalahan mengenai
ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus. 2013. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Aminudin.
2000. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung:
PT Sinar Baru Algensindo.
Arivia,
Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati.
Jakarta: Buku Kompas.
Bhasin,
Kamla dan Nighat Said Khan. 1999. Persoalan
Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Endraswara,
Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Fakih,
Mansour. 2013. Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamdani.
2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Hidayat,
Kosadi. 2001. Perencanaan Pengajaran
Bahasa Indonesia. Jakarta: CV. Trimitra Mandiri.
Keraf,
Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa
Indah.
Luxemburg,
Jan Van dan Willem g. Weststeijin. 1991. Tentang
Sastra. Jakarta: Intermasa.
Murniati,
Nunuk. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Magelang: IndonesiaTera.
Musiyah.
Dkk. 2006. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan. Jakarta :
Yayasan Jurnal Perempuan.
Nazir,
Moh. 2013. Metode Penelitian. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Nina,
Johan. 2012. Perempuan Nuaulu. Jakarta:
Buku Obor.
Nugraha,
Aji Danu, dkk.. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Reaksi Redoks Bervisi Sets,
Berorientasi Konstruktivistik. Journal of Innovative Science Education. 2 (1):
27-34.
Pujiharto.
2012. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta:
Ombak.
Rachman,
Deni. DKK.(2006). Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan.Jakarta
: Yayasan Jurnal Perempuan.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan
Teknik: Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suarni.
2016. Subordinasi Anak Perempuan dalam Keluarga. Jurnal
Equilibrium. 1(2): 29-37.
Stanton,
robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sudjana,
Nana. 2009. Dasar-Dasar Proses Belajar
Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sugihastuti
dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiono.
2014. Metode Penelitian Kuantitatif
Kulitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Toer, Pramoedya Ananta. 2015. Midah Simanis Bergigi Emas. Jakarta:
Lentera Dipantara.
Widaningsih.
2012. Marginalisasi Perempuan dalam
Pemberitaan Harian Jawa POS Tentang Pekerja Migran Perempuan. Acta diurna. 8 (1): 31-38.
Wellek,
Rene dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
0 comments:
Post a Comment