Akhirnya (end)

        Semenjak aku pulang, Kod selalu mengunjungiku. Akhirnya hubungan kami semakin dekat. Sementara Kak Zar tetap menjadi kakak yang selalu mendukung dan menyayangi adikknya. Hingga Kod melamarpun Kak Zar merestuinya.
▪▪▪
Pagi ini aku menikah dengan Kod. Aku tidak pernah merasa segugup ini. Kak Zar jadi wali nikahku.  Sejak awal dirias air mataku tak mampu kubendung. Hingga ibu dan kak Zar berusaha menasehatiku. “Fai, hari ini pesta pernikahanmu. Ibu sangat bahagia. Tentunya air mata yang kau tumpahkan itu, air mata kebahagiaan kan? Dulu juga ibu mengalami hal yang sama saat menikah dengan ayahmu. Satu pesan ibu, nanti jika Fai sudah resmi jadi nyonya Kod, jadilah istri salehah jangan pernah membantah perintah suami. Jangan keluar rumah jika ia melarang.”
Dari arah pintu, ada bi Ijah memanggil ibu. “Mba, mempelai pria sudah datang. Sebaiknya kita menyambutnya.”
Ibu keluar dari kamarku. Hanya Kak Zar dan penata rias yang ada disini. Sembari perias merias wajahku, kak Zar memegang tanganku dengan erat. Matanya merah dan ia tak bicara apa-apa.
Aku sudah siap menuju pelaminan. Periasku keluar meninggalkan kami berdua. Kak Zar memelukku erat. “Dek, dengar pesan ibu yang tadi, yah? Jangan pernah keluar dari jilbabmu. Kakak yakin, Kod pria yang baik. Dia akan menuntunmu pada jalan yang Allah ridai.”
Di pelukannya aku menangis. “Iya kak. Maafkan adikmu yang manja ini. aku telah lancang mendahuluimu.”
“Dek, kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kakak.”
Ibu sudah menjemputku. Kak Zar dan Ibu memegang kedua tanganku. Hingga akhirnya akad dilaksanakan. Aku resmi jadi nyonya Kod.
▪▪▪
Tiga hari menjadi nyonya Kod.
Kod memperlakukanku layaknya permaisuri. Ia begitu lembut. Tak seperti saat SMA, ia sering membentakku gara-gara suka usil dan jail sama teman-teman yang lain. Tapi, saat ini. Detik ini. ia berbicara lemah lembut.
“Dek, tidakkah kau rindu pada ibu dan kakakmu? Mengapa kau tak meminta untuk mengunjungi mereka?” tanyanya sambil membaca koran di temani secangkir kopi hangat kesukaannya di beranda rumah.
sejak kami menikah, ia memboyongku ke rumahnya di Cijulang. Sehingga aku tak dapat bertemu dengan kak Zar dan ibu. Namun, aku selalu ingat pesan ibu dan kak Zar. Selalu taat pada suami. “Bukankah AA sedang sibuk bekerja? Berkunjung ke Bandung bisa lain waktu. Lagian, kak Zar dan Ibu selalu menghubungiku. Bahkan kak Zar setiap hari mengirim SMS. Maaf Adek gak meminta ijin terlebih dahulu.”
“Bicara apa kau ini? aku tak mempermasalahkan hal itu. Kitakan sudah menikah, tanamlah kepercayaan dalam hubungan kita. Dengan itu, hubungan kita akan langgeng. Amin.” Dari dulu, Kod selalu pengertian.
Aku melanjutkan bersih-bersih rumah. Sementara Kod pergi bekerja. Ia bekerja sebagai pegawai Desa. Sesuai jurusan yang ia ambil saat kuliah. Ilmu pemerintahan.
Awal-awal kita tinggal disini. Banyak tetangga yang berkunjung. Termasuk Ibu haji. Mereka menjengukku setiap hari. “Neng, hayu maen ka rumah ibu!.”
“Tidak, bu. Suami belum pulang.  Tak berani ke luar rumah jika ia tak ada.”
“Kau memang istri salehah.” Puji bu haji.
Setelah bu haji pulang, ku raih handphoneku di atas meja ruang tamu. Ada banyak SMS dari Kak Zar dan Ibu.
Pesan dari kak Zar:
Kak Zar     : Kakak sekarang lagi di perjalanan mau ke rumah Adek.
Aku            : Masa sih kak? Jangan bercanda loh.
Kak Zar     : Serius.
Aku            : Bareng ibu?
Kak Zar     : enggak, sendiri.
Kak Zar gak balas SMSku lagi. Tiba-tiba perasaan hawatir membebaniku. Dia tak pernah bercanda dalam hal ini. Memang dia selalu bilang ingin mengunjungiku. Gak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi. Nada panggilan telepon. Ibu meneleponku sambil menangis tersedu-sedu.
Aku           : Assalamualaikum.. ada apa bu? Kenapa ibu menangis?
Ibu             : Kakakmu kecelakaan. (Suara ibu terdengar putus-putus)............................
Kakakmu meninggal.
Telepon genggamku lepas dan terjatuh. Aku tak sanggup menahan tangis. Seketika ku terkapar tak berdaya. Aku tak mendengar jelas awal-awal pembicaraan ibu. Namun, jelas kudengar dibagian akhir. Kakakmu meninggal. Kak Zar.
Aku lari tergesa-gesa menuju kantor kepala desa tempat Kod bekerja. Tetangga-tetangga memperhatikanku dan bertanya-tanya. Namun ku tak acuhkan. Saat ini, yang ada dalam ingatanku hanya kak Zar.
Aku terjatuh di depan kantor kepala Desa. Orang-orang yanag ada di dalam menghampiriku dan melingkariku. Aku tak dapat bangun lagi.
Salah satu dari mereka lari memanggil Kod. Lalu Kod ada di depanku dan langsung merangkulku dengan kedua tangannya. Yang kusebut saat itu hanya Kak Zar.
“Kak Zar..Kak Zar.. Kak Zar.. Kak Zar.”
Dia menepuk-nepuk pipiku pelan. “Dek.. dek.. ada apa dengan kak Zar.. Bicara..”
“Beri dia minum. Keun sina tenang heula.” Salah satu dari mereka angkat bicara.
Aku duduk di kursi panjang tempat menunggu antrian. Aku sudah mulai tenang. “Kak Zar meninggal.”
Kod langsung memelukku erat. Ia bergegas pergi dan membawaku. Saat itu juga kita berangkat ke Bandung.
Enam jam perjalanan yang kami tempuh. Lebih cepat dari biasanya. Kod mengemudikan mobil dengan kecepatan 200 km/jam.
Mobil kami berhenti di depan rumah. Alunan ayat suci Al Quran tak asing kudengar. Seketika kuberlari menuju kerumunan orang yang sedang membacakan Yasin.
Kubuka samping itu yang terletak ditengah-tengah kerumunan orang-orang. Dibalik samping itu terlihat jelas. Wajah kak Zar. Ia sudah meninggal.
Kod meraih pundakku. Ia membawaku jauh dari kerumunan itu. Terlihat di dalam kamar Kak Zar, ibu sedang menangis. Aku langsung lari dan memeluknya.
▪▪▪
Dua bulan kepergian Kak Zar masih meninggalkan duka. Ibu masih berdiam diri di kamar Kak Zar sambil memeluk fotonya. Ibu nampak kurus. Jarang makan. Hanya satu atau dua sendok saja setiap harinya.
Dari balik pintu, ada seorang pria perawakan tegap berkulit putih. Dia Kak Han. Ia memeluk ibu. aku bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.
Kod duduk di kursi pekarangan rumah. Kusadari, belakangan ini dia kurang kuperhatikan. Namun, dia tak protes sedikitpun. Aku mencoba menyapanya dan duduk disampingnya “A,, apa yang kau pikirkan? Sehingga kau menyendiri disini.”
Ia melihat kearahku “Adek...” ia berfikir sejenak. “Aku hanya berfikir. Seandanya aku bertemu Kak Zar, kukan sampaikan rindumu padanya.”
Kod mengerti perasaanku. “Aku bahagia, saat aku terpuruk Aa mendampingiku dengan sabar. A tidakkah kau ingin pulang?”
“Tidak, Dek. Selama kau ingin disini. Selama itu juga aku menunggumu. Ibumu masih membutuhkanmu, dek.”
“Tapi, masih ada kewajiban yang harus aa penuhi disana.”
“Baiklah, aku akan pulang besok. Tapi kau tetap disini. Temani ibu hingga keaadan membaik.”
“Baik A, jika itu keinginanmu. Maaf aku belim bisa menjadi istri yang baik”
“Jangan bicara seperti itu.”
▪▪▪
Senin, 24 Oktober 2013. Tiga bulan setelah kepergian kak Zar.
Setiap hari Kod selalu meneleponku. Menanyakan kabar dan keadaan Ibu. hingga suatu saat ia berbicara tentang Ayah. Ayah kandungku. Aku terkaget-kaget. Ia belum pernah membahas soal ini. dia juga tahu, Ayah sudah meninggal.
Aku            : Untuk apa Aa bahas tentang Ayah? Beliau sudah meninggal.
Kod           : Dengarkan penjelasanku. Besok aku akan ke Bandung lagi.
Aku            : Baiklah, aku tunggu. (Kututup teleponnya)
Keadaan ibu sudah membaik setelah kedatangan Kak Han. Namun, aku tak begitu dekat dengannya. Tak sedekat aku dengan Kak zar. Aku selalu berusaha menyesuaikan diri dengannya. Ibupun sekali-kali mengajak kami tuk berkumpul dan makan bersama. Kak Han hanya bicara seperlunya.
“Fai, Kita makan” ajak ibu.
Aku tetap di kamar. “Aku teringat Kak Zar, bu....”
“Sudah lah, biarkan kakakmu tenang disana..”
“Iya.. bu.”
“Tunggu.. ibu mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Apa bu?”
“Kalian saling mencintai?”
Pertanyaan ibu membuatku bingung. Ibu seperti tahu rahasia aku dan kak Zar. “Maksud ibu?”
“Ibu tahu semuanya. Tahu gak, apa yang membuat ibu memaafkanmu dulu?”
Kuputar memori masa silam, ketika ibu mengetahui rahasia yang kusimpan tentang Ayah. “apa?” jawabku gugup.
“Zar meyakinkan ibu bahwa kamu memang tidak tahu apa-apa. Dia mengungkapkan perasaannya pada ibu. Saat itu Zar berkata, ia akan menghindar darimu jika ibu memaafkanmu. Maka dari itu, ketika kau kembali ke rumah, Zar langsung berangkat ke USA.”
Mendengar pernyataan ibu, aku langsung terdiam dan menunduk. Tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. “Maaf... bu..”
“Sudah lah. Kau sekarang sudah menjadi istri orang. Mengabdilah pada suami.”
Ibu keluar dari kamar. Aku mengikutinya. Ada Kak Han duduk di kursi depan kamarku. Sepertinya dia mendengarkan pembicaraan kami.
▪▪▪
Kod belum juga datang. Dia janji akan ke Bandung hari ini untuk menemuiku. Entah kabar apa yang akan dia bawa. Aku menunggu di kursi depan rumah. Dari sebrang jalan ada bunyi kelakson. Itu mobil Kod. Kod tidak sendiri di mobil. Dia bersama seorang pria tua. Kurus dan beruban. Mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Terlihat kusam.
Aku menyambut Kod. Suamiku yang sudah lama tak bertemu.
Seperti yang kuduga. Ia bersama seorang pria tua. Mata pria itu berbinar-binar. Aku mengajak mereka masuk. Ibu dan Kak Han sudah ada di ruang tamu. Seolah akan ada rapat. Kami berkumpul di ruang tamu.
Lelaki tua itu memulai pembicaraan. “Sebelumnya saya minta maaf jika mengganggu kalian. Tapi ada yang harus saya sampaikan. Saya Zafar. Suami Fatimah.”
Mataku langsung melotot. Kod yang duduk disampingku memegang tangan kananku. Aku tak dapat berbicara apa-apa. Dia berbisik pelan “Biarkan dia selesaikan pembicaraannya.”
Ibu dan Kak Han nampak terkejut. Ibu masih belum paham maksud dari pria tua itu.
“Aku menikahi Fatimah sekitar 20 tahun lalu. Saat itu aku sudah memiliki istri. Jadi kami menikah sirih. Saat aku tahu Fatimah tengah mengandung, aku meninggalkannya. Aku takut istri tuaku tahu. setelah itu, aku tak tahu lagi bagaimana keadaan Fatimah.” Paparnya.
Saat ada celah untuk bicara, aku langsung masuk. “Lalu, maksud anda disini apa? Apa anda mau bilang, Anda ayahku?” tanya padanya sinis sambil menundukkan kepala tak mampu menahan air mata.
Kod tetap memegang tanganku. Ia menghapus air mataku. Percakapan kami saat itu mulai memanas. Ibu juga angkat bicara. “Apa buktinya jika Anda ayah dari Fai?”
Pria kurus itu menunjukan foto perkawinannya dengan ibu. terlihat seorang pria setengah baya tengah berjabat tangan dengan penghulu. Sedang ijab kabul. Mengenakan peci hitam. Sedangkan wanita di sampingnya mengenakan kebaya putih dengan sanggul dikepalanya. Ibu.
▪▪▪
Usai pertemuan itu, aku pulang ke Cijulang bersama Ayah dan suamiku.
Waktu berjalan begitu cepat. Usia pernikahanku menginjak tujuh bulan. Saat itu juga kandunganku berusia tiga bulan. Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga kami. Meski awalnya aku tak menerimanya. Namun, satu hal yang kusesali. Saat semuanya terungkap, kak Zar sudah tak ada. Sudah lah, bicara apa aku ini. aku sekarang memiliki Kod.
Suatu hari, aku dan Kod berniat tuk pergi ke bidan. Memeriksakan kandunganku. Namun, tiba-tiba Kod terkena serangan jantung. Aku baru tahu, Kod memiliki riwayat sakit Jantung. Belum sempat pergi, Ayah segera membawanya ke Puskesmas terdekat dengan mengendarai motor. Aku duduk di belakang menghimpit Kod. Di tengah perjalanan, kod tak bernafas lagi. ia telah meninggal.
Aku langsung teriak pada Ayah untuk berhenti. Kita berhenti di pinggir jalan depan terminal.  Ayah menggendong Kod ke emperan toko yang ada disana. Benar, Kod sudah tak bernyawa.
Aku sangat terpukul. Seperti pepatah “Sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Akhirnya kita kembali ke rumah. Sebelumnya ku telepon orang tua Qod. Mertuaku.
Sesampainya di rumah, isak tangis tetangga dan kerabat menyambut kedatangan kami. Mak Aminah memelukku dan berusaha menenangkanku. “Sabar yah Neng. Ini sudah takdir. Kita rawat bayi dalam kandunganmu ini.”.
Satu hari setelah meninggalnya Kod. Ibu dan Kak Han datang. Seperti yang dilakukan Mak Aminah, ibu memelukku. Kak Han masuk ke dalam rumah. Ia berbincang-bincang dengan Ayah. Mereka seperti membicarakan hal yang serius.
Setiap hari Mak Aminah dan Ibu Haji menengokku.
Usia kandunganku menginjak usia 9. Sama halnya dengan kepergian Kod yang sudah enam bulan.
Suatu malam, kita berkumpul di ruang keluarga. Aku duduk di samping ibu. Kak Han duduk di kursi dekat ayah.
“Aku sudah tidak apa-apa. Kucoba ikhlaskan semuanya.” Ucapku sambil menunduk.
Ayah belum juga angkat bicara. Ia masih menunggu seseorang. Tak lama kemudian, Mak Aminah datang bersama Bah Ciong. “Assalamualaikum..”.
“Wa alaikumsallam..” jawab kami serempak.
Mungkin mereka yang Ayah tunggu. Karena setelah kedatangannya, Ayah langsung memulai pembicaraannya.
“Sengaja saya kumpulkan kalian disini.”
“Apa yang ingin Pak Zafar sampaikan pada kami?” tanya ibu penasaran.
“Sebentar lagi Fai melahirkan. Tidakkah tega kalian membiarkan bayi itu hadir kedunia ini tanpa seorang ayah?” papar ayah.
Aku segera menyanggahnya. “Yah, ini anaknya A Kod. Bayi ini memiliki ayah”
“Iya, Ayah tahu. tapi, apa kau tidak kasihan sama bayimu nanti?”
“Maksud Pak Zafar. Bapak Ingin Fai menikah lagi?” sambung Bah Ciong.
“Yah itu tidak mungkin. Belum juga satu tahun A Kod meninggal. Aku tidak mau lagi. jikapun aku menikah. Siapa yang rela mengawiniku?”
Musyawarah antar keluarga ini berlangsung memanas. Kak Han pun belum angkat bicara. Seperti biasa ia selalu diam.
Ibu menyetujui pendapat ayah. Ibu ingin aku menikah setelah melahirkan. Begitu juga dengan Mak Aminah dan Bah Ciong. Tapi, mereka masih mencari-cari pria yang bersedia mengawiniku.
Aku merasa menjadi wanita yang tak berharga. Aku hanya bisa pasrah menerima keputusan mereka. “Jika ini keputusan yang terbaik untukku. Aku terima. Aku bersedia menikah dengan siapapun”
Yang tadinya Kak Han hanya menunduk, ia langsung melihat ke arahku. Ia memperhatikanku dengan seksama. “Aku ikhlas menikahimu.” Ujar Kak Han yang membuat semua orang disana menganga tak percaya.
“Kau serius Han?” tanya ibu kaget.
“Serius, Bu.”
“Tapi, kau belum mengenal baik adikmu ini?” sambungnya lagi.
Aku terus menunduk. Tak berani melihat Kak Han.
“Sebenarnya, sudah cukup lama aku mengenal Fai. Saat pertama kali ke rumah. Zar selalu bercerita tentangnya. Aku pun tahu tentang perasaan mereka berdua. Zar menceritakan perkembangan Fai. Aku juga tahu bagaimana ibu bertengkar dengan Fai. Sejak itulah aku mulai penasaran dengan Fai. Hingga akhirnya aku pulang. Zar sudah meninggal dan saat itu pula aku melihat Fai dengan seorang pria. Kod, suamunya. Aku mengurungkan niatku tuk mengenalnya lebih dekat. Lagian saat itu, aku mengira dia adik kandungku.”
“Kak jangan bercanda” ujarku padanya.
“Aku seius. Setelah bayimu lahir, kita langsung menikah. Tak perlu ada perayaan. Hanya menghadirkan saksi saja itu sudah cukup.”
Saat itu kak Han terlihat dewasa. Aku menatapnya dalam-dalam “Aku setuju.”
Ayah, ibu dan keluarga Kod pun setuju. Akhirnya kami menikah.
▪▪▪
Aku resmi jadi istri Kak Han. Ia memberikan nama Fazar pada anakku. Ya.. anakku seorang lelaki. Wajahnya mirip dengan Kod.
Meski kutelah menikah dengannya. Ia masih bersikap dingin. Akupun melontarkan beberapa pertanyaan yang selama ini menggunung dalam hatiku.
“Kak.. Kakak tidak main-mainkan dengan pernikahan ini?” tanyaku sedikit marah.
“Tidak Dek. Berikan aku kepercayaan. Aku akan menjagamu dan merawat bayi ini. biarkan bayi ini tahu, kalau aku ayahnya.”
“Baiklah kak, aku takkkan bertanya macam-macam lagi.”
Pada akhirnya, tiada yang tahu takdir kan berkata apa. Seperti kehidupanku saat ini. aku resmi jadi istri Kak Han.
TAMAT

1 comment:

  1. Bet365 Casino Review, Bonus & Offers - GoPay
    Bet365 casino is a relatively new and innovative online 토큰 룰렛 gambling brand 토토커뮤니티 that has been around for over 10 years 윈조이포커시세 and has entered 포커 페이스 the market with a 텐뱃

    ReplyDelete

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net