RUANG RAHASIA (4)

            Lima bulan melesat begitu cepat. Retetan peristiwa lalu membuatku tegar. Tak boleh terpuruk terlalu lama. Aku tak hidup sendiri. Masih ada keluarga yang menyayangiku. Keluarga baru.
Semenjak kedatanganku ke kota, kutemukan semangat baru. Bu Sulastri seorang single parent menyelamatkanku dari kerasnya kehidupan kota. Ia mengadopsiku. Memang sangat aneh. Kita bertemu hanya sehari, saat aku mengacak-acak tempat sampah depan rumahnya. Namun, takdir siapa yang tahu. Mungkin ini yang disebut keajaiban.
Ia menyekolahkanku di tempat baru. Di dekat kompleks. Sebuah sekolah elite tempat orang-orang kaya. Berbeda dengan sekolah lamaku. Semua siswa terlahir dari keluarga sederhana. Paling banter anak guru. Sedangkan di sini, hampir semua dari kalangan pengusaha dan pejabat.
Suasana baru, teman baru, dan lingkungan baru menuntutku tuk mengejar ketertinggalan. Belajar keras. Tak sulit tuk beradabtasi di sini. Semua siswa welcome. Dalam sehari, aku bisa mendapatkan teman baru.
"Hey, aku Nel." Sambil mengulurkan tangannya saat aku duduk di kursi depan kelas.
"Fai." balasku dengan mengulurkan tangan kanan.
"Senang berkenalan denganmu, semoga kita menjadi teman yang akrab." sambungnya.
"Aku juga senang berkenalan denganmu". jawabku tersipu.
Sejak saat itu kita menjadi teman. Nel sapaan akrabnya. Anak seorang pengusaha tekstil terbesar di Bandung. Ia juga terbilang pintar. Selalu  juara pertama disetiap tahunnya. Senang bisa mengenalnya. Dia bisa membantuku mengejar ketertinggalan.
Jam istirat tiba. Kita sedang duduk di ruang perpustakaan sambil baca-baca buku. “Fai, kau punya kakak?” tanyanya akrab.
“Iya” Jawabku datar.
“Oh, enak yah punya saudara. Aku anak tunggal.”
“Begitu lah..” berhenti melanjutkan pembicaraan.
Rupanya pembicaraan kami saat itu  terdengar oleh petugas perpustakaan. dengan sekejap, ia berada di belakang tempat dudukku. Ia menegur pelan. Memperingati kami.
Usai ditegur petugas perpustakaan, kita segera ke luar sambil merutuk tentang teguran itu.
“Hebat juga, pendengarannya tajam.” Rutuk Nel.
“Iya lah. Lagian, kita bicara terlalu keras.” Sambungku sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
Kak Zar datang lebih awal menjemputku. Tanpa basa-basi kulangsung memperkenalkan Nel pada Kak Zar. Mereka berkenalan.
▪▪▪
Jam 19:00. Di kamarku.
Kak Zar menemaniku belajar. Ia berbaring di kasur. Sedangkan aku duduk di kursi meja belajar.
“Boleh bertanya sesuatu, dek?” tanyanya pelan.
Sambil mengerjakan PR ku jawab pertanyaannya. “ Boleh. Memangnya bertanya apa, kak?”
“Apa Adek sudah mengenal kak Han?”
“Belum, kak. Lagian, aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi, aku berusaha untuk mengenalnya. Karena aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini.”
Percakapan aku dengannya cukup seru. Ia tak seperti yang kuayangkan. Ia sosok yang ramah dan dewasa. Mudah akrab. Sehingga tak canggung tuk bercanda dengannya.
Ibu memberikan ruang tuk kita saling mengenal. Ia membantuku tuk keluar dari masalah. Merangkulku dan terus menyemangati. Sehingga aku bersemangat lagi tuk berjuang meraih masa depan.
▪▪▪
Pelajaran Matematika.
Guru Matematika sedang menjelaskan rumus integral. Aku memperhatikannya dengan cermat. Teman-teman bilang, guru itu selalu menyuruh murid yang nakal ataupun murid baru untuk mengerjakan soal di papan tulis. Benar saja, dia selalu menyuruhku mengerjakan soal. Untungnya, aku selalu belajar. Kak Zar selalu membantuku.
Suatu ketika Bu Nia guru matematikaku menyuruh tuk membawakan busur di gudang sekolah. Awalnya aku menolak. Namun, dia memaksa. Sangat terpaksa aku pergi ke gudang.
Letaknya sangat jauh dari ruang kelas. Tepatnya di lantai dasar dekat kolam renang.. aku membernaikan diri pergi sendiri. Saat tiba di ruangan itu, bulu kuduku serasa berdiri. Tempatnya serem dan banyak sarang laba-laba. Pantes saja dijadikan gudang, tempatnya tak terawat.
Aku luruskan niatku tuk mencari busur. Tanpa sengaja kutemukan album foto yang telah usang tergeletak di lantai. Aku penasaran. Kuambil album itu.
Setelah itu, kutemukan busur yang aku cari. Letaknya di atas lemari dekat jendela. Kuambil kursi dan ku simpan di depan lemari. Aku menaikinya. Segera kuambil busur itu. Tanpa sengaja, sebuah buku kecil terjatuh ketika mengambil busur. Kupungut buku itu. Kubersihkan bagian sampulnya dari debu. Kubuka lembaran awal. Tertulis nama Fatimah. Aku tak mempedulikannya. Ku buka lagi lembaran berikutnya. Semua tertulis nama Fatimah. Di lembaran terakhir terdapat sebuah foto. Itu ibuku.
Usai membaca puisi-puisi itu, aku tak dapat menahan air mata. Aku menangis terharu. Ternyata dulu ibu sekolah disini. Dia sangat pandai dalam membuat puisi.
Aku bergegas keluar dan mengantongi album foto serta buku kumpulan puisi milik ibu. aku berjanji akan kembali lagi ke ruangan ini. kujadikan ini ruang rahasiaku.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net