Semenjak kedatanganku ke kota, kutemukan
semangat baru. Bu Sulastri seorang single
parent menyelamatkanku dari kerasnya kehidupan kota. Ia mengadopsiku.
Memang sangat aneh. Kita bertemu hanya sehari, saat aku mengacak-acak tempat
sampah depan rumahnya. Namun, takdir siapa yang tahu. Mungkin ini yang disebut
keajaiban.
Ia menyekolahkanku di tempat baru. Di
dekat kompleks. Sebuah sekolah elite tempat orang-orang kaya. Berbeda dengan
sekolah lamaku. Semua siswa terlahir dari keluarga sederhana. Paling banter
anak guru. Sedangkan di sini, hampir semua dari kalangan pengusaha dan pejabat.
Suasana baru, teman baru, dan
lingkungan baru menuntutku tuk mengejar ketertinggalan. Belajar keras. Tak
sulit tuk beradabtasi di sini. Semua siswa welcome.
Dalam sehari, aku bisa mendapatkan teman baru.
"Hey,
aku Nel." Sambil mengulurkan tangannya
saat aku duduk di kursi depan kelas.
"Fai."
balasku dengan mengulurkan tangan kanan.
"Senang berkenalan denganmu, semoga kita menjadi teman
yang akrab." sambungnya.
"Aku
juga senang berkenalan denganmu". jawabku tersipu.
Sejak saat itu kita menjadi teman. Nel
sapaan akrabnya. Anak seorang pengusaha tekstil terbesar di Bandung. Ia juga
terbilang pintar. Selalu juara pertama
disetiap tahunnya. Senang bisa mengenalnya. Dia bisa membantuku mengejar
ketertinggalan.
Jam istirat tiba. Kita sedang duduk di
ruang perpustakaan sambil baca-baca buku. “Fai, kau punya kakak?” tanyanya akrab.
“Iya” Jawabku datar.
“Oh, enak yah punya saudara. Aku anak
tunggal.”
“Begitu lah..” berhenti melanjutkan
pembicaraan.
Rupanya pembicaraan kami saat itu terdengar oleh petugas perpustakaan. dengan sekejap,
ia berada di belakang tempat dudukku. Ia menegur pelan. Memperingati kami.
Usai ditegur petugas perpustakaan, kita
segera ke luar sambil merutuk tentang teguran itu.
“Hebat juga, pendengarannya tajam.”
Rutuk Nel.
“Iya lah. Lagian, kita bicara terlalu
keras.” Sambungku sambil berjalan menuju gerbang sekolah.
Kak Zar datang lebih awal menjemputku. Tanpa
basa-basi kulangsung memperkenalkan Nel pada Kak Zar. Mereka berkenalan.
▪▪▪
Jam 19:00. Di kamarku.
Kak Zar menemaniku belajar. Ia berbaring
di kasur. Sedangkan aku duduk di kursi meja belajar.
“Boleh bertanya sesuatu, dek?” tanyanya
pelan.
Sambil mengerjakan PR ku jawab
pertanyaannya. “ Boleh. Memangnya bertanya apa, kak?”
“Apa Adek sudah mengenal kak Han?”
“Belum, kak. Lagian, aku belum pernah
bertemu dengannya. Tapi, aku berusaha untuk mengenalnya. Karena aku ingin
menjadi bagian dari keluarga ini.”
Percakapan aku dengannya cukup seru. Ia
tak seperti yang kuayangkan. Ia sosok yang ramah dan dewasa. Mudah akrab.
Sehingga tak canggung tuk bercanda dengannya.
Ibu memberikan ruang tuk kita saling
mengenal. Ia membantuku tuk keluar dari masalah. Merangkulku dan terus
menyemangati. Sehingga aku bersemangat lagi tuk berjuang meraih masa depan.
▪▪▪
Pelajaran Matematika.
Guru Matematika sedang menjelaskan
rumus integral. Aku memperhatikannya dengan cermat. Teman-teman bilang, guru
itu selalu menyuruh murid yang nakal ataupun murid baru untuk mengerjakan soal
di papan tulis. Benar saja, dia selalu menyuruhku mengerjakan soal. Untungnya,
aku selalu belajar. Kak Zar selalu membantuku.
Suatu ketika Bu Nia guru matematikaku
menyuruh tuk membawakan busur di gudang sekolah. Awalnya aku menolak. Namun,
dia memaksa. Sangat terpaksa aku pergi ke gudang.
Letaknya sangat jauh dari ruang kelas.
Tepatnya di lantai dasar dekat kolam renang.. aku membernaikan diri pergi
sendiri. Saat tiba di ruangan itu, bulu kuduku serasa berdiri. Tempatnya serem
dan banyak sarang laba-laba. Pantes saja dijadikan gudang, tempatnya tak
terawat.
Aku luruskan niatku tuk mencari busur.
Tanpa sengaja kutemukan album foto yang telah usang tergeletak di lantai. Aku
penasaran. Kuambil album itu.
Setelah itu, kutemukan busur yang aku
cari. Letaknya di atas lemari dekat jendela. Kuambil kursi dan ku simpan di
depan lemari. Aku menaikinya. Segera kuambil busur itu. Tanpa sengaja, sebuah
buku kecil terjatuh ketika mengambil busur. Kupungut buku itu. Kubersihkan
bagian sampulnya dari debu. Kubuka lembaran awal. Tertulis nama Fatimah. Aku
tak mempedulikannya. Ku buka lagi lembaran berikutnya. Semua tertulis nama
Fatimah. Di lembaran terakhir terdapat sebuah foto. Itu ibuku.
Usai membaca puisi-puisi itu, aku tak
dapat menahan air mata. Aku menangis terharu. Ternyata dulu ibu sekolah disini.
Dia sangat pandai dalam membuat puisi.
Aku bergegas keluar dan mengantongi
album foto serta buku kumpulan puisi milik ibu. aku berjanji akan kembali lagi
ke ruangan ini. kujadikan ini ruang rahasiaku.
0 comments:
Post a Comment