Oleh: Nurhayati
Aku berdiri di lorong sekolah. Tepatnya di balik
dinding yang membelakangi masjid.
Melirik kiri-kanan takut ada yang curiga. Aku sedang mengawasi seseorang
layaknya detektif. Misi ini telah kujalankan sejak Masa Orientasi Siswa hari
ketiga. Namun, dulu tak pernah senekat ini. Hanya melihat-lihat saja ketika ia
masuk ke ruangan. Saat itu, ia menjadi pendamping kelasku. Baik, perhatian,
ramah, dan selalu tersenyum. Berbeda dengan pendamping kelas yang lain. Suka marah-marah
dan memberi hukuman. Tapi, yang satu ini selalu meberikan yang terbaik. Bahkan mengarahkan
kami agar menepati peraturan. Begitulah masa-masa orientasi.
Lama-lama rasa kagumpun timbul. Mulai cari perhatian
dan menunjukan bahwa aku yang terbaik. Memang, semua teman-temanku menyukainya.
Karena kebaikan dan ketampanannya. Tak heran jika folowers twitternya mencapai dua ribu. Hampir sejajar dengan
selebriti. Sesekali aku merasa minder.
Laki-laki itu seorang remaja muslim yang disegani
kaum hawa. Sedangkan aku hanya seorang kristiani yang tak boleh mengaguminya.
Bagai pungguk merindukan bulan saja.
Agama tak memperbolehkan menikah yang berbeda
keyakinan. Meski menurutku semuanya sama saja. Toh yang menjalaninya pribadi
masing-masing. Tapi kita harus mengimani agama. Aku pun hanya bisa mengawasinya
dari jauh saja. Tak berani mendekatinya. Memang di sekolah ini hanya aku yang
berbeda aqidah. Tapi, tak merasa terkucilkan sedikitpun.
15 menit telah berlalu. Aku masih berdiri di balik
dinding mengawasi gerak-geriknya. Rupanya ia seorang remaja yang taat
beribadah. Hatiku bertanya “apa yang sedang ia pinta pada Tuhan Nya?“. Ketampanan,
kekayaan, kecerdasan, bahkan ketaatannya pun sudah melebihi rata-rata seorang
remaja. Pastinya, dia sulit tuk di raih.
Asik dengan misi rahasia, tak sadar ada seorang
teman yang menghampiriku. Tak segan bertanya ini-itu padaku. “sedang apa kau di
sini? Sekarang waktunya shalat dzuhur bagi umat muslim. Apa kau tertarik untuk mempelajarinya?
Ataukah ada yang sedang kau perhatikan di dalam masjid itu?”. Polosnya aku
menjawab “Iya...”. Tanpa berpikir panjang dan mempertimbangkan resikonya. Kata
“iya” keluar begitu saja. Mengapa kata itu muncul pada saat yang kurang tepat.
Aku menggerutu sendiri dalam hati. Entahlah. Terserah saja.
Kali ini, aku tak dapat menyembunyikan rahasia yang setahun
tersimpan rapi. Sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, baunya tercium juga.
Kuceritakan semua yang menggelayut dibenakku. Bahkan menghantui disetiap waktu.
Hati dan pikiranku terpenuhi oleh remaja muslim itu. Setiap hari pun aku
memikirkan siasat agar bisa bertegur sapa dengannya.
Sayangnya, Kalisa teman sekelasku tak membenarkan
rasaku. ia menceramahiku dengan seribu jurus jitu yang membuatku mati kutu.
“Bukannya aku tak menghargaimu dan tak bermaksud menyalahkan keyakinanmu, tapi
Furqon tak mungkin melihatmu. Ia adalah ketua Ikatan Remaja Masjid (IREMA)
sekolah. Bahkan orang tuanya seorang Ustadz dan ustadzah. Bagaimana kau bisa
menembus dinding yang begitu tebal? Menerobos pertahanannya kau takan mampu. Ia
begitu disegani dan tak ada seorangpun yang berani mendekatinya secara
langsung. Sama seperti yang kau lakukan saat ini”. Aku hanya diam. Mulutku
enggan bergumam. Hati membeku seketika. Matahari oranyepun seakan menghardiku
saat itu. Pancaran sinarnya seolah menceramahiku seperti yang dilakukan Kalisa
saat ini. Kedua telingapun tak sanggup mendengar sambaran petir yang menghantam
mentari di siang bolong. Serasa dunia ini akan meghukum rasaku yang salah.
***
Sepulang sekolah kurenungi perkataan Kalisa.
Sepintas ucapannya ada benarnya. Meski hati tak dapat menerima penghakimannya.
Apa salahnya jika aku kristiani? Kita sama-sama mempunyai Tuhan yang Esa namun kita
saja yang berbeda. Orang selalu melihat dari covernya saja. Tak tahu bagaimana perasaan yang sedang dirasakan.
Seperti saat ini, hatiku serasa terbakar hangus menjadi abu. Menghilang kala
tertiup angin. Begitu kejam dunia ini. Kanyataan yang tak pernah kuharapkan
meski sesungguhnya telah kuketahui.
Kujamahi bunda maria yang tergantung di dinding
kamar untuk menenangkan hatiku sambil bernyanyi sendu, penggalan lagu peri
cintaku yang dipopulerkan oleh Marcell Siahaan mengalun merdu dari bibirku.
Aku untuk kamu,
kamu untuk aku
Namun semua apa
mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang
satu kita yang tak sama
Haruskah aku
lantas pergi meski cinta takkan bisa pergi
Terbawa suasana. Hingga tak sanggup lagi membendu
air mata yang terus membasahi pipi dan suara terbata-bata tak mampu melanjutkan
lantunan itu. Dalam keadaan ini, seperti hanya akulah yang paling menderita.
Hanya akulah yang menerima ketidakadilan. Bukan pintaku terlahir menjadi
seorang kristiani. Bagiku, ini sebuah anugerah terindah yang pernah kumiliki.
Aku punya ayah, bunda dan Tuhan yang menjagaku disetiap tidur.
Tuhanku tak pernah menyulitkan umatnya. Selalu memberi
jalan. Setiap waktu, nadiku berdenyut tanpa henti. Jantung berdetak menyeru
namaNya. Tapi, mengapa kini Dia diam saja. Padahal aku memelukNya. Ah,
sudahlah. Aku sedang emosi.
Jam dinding berdenting seraya meneriaki tanpa henti.
Pentilasi di ujung pilu membebaskan angin menyentuh jiwa. Menggenggam rindu
yang tergantung di langit-langit putih kamar merah jambuku. Membelai gorden Hello Kitty dengan cinta yang tak sempat
terucap. Tidur sajalah. Malam telah larut. Sebentar lagi fajar berseru.
***
Bel sekolah berdering 3 kali. Pertanda jam pelajaran
pertama akan dimulai. Semua siswa berlari menuju kelasnya masing-masing. Ada
yang di lantai dua. Ada juga yang di ujung penglihatan sana. Lucu sekali.
Sekolah ini sangat luas. Siswanya mencapai 720 orang. Meski berada di daerah
kecil, semangat belajar tak kalah dengan anak kota. Sangat menakjubkan.
Kami duduk rapi sembari berdoa untuk memulai
belajar. Rutinitas ini sudah menjadi budaya di pagi hari. Pantas saja kelasku
menjadi favorit. Kami sangat menjaga hubungan kekeluargaan. Disampingku,
Kalisa. Duduk manis. Terlihat cantik mengenakan jilbab. Balutan baju putih dan
rok abu-abu yang panjang hingga mata kaki menambah keanggunannya. Lain
denganku. Aku mengenakan baju putih tangan pendek dan rok abu menutupi lutut.
Kubiarkan rambutku tergerai. Tapi sayang, aku masih kesal padanya. Ucapannya masih
terngiang ditelingaku.
Di luar sana terlihat seorang laki-laki berpeci
hitam. Tampaknya dia sosok yang kutunggu. Ya... sekarang hari Jumat. Biasanya
diawali siraman rohani dari perwakilan Irema sekolah. Aku menghargainya. Aku ikut
mendengarkan ceramah pagi ini. Bukan karena hal lain. Intinya, kali ini aku
ingin melihatnya saja.
“Maaf, kau boleh mendengarkan. Tapi jika merasa
keberatan, boleh menunggu di luar.” Ia berbicara lembut menjaga perasaanku.
“tidak apa-apa, aku ingin di sini saja.” Jawabku pelan. Hatiku bergejolak.
Ingin rasanya menyuruh mereka, keluar. Ya.. teman-teman sekelasku. Biarkan
hanya kita yang di ruangan ini.
Satu jam secepat sambaran petir. Membangunkan mimpi
dari surgawi. Seakan membius jiwa yang terlelap dalam tidur. Seribu tanya
mengganjal dihati.
“Maria... maria...” suara sesorang memanggil namaku.
Entah siapa. Tapi sepertinya aku mengenal suara ini. Oh my god Furqon. Dia tahu, aku Maria. Kutepuk-tepuk kedua pipiku
perlahan. Bukan mimpi. “iyaaa.... “ lagi-lagi hanya kata “iya” yang kuucapkan
saat berhubungan dengannya. “Mohon maaf jika ceramah tadi kurang berkenan
dihatimu” kalimat itu terucap santun dari mulutnya. Benar-benar laki-laki
soleha. “tidak apa-apa.” Jawabku menyimpulkan senyum dibibir.
Ini kali pertama ku bertatap muka langsung dengannya.
Biasanya yang ceramah Jumat pagi adalah anggotanya. Senangnya.
***
Perhelatan hati masih menguasai raga yang rapuh.
Sebentar lagi terkulai lemas tak berdaya. Terkapar di atas puing-puing rindu
yang menggelora. Bermandi sendu dalam irama melodi hujan. Senantiasa iringi
langkah tak berarah. Bermuara pada cinta berbeda haluan. Entah sampai kapan.
Seandainya orang tuaku tahu, aku sudah dimarahi habis-habisan. Hancur
berkeping-keping. Musnah terhempas angin. Tersisih dari rasa yang tak pernnah
kupinta. Bukan salahku.
Jika bisa memilih, biarkan aku hidup tenang tanpa
berpikir tentang cinta yang dangkal. Ijinkan aku seperti biarawati,
meninggalkan kehidupan duniawi. Fokus pada hidup untuk mengabdi pada agamaku.
Tapi, apa boleh aku lari dari kenyataan? Bukannya pengecut? Lantas apa yang
harus kuperbuat? Apa harus kuoperasi hati dan menghilangkan virus-virus yang
menggerogoti tulang-belulang dalam rapuhnya jiwa. Meremajakan hati dengan
suntik Botulinum Toxsin (botox) untuk memusnahkan asa dalam menggapai bunga
yang merekah di atas pohon yang paling tinggi.
Hanya mimpi saja. Sepertinya aku harus kembali pada
titik awal. Kalisa, kini berbeda. Seperti menyembunyikan sesuatu. Apakah
gerangan? Apa mungkin dia menceritakan semuanya pada Furqon? Bukankah dia juga
salah satu anggota Irema? Sungguh membuatku berfikir keras seperti tarikan
mobil yang menggerek kolbak mogok. Aku mohon hentikan.
“Kalisa, bisa kita bicara sebentar! Ada suatu hal
ingin kutanyakan padamu.” Kuajak kalisa tuk berbicara empat mata. “Iya boleh.
Tapi aku tak bisa lama-lama.” Jawabnya ragu-ragu seperti menghindariku. Apa dia
sudah tahu apa yang akan kubicarakan? Sepertinya, iya..
“apa yang hendak kau tanyakan?” tanyanya pelan.
“langsung saja. Apa kau bicara tentang perasaanku pada Furqon? Sepertinya siang
ini kau berbeda. Tak biasanya Furqon pun berbicara padaku tadi pagi.” Tanpa
basa-basi aku langsung bertanya pada inti permasalahan.
“bagaimana kau bisa tahu semua ini?” sambung Kalisa.
“Aku tahu, karena kejanggalan terasa mulai pagi ini. Kalau begitu, apa yang
harus aku lakukan Kalisa? Aku bisa mati karena malu. Aku pasti jadi bahan
pergunjingan satu sekolah. Tak lucukan?”.
“Maafkan aku Maria. Sungguh maafkan aku. Aku tak
bermaksud mempermalukanmu. Jangan salah faham. Tak tega melihatmu hanya
memperhatikannya dari jauh saja. Sebenarnya kau boleh bicara langsung padanya.”
Kalisa meyakinkanku dengan nada bicara sedikit memelas.
“Bagaimana kau ini? Bukankah kemarin kau bilang
sendiri, aku tak bisa mendekatinya? Ah sudahlah. Aku sangat kecewa.” Kuakhiri
percakapan ini, hanya akan memperkeruh suasana. Bahkan persahabatan yang
kujalin selama setahun seakan retak tersambar petasan yang kuletuskan di atas
kepalanya.
Aku ingin bicara langsung padanya. Ya... pada
laki-laki itu. Bisa saja masalah ini menjadi kesalahpahaman. Haruskah
kusalahkan Kalisa? Sekarang, hatiku terkotori oleh amarah. Memang, maksudnya
baik. Bodohnya, dia tak melihat dari kacamata yang berbeda. Tak
mempertimbangkan kedepannya.
***
Sembari duduk di bawah cemara, ditemani lagu cinta
yang mengalun merdu. Menyampaikan pesan lewat angin. Terbang tanpa sayap.
Menggauli setiap lembaran novel yang kupegang. Berhenti saat amarah mereda.
Sesekali, sebotol teh melepas dahaga. Melesatkan biskuit kecil yang dikunyah
hingga halus. Mengganjal perut. Kini, cacing-cacing tak lagi bersorak. Yang
kudengar hanya bisik capung dan sebuah lagu.
Sekolah ini terasa mulai sepi. Waktunya pulang.
Tapi, aku masih nyaman di tempat ini. Santai sajalah, tak ada yang menungguku
pulang. Lembaran terakhir novel Tere Liye menyalamiku. Tak sadar, aku berada di
ujung mimpi. Di sana aku bersama seorang wanita. Tapi, aku tak mengenalnya?
Siapa wanita itu? Dia memeluk erat. Menggenggam tangan meski aku melepasnya.
Membelai rambut yang semakin menipis. Ada apa ini? Mengapa rambutku menipis.
Rontok seperti habis dijambak-jambak. Seketika kepalaku botak. Tak ada
sehelaipun rambut yang tersisa.
Aneh sekali. Wanita itu memberiku jilbab merah
jambu. Warna favorit. Tapi mengapa memberiku jilbab? Aku harus mengenakan
jilbab? Aku bukan muslim? Lantas, bagaimana menutupi kepala botak ini? Pasti
memalukan?
Ingin memberontak. Lepaskan mimpi ini. Aku tahu
hanya mimpi. Dimana jalan keluarnya? Mengapa tak kutemukan pintu tuk pulang?
Biarkan aku pergi. Namun, kaki tak dapat melangkah. Seperti terpasung. Tuhan,
bebaskan aku.
Aku mulai lelah. Wanita itu terus menyodori jilbab.
Apa harus menerimanya? Baiklah, kupakai jilbab ini.
Luar biasa, pasung yang membelenggu seketika
terlepas membebaskanku, aku dapat berlari. Namun, kuhampiri sebuh cermin.
Terlihat wanita anggun mengenakan jilbab merah jambu dan gaun putih. Sosok yang pernah kulihat. Ya.. seperti
Kalisa saat duduk disampingku. Memang dia mengenakan busana panjang. Tapi, dia
bukan Kalisa. Apa mungkin, aku? Ah.. pasti cermin ini berdusta.
Gemercik hujan menyapu ruang mimpi. Aku tersadar.
Memang ini mimpi. Bajuku sudah basah. Rupanya aku tertidur sejak tadi. kuraih handphone dari dalam tas dan terlihat jam
menunjukan waktu sudah sore. Jam 15:50 WIB.
Sepanjang jalan, mimpi itu seperti GPS yang memandu pulang. Menggerogoti
setiap sel dalam otak. Menyayat daging yang tak lagi segar. Memang aku belum
makan. Tapi, mimpi itu membuatku kenyang. Tanda tanya besar mengisi ruang
hampa. Menjajah rindu dan mengecam letih. Sudah tak berdaya. Teringat gaun itu.
Begitu cantik saat kupakai. Itu pakaian seorang wanita muslimah. Seluruh
anggota tubuhnya tertutup rapi. Tak terlihat sehelaipun rambut yang tersimpul jilbab
merah jambu.
0 comments:
Post a Comment