“Sudah lama menunggu kak?” tanyaku
lembut.
“Gak juga, kebetulan aku habis dari rumah teman jadi ku sempatkan saja
menjemputmu.” Jawabnya sambil menyalakan mobil.
Ku terhanyut dalam lamunan yang masih
tertinggal dalam gedung tua itu. Disamping mendengarkan pembicaraan kak Zar, aku
tetap berfikir keras untuk memecahkan teka-teki ini dan mencari tahu tentang
album foto itu. Karena fikirku tak asing lagi terhadap gadis cantik yang
terpampang lusuh didalam album foto itu.
Seketika dia ngerem mendadak dan
melentangkan tangan kirinya ke arahku. Dia takut aku terpental dari sabuk
pengaman mobil.
“Apa yang terjadi kak?” tanyaku gugup.
“Barusan ada kucing lewat dek.”
Jawabnya hangat.
“kamu gak apa-apakan?” tanyanya
hawatir.
“Gak apa-apa kok kak”
“Syukur kalau begitu, maaf aku telah
mengejutkanmu, oh ya.. sepertinya kau lagi banyak pikiran? Apakah gerangan yang
menganggu pikiran adik kecilku ini?” godanya mesra.
“Ah kakak jangan menggodaku, gak ada
apa-apa kok, kak..” jawabku pelan.
“Walau aku baru mengenalmu selama 3
hari, tapi cukup bagiku tuk mengetahui kebiasaanmu.”
“hmm.. maafkan adikmu ini yang tak bisa
jujur padamu, kak..” jawabku bersalah.
“aku mengerti dek, lain kali kau harus
cerita ya??”
“iya kak..”
Hening seolah menyergap mobil PW yang kami tumpangi. Mobil melaju
kencang menelusuri jalanan sepi. Mentari di luar sana menembus jendela mobil
tua ini. menerangi hati yang sedang gundah dan kak Fazar tetap menyetir dengan
tenang.
Mobil berhenti. Tepat di depan rumah
kami. Kak Fazar keluar dari mobil kemudian membukakan pintu mobil untukku.
Sementara itu, wanita setengah baya dengan hijab hijau toskanya duduk manis di
teras depan menyambut kita dengan hangat. Tak lupa kecupan dikening selalu ia
berikan untukku. Hidangan makan siangpun telah ia siapkan beberapa menit yang
lalu. Ia tak pernah membeda-bedakan kami berdua. Menurutnya kita semua sama,
sama-sama anak-anak yang ia cintai dan ia besarkan dengan penuh kasih sayang.
Akupun langsung menyerbu meja makan,
namun kak Fazar menarik tanganku dari belakang dan mengomeliku karena belum
ganti seragam sekolah dan langsung menyerobot makan. Selama ini ibu selalu
membiarkanku makan dengan seragam
sekolah ketika pulang karena menurutnya aku kecapean dan harus segera makan
sebelum beraktivitas yang lain. Namun rupanya, kakakku yang satu ini berpikir
lain. Ia begitu disiplin. Meski begitu aku sangat senang di perhatikan olehnya.
Tapi, diluar kendaliku tetap saja aku menyelanya.
“ibuuuuuuuuuuu...” panggilku pada
malaikat itu dengan manja.
Malaikat itu tidak dapat melawan ucapan
jagoannya, karena yang diucapkannya itu benar. Sehingga ia angkat tangan dalam
hal ini.
“eiiiiitttsss ibu takkan membelamu. Ayo
ganti baju dulu.”
“hmmm.. kakak, makan dulu aja ya?”
rengek manjaku.
Dia hanya menatapku tajam sedangkan ibu
tersenyum simpul mengiyakan ucapannya. Aku pun menyerah dan segera ganti baju.
Dan disela-sela makan siang kami, malaikat itu berpetuah dan mengharapkan kita
bisa hidup rukun hingga tua nanti.
“Zar, kakakmu kapan pulangnya?” tanya
ibu semangat.
“katanya sih nanti kalau sudah
menyelesaikan tesisnya bu.”
“Kapan itu Zar?”
“Belum tau juga bu,”
“oh ya kak, seperti apa sih kak Fahri itu?”
timbrungku seketika.
“Orangnya cakep dek, seperti kakak.” Puji
dirinya sendiri.
Saat itu adalah moment yang paling
membahagiakan bagiku, setelah kehilangan keluargaku dan aku hanya hidup
sebatang kara kini hadir kembali keluarga yang hangat dan menyayangiku dengan
segenap hati.
▪▪▪
Aku
masih berusaha memecahkan teka-teki itu sendirian. Mulai kujamahi album foto
itu. Ku buka-buka dengan pelan. sedikit demi sedikit ku usap setiap debu yang
menempel. Disamping itu, kuraih foto ibu sewaktu muda yang tersimpan di laci nakas samping kanan
headboard tempat tidurku. Diam-diam kusandingkan foto ibu dengan album foto
itu. Sangat mengejutkan. Keganjilan-keganjilan mulai ku temukan. Semua
foto yang ada dalam album itu sama persis dengan foto ibu. Rupanya fotografer
amatiran ini membuat duplikat foto yang sama. Ku masih penasaran, ku coba lihat
lebih dekat foto-foto yang di album itu. Tak sengaja ada foto yang terjatuh
dilantai. Seketika ku ambil dan kulihat bagian-bagian belakang foto tersebut.
Dalam foto itu terdapat sepenggal puisi yang kutemukan di ruang bawah tanah
bekas rumahku dulu.
Namun, hanya kau yang terlukis
indah
Hanya kau yang merajai
Hanya kau yang menyempurnakan
Diriku yang selalu mendambamu
Jika memang ini foto ibu waktu muda,
ada hubungan apa ibu dengan fotografer amatiran ini? Apa dia ini ayahku? Kenapa
ibu tak pernah bercerita tentang hal ini kepadaku? Ya Allah,, kapan teka-teki
ini terpecahkan?
Kamarku yang sunyi ikut risau dengan semua
teka-teki ini. Tanpa sengaja ku lihat lebih jelas dan ku usap bagian belakang
foto yang kotor itu. Di bawah penggalan puisi itu tertulis ibu Sulastri dan
Fatimah saling bersandingan. Terkaget-kaget ku tatap nama itu. Mulai kuputar otak
tuk berfikir. Ku tebak siapa yang dimaksudkan dibalik foto itu. Aneh sekali,
bukankah Sulastri adalah ibu angkatku dan Fatimah adalah Ibu kandungku? Apa mama
ada dibalik semua misteri ini? Haruskah kutanyakan semua ini padanya?
Misteri ini menguasai ingatan dan
pikiranku. Memaksa tuk terus menyelidikinya. Sementara langit-langit kamar ikut
termenung. Gordeng merah muda menari gemulai tertiup angin. Langit yang
bertabur bintang terlihat indah dari balik jendela kamarku yang sengaja ku buka
tuk menghirup udara segar di malam hari.Tak lama kemudian, terdengar suara
orang yang mengetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Dengan cepat ku segera
sembunyikan album foto ini.
“Dek, Dek, Dek..” suara nyaring
memanggilku.
Rupanya Kak Fazar memanggilku dan
mengajakku untuk bercengkrama di pekarangan rumah.
“Buka pintunya, ayo lah kita nikmati
malam di pekarangan rumah. Malam ini langit sedang bertabur bintang.”.
Kubuka pintu. “Ayo, kak”
Pekarangan rumah jadi tempat favorit
kami tuk berbincang. Bertukar pikiran. Menghabiskan waktu bersama. Ya.. memang
tempat ini sangat indah. Hanya beratapkan langit dan beralaskan rumput jepang saja
cukup mdmbuat nyaman. Tak terlewatkan, Tanaman hias seperti bunga Evorbia, mawar, pohon palem kuning, dan
yang lainnya sengaja di tanam di sana tuk melengkapi panorama pekarangan rumah.
Kursi panjang bermotif perpaduan kayu dan besi menjadi tempat singgah tuk
menikmati lukisan terindah yang Tuhan torehkan dari kanvasnya.
Sambil menunjukan tangannya pada sebuah
bintang yang terpisah dari yang lainnya. “Dek, lihat deh bintang itu! Dia
sengaja berpisah dari yang lainnya.”
“Wah,, kenapa kok begitu?” Tanyaku
penasaran dengan memperhatikan bintang itu.
“Karena dia ingin tahu. Apa ada orang
yang mendekatinya ketika ia hanya seorang diri.”
“Lalu?” antusias ingin tahu.
“Ya dia hanya menunggu. Berharap suatu
saat kan ada orang yang bersedia tuk mendekatinya.”
“Apa dia hanya menunggu? Tidakkah dia
berusaha mencari sendiri?”
Perbincangan kami sangat seru. Hingga
ta ayal bertanyakan masalah pribadi satu sama lainnya.
“Dek, berapa usiamu sekarang?”
Segera ku menjawabnya dengan kaku. “16,
kalau kakak?”
“kalau kakak?”
“aku sudah 22 Dek”
“Oh,, berarti sudah tua ya kak? Hehee”
godaku sambil tersenyum jail.
“Ah kamu bisa saja, J”
“Kak, bolehkah aku bertanya satu hal?”
“Apa?”
“hmmm...mmm...mmmmm..” gugup takut
menyinggung perasaannya.
“Apa kakak tahu bagaimana wajah ayah?”
Dengan terkejut ia menatap tajam
wajahku. “Tidak Dek, tapi kaka pernah melihat fotonya Dek.”
“oh ya? Bagaimana wajahnya kak?” tanyaku antusias.
“Lupa Dek.. memangnya kenapa sih? Tumben tanya hal itu?” tanyanya heran.
“Hanya sekedar ingin tahu aja kak..”
Ku terdiam sejenak, memutar ingatan masa silam yang telah memudar.
“Kakak beruntung bisa tahu wajah Ayah
kakak walau hanya dari foto saja..” ujarku spontan.
“Kok gitu?”
Tanpa ku jawab, langsung
meninggalkannya sendiri di pekarangan itu. Dia hanya melihatku yang kian
menjauh.
▪▪▪
Pada suatu malam yang hening, semua
orang tengah tertidur lelap. Sunyi tiada gemuruh. Aku terbangun. Pelan-pelan ku raih jam weker warna merah muda bergambar teddy bear di dalamnya yang terletak di
nakas berdampingan dengan lampu tidur. Pukul 22:00. Sambil mengikat rambut kuberanjak
bangun dari tempat tidur dan bergegas pergi dapur. Tenggorokanku terasa kering.
Haus.
Usai dari dapur kulihat pintu kamar ibu sedikit
terbuka. Perlahan ku buka lebih lebar. Kudekati ibu yang sedang melihat-lihat
sebuah album foto yang telah usang. Sepertinya itu foto sewaktu mudanya. Ku
sapa dengan lembut.
“Ibu, mengapa kau belum tidur? Malam
sudah larut. Bukankah besok harus kerja? Apa gerangan yang mengganggu pikiranmu
dan bolehkah aku tahu apa yang ada ditanganmu?”
Tersenyum manis. “hanya sekedar foto
lama. Kenangan semasa muda”
“Boleh kulihat?”
Dia memperlihatkan fotonya padaku.
Sebuah foto yang usang kenangan sewaktu muda. Nampak seorang pria tampan dengan
rambut pendek ikal. Berseragam putih abu. Bersanding dengan seorang wanita
cantik berambut lurus tergerai panjang sepunggung. Namun, foto wanita itu tak
terlihat jelas karena fotonya dipotret sekitar 24 tahun yang lalu.
“Dia suamiku.” Dengan senyum tipis di
menceritakan foto ini.
“Lantas, siapa wanita yang ada dalam
foto ini? apakah ibu?.”
“Bukan, dia sahabatku” jawabnya datar.
Kutersendat dan menganga “apa?”
Petir seolah menyambarku seketika. Ibu
meneteskan air mata. Tak mampu melihtanya. Kuurungkan niat tuk mendesaknya. Lampu
tidur telah menyala sejak tadi. Seakan mengerti bahwa hatinya sedang gundah. Cecak-cecak
tengah bercengkrama di dinding sambil menyaksikan drama yang penuh keharuan
ini.
“Saat ibu masih SMA, ibu memiliki
seorang sahabat yang amat baik. Kita tak pernah berantem dan tak dapat
dipisahkan satu sama lainnya. Hingga suatu ketika, aku bertemu dengan seorang
pria. Ya.. pria yang di foto ini. aku memberanikan diri tuk mendekatinya.
Akhirnya, kita semakin dekat dan timbul lah benih-benih cinta dalam hatiku. Tak
lupa kubercerita pada temanku. Aku mencintai seorang pria dan bermaksud untuk
menyatakan perasaan padanya. Ternyata dia menyetujuinya. Namun, lama-lama ia
menghindar ketika ku mulai bercerita. Kumemakluminya. Mungin dia sedang sibuk.
Aku tak menaruh curiga sedikitpun
padanya. Hingga suatu saat, kutemukan foto ini di bawah kursi tempat ia duduk
di kelas. Namun, kutak berani menanyakannya. Apa maksud dari semua ini?”
“Lantas mengapa ibu bisa menikah dengan
ayah?”
“Pada dasarnya aku mencintainya. Dia
pun memperlihatkan perhatiannya. Seperti yang kubilang. Aku tak pernah menaruh
curiga pada siapapu. Karena salah satunya tak memperlihatkan keganjalan
sedikitpun. Dia menyambut cintaku dengan hangat. Akhirnya seusai lulus sekolah
kita memutuskan tuk menikah.”
“Lalu, bagaimana dengan sahabat ibu?
Apa ibu sempat bertanya padanya sebelum menikah?
“Dia datang dalam pernikahan kami.
Tapi, aku tak sempat bertanya tentang foto ini. karena dari pesta itu, kita tak
pernah bertemu lagi hingga saat ini. oh ya, kan kuceritakan sebuah rahasia
besar. Tapi, Fai janji gak bakalan bilang pada kak Zar ataupun kak Han.”
“Iya, aku janji, bu.”
“Dia
meninggal ketika zar berusia 6 tahun. Saat itu ia sedang mengemudi mobil menuju
rumah maduku” paparnya.
“apa?? Maksud ibu itu ayah? Terus Madu?
Maksud ibu?” jawabku terkejut.
“Ya... waktu itu ibu di madu. Namun
sayangnya ku tak tahu siapa wanita itu. Hanya saja dia bilang bahwa wanita itu sangat
miskin dan suaminya telah meninggal dunia.”
“Apa ibu tidak sakit hati, ibu memiliki
madu?”
“Tidak Fai,” jawabnya datar.
“Mengapa begitu bu?”
“Itu lah kelembutan hati seorang wanita,
lagian ibu gak tega mendengar cerita ayahmu. Dia bilang, jika ia menikah dengan
wanita itu sama halnya dengan mengangkat derajat seorang budak. Dengan kata
lain, ia ingin memberikan penghidupan yang layak” jawabnya tenang.
Tak henti-hentinya ia menangis. Segera kumemeluknya
dengan erat. Dia sungguh wanita yang mulia. Belum pernah ku temui wanita
sehebat ini.
“Oh iya Fai, ia juga bilang bahwa anak
mereka diberi nama yang hampir sama dengan kedua kakakmu.”
“Maksud ibu?”
“Entah lah, ia hanya bilang seperti
itu.”
Denting jam membuyarkan suasana haru
pagi itu. Jam 00:30. Telah lewat tengah
malam. Aku asyik mendengarkan cerita ibu. Sejak awal kutahu. Wanita ini adalah
malaikat yang berwujud manusia. Memiliki hati yang bersih.
“Sudah lewat tengah malam, Fai. Tidur
lah”
“Iya, bu”.
▪▪▪
Siang
ini aku sedang duduk di ruang perpustakaan sekolah bersama Neli. Kesunyian membalut setiap buku yang
tertata rapih di rak. Petugas perpustakaan sekolah terkenal galak dan tidak
ramah. Kalian berbisik dan tertawa di daerah kekuasaannya, dalam sedetik
sepidol terpental di kepala sebelum sempat menghindar. Lemparannya selalu tepat
sasaran. Ia tidak suka ada murid yang melanggar peraturan. Peraturan tentang
tata tertib pengunjung perpustakaan tertulis dalam kertas A4 dan terpampang
jelas disetiap rak buku. Aku sudah dua kali dimarahinya saat cekikikan dengan
Elena teman sekelasku.
Sekarang
saja hampir dimarahi. Kami merumpi dan saling berbisik. Padahal kami sangat
teliti dan berusaha tak bersuara. Tapi, pendengarannya tajam seperti Seekor
ngengat yang memiliki pendengaran
tajam hingga 150 kali lebih sensitif dari manusia.
Kami
keluar dari perpustakaan. Tak tahan menahan tawa. Terkadang tingkahnya lucu membuat
murid tertawa terbahak-bahak saat keluar.
“Fai,
lucu bangetkan. Apalagi kalau sedang marah kumisnya berdiri dan seolah
mengibarkan bendera perang.” Ledek Nel pada petugas itu.
“Ah
kau bisa saja, Nel. Awas loh dia dengar.”
“Uppppsss...
lariiiiii” kami lari terbirit-birit takut petugas yang sangar itu mendengar
percakapan yang meledeknya.
▪▪▪
“Kak, udah lama nunggu yah? Maaf , tadi
ada pelajaran tambahan. Iya kan Nel?” yakinkan kak Zar yang stanbay di parkiran sekolah tuk jemput
pulang.
Sementara itu, Nel menginjak-injak kaki
kananku. Dia ingin dikenalkan pada kak Zar. Memang sejak awal Nel sudah
menyukainya. “Kak, kenalin teman aku. Neli”.
Nel mengulurkan tangan dan saling
berkenalan. “Panggil saja Nel”
“Hai, Fazar”. Kakaku yang satu ini
selalu ramah. Pantas saja Nel tergila-gila padanya. Setiap kali kudijemput oleh
kak Zar pasti dia cari-cari perhatian dan meminta tuk dikenalkan. Hanya
sekarang saja permintaannya dapat terkabulkan sehingga ia memaksaku tuk ikut
pulang ke rumah.
“Fai, kitakan ada PR buat besok?
Kerjakan di rumahmu yuk” ia mengedipkan mata memintaku tuk menyetujuinya.
Kak Zar hanya tersenyum saja.
“Iya deh.”
Kami segera menaiki mobil. Aku duduk di
kursi depan dan Nel di belakang. Tetap saja dia berusaha menarik perhatian kak
Zar.
“Kak Zar, kata Fai sebentar lagi sidang
skripsi, ya? Kapan? Rencananya kalau sudah lulus lanjut S2 atau kerja dulu?”
tanyanya kepo.
“Satu-satu dong nanyanya. Kan kak Zar
lagi nyetir. Gimana kalau nabrak” serobotku sewot.
“Fai.. kan aku ingin tahu..” tambahnya.
Kecewa.
“Gak apa-apa kok, Dek” jawabnya kalem.
“Sidangnya bulan depan dan rencananya aku akan ngambil S2 di USA. Lumayan dapet
beasiswa”
“wah keren, kak” sembernya antusias.
Lama-lama aku merasa risih dengan
tingkah Nel yang sok akrab sama kak Zar. Aku lebih memilih diam dan tak
mempedulikan mereka. Namun, sesekali kak Zar menoleh ke arahku.
“Nel, sepertinya aku gak jadi ngerjain
PR sekarang.”
“Loh.. kenapa?” tanyanya kaget.
“Aku gak enak badan. Aku ngerjainnya
nanti malam. Jadi, kau langsung pulang saja. Kita akan mengantarmu. Iya kan,
kak? Lirikku pada kak Zar.
Seolah mengerti kodeku, ia langsung
mengangguk. Kemudian kami berbalik arah ke rumah Nel.
Seketika jalanan jadi sepi. Hanya mobil
kami yang melaju. Nampaknya, langit tak bersahabat siang ini. awan hitampun
menumpahkan air langit seraya angin mengalun lembut membasahi tangan yang
menyodor keluar.Rupanya rumah Nel sudah di depan mata. Ia segera keluar dengan
sebuah payung yang dipinjamankan kak Zar.
Kak Zar bergegas mengendarai PWnya.
Namun, Nel memperhatikan laju mobil kami hingga tak terlihat lagi.
▪▪▪
“Dek, tak seharusnya kau seperti itu
pada Nel. Bukannya kau baik-baik saja?” omelnya sambil duduk di kursi depan
kamarku.
Dengan kesal ku tak acuhkan
pertanyaannya. aku terfokus pada PR Matematika ku yang kukerjakan di meja
belajar dekat pintu kamar.
Ia merasa kesal. “Dek”
Tetap ku tak hiraukannya.
“Dek, kenapa sih kamu ini?”
“Diam deh kak, aku sedang mengerjakan
PR Matematika nih. Susah tau.” Teriakku pada kak Zar.
“Katanya tadi gak enak badan...??”
“Mmmmppp.. tadi hanya alasan saja.
Habisnya dia sok kenal banget. Sampe-sampe kakak tak acuh kan Fai.”
Ia beranjak dari kursi dan mendekatiku
di balik dinding kamar. Lalu menghempaskan badannya di atas kasurku seraya
melepas lelah.
“Maaf deh.. kakak salah. Lain kali, kakak kan selalu
memperhatikan adikku yang manja ini.”
“Kakak. Udah deh jangan mulai
menggoda.” Rengek manja sengaja ku perlihatkan padanya. Agar dia tahu, betapa
berartinya dia untukku.
“Oh iya Dek, kakak baru ingat
pertanyaanmu beberapa hari yang lalu tentang Ayah.”
“Memangnya kenapa kak?”
“Kau kan belum sempat menjelaskan
mengapa bertanya tentang ayah?”
“oh,, “ ku lepaskan pensil di tanganku
dan berbalik ke arah kak Zar. Dengan nada bicara yang pelan kuberusaha tuk
memulai sebuah percakapan. Seketika, kuteringat perbincanganku dengan ibu tadi
malam. Ibu tak sempat menyebutkan nama ayah padaku. Ku coba cari celah tuk
bertanya pada kak Zar.
“Baik, aku akan jelaskan pada kakak.
Asal kak Zar kasih tahu siapa nama ayahnya kakak!”.
Hatiku dag dig dug berdetak lebih cepat
dari biasanya. Ia tak jua menyebutkan nama itu. “Siapa, kak?”
“Fikri Amirullah, dek”
Aku sungguh terkejut dengan jawaban kak
Zar. Seorang Fikri Amirullah. Bukankah nama lelaki ini yang tertulis di foto
ibu? aku terus diam. Dia memanggilku beberapa kalipun tak kudengar. Teka-teki
itu memenuhi ingatanku. Hatipun bertanya-tanya. Apakah beraarti sahabat ibu
adalah ibu kandungku? Dengan kata lain dia ayah kandungku? Entah lah. Semua ini
membuatkuu pusing.
Ya Allah, tunjukan jalan padaku.
Berikan aku kekuatan tuk menghadapi masalah ini. jika benar dia ayahku, berarti
kak Zar kakak kandungku. Aku tak dapat menerima semua ini. berikan aku
petunjuk. Apa ini jawaban pertamaMu atas segala pertanyaan-pertayaan yang
bergelayut di benakku?
0 comments:
Post a Comment