Cucu Abdul Karim
Terlalu rumit menolak
hal tidak kita sukai. Apalagi saat ia bersikeras ingin terus bersama kita.
Nyatanya kita kesal terus dibuntutinya. Felin disibukan dengan permintaan para
pens cowok untuk mengisi kertas dengan tanda tangannya. Begitu juga dengan ku, Terus
dikerumuni cewek-cwewk centil untuk meminta berpoto bareng denganku. Beginilah
nasib seorang artis gadungan, meski kesal tetaplah harus tersenyum mais dihadapan cewek-cewek
centil.
Saat Felin terlihat
lengah. Diam-diam aku pergi meninggalkannya. Berlari secepat mungkin menjauh
dari cewek setres yang mengaku-ngaku jadi pacarku. Coba apa jadinya kalau aku
punya istri kaya Felin. Yang ada Aku jadi jongosnya. Amit-amit jabang
bayi.
“huh....
huh....huh....” menarik napas dan mengeluarkannya kembali. bersandar di tiang
penyanggah dekat tempat duduk, menghadap taman sekolah.
“hey yo, ternyata lo di
sini” Drim datang mengagetkanku
“ah, kamu Drim. Kirain
Felin. haduh cape banget. Cari minum yu”
“kemana?” taya Drim
“masa ke toilet. Ya kekantin
lah”
Minuman dingin bersama
cemilan manis merupakan santapan pertama. Berbagai bentuk karakter manusia
dapat terlihat saat berada dikantin. Banyak orang sibuk dengan keperibadiannya
sendiri. Saling mengejek satu sama lain, tetapi itu semua hanya canda gurau
mereka saja. Ada juga yang terbengong melihat makannanya, mungkin sedang galau
gitu. Tetapi ada satu hal yang tidak aku sukai saat berada dikantin sekarang
ini. Ketika seseorang merasa keren nan jagoan diwilayahnya.
Glen anak kelas 12 D
yang disebut jagoan katanya. Ia juga seringkali berbentrokan dengan ku. selama
12 tahu aku dan Glen tidak senada dalam hal apapun. Deri mulai Sekolah Dasar 6
Tahun satu sekolah, tidak pernah akur. Sekolah Menegah Pertam 3 tahun saatu
sekolah, terus saja bersetruan. Disesbabkan cewek yang ia sukai malah
mengejarku. Tavi tidak pernah ku tanggapi. Sekarang Di SMA N Tuna Bangsa 3
tahun terus saja slek, Disebabkan cewek yang ia sukai yaitu Felin tidak pernah
menanggapinya. Felin malah terus mengejerku. Begitu juga dengan Aku, tidak
pernah merespon sikap Felin yang berusaha menjadikanku pacarnya.
Paling mennyebalkan
sikap Glen yaitu membuat masalah yang dibuatnya semdiri terhadap anak anak
cupu. Tujuannya hanya untuk malak-malakin mereka. Seperti kejadian saat ini.
Tersandungnya kaki Seorang anak lelaki berkecamata bulat dengan tidak sengaja
menumpahkan minuman berwarna oren mengenai Baju Glen. Itu seperti sebuah
kecelakaan. Tetapi semuanya adalah sekenatio Glen. Ia menyuruh temannya menjulurkan
kaki saat anak cupu itu lengah. Akhirnya begitu lah Glem mahar karna bajunya
basah. Disandarkannya anak cupu pada tembok dengan mengancammya. Terekam olehku
anak cupu itu hanya terdiam ketakutan. Glen memukulnya hingga ia terjatuh.
Satu kejadian
sepertinya harus kulakukan untuk membuat Glen menyesal merasa menjadi jagoan sekolah.
Glen tida merasa puas dengan satu pukulan menempel dipipi anak cupu. Saat ia
berusaha menarik kembali kerah baju anak cupu terbaring ketakutan. Aku berusaha
menghalanginya. Kutepuk tangan Glen dengan kulemparkan perlahan.
“Haruskah kamu membuat
sekenario konyol untuk membodohi anak ini. Seolah ia bersalah dengan apa yang
terjadi” ujarku dihadapan Glen dan kawan-kawannya. Semua anak tengah berada di
kantin berketimun. Seolah membuat lingkaran tanpa sengaja. Membantu anak cupu
ini bangun dengan kedua tanganku. Aku usap kedua bahunya yang sedikit kotor, sambil
merapihkan kembali bajunya terlihat berantakan. Aku pasang kembali kecamata
tololnya karna terjatuh saat dipukul Glen.
“pergilah” ujarku pada
anak cupu ini. Seketika ia berlari menjauhi kami. Aku tahu Glen tidak akan
tinggal diam atas apa yang aku lakukan pada mereka.
“yo jangan cari masalah
dengan mereka” ucap Drim yang menghampri dengan posisiku yang membelakangi Glen.
Drim merasa takut melihat teman-teman Glen yang berkerimun. Kusuruh ia
menjauhiku.
“Rio sianak haram
terpaoporit disekolah ini” teriak lantangnnya “Heh Rio jangan ngurusi urusan orang
lain sebelum lo urusi ibumu yang gila itu. hahaha” ejek glen sambil menikmati
tawanya
“glen, glen. Daging
haram asalku tida sebusuk pikiranmu. ibuku yang gila tidak pernah merisaukan
orang lain. Tetavi perilakuku yang gila membuat banyak orang merasa risau saat
berada bersamamu” belaku sambil menasehatinya
“tadinya lo so jadi
jaoan ya! sekarang Lo malah nantangin kita-kita. Lo tidak lihat teman-temanku siap
mengeroyokmu” ucap somong Glen mendorong-dorong tubuhku
“heh” senyum sindir
dari mulutku “entah aku atau kamu yang merasa jadi jagoan. entah siapa yang
menantang untuk berkelahi. Inti pertanyanan mu sebenarnya, sikap kalian yang
merasa jadi jagoan seolah menantangku untuk membuat kalian berhenti berperilaku
konyol seperti ini” terangku sambil mengusap pundak depan bekas dorongan tangan
Glen.
Glen bukan lah sejenis orang
mudah luluh dengan kata-kata. Malah ia akan semakim panas saat orang lain menasehatinya.
Satu pululan keras melesat dipipi kiriku. Seperti seorang lelaki sejati. Mereka
memukul dengan tangan kosong, begitu juga denganku. Aku lancarkan satu pukulan
tepat dimuka Glen. Tidak pernah menyangka pukulanku akan membuat orang sombong
ini tercengang kebelakag hingga membuat hidungnya berdarah. Tatapan kaget
dengan mulut terbuka membentuk hurup O dati Tenan-teman Glen terarah padaku. seketika
itu mereka berusaha membangunkan Glen. 5 menit ia tidak sadarkan diri. Masih
belum menyerah juga, setelah sadar Glen terperangak bagun akan memukulku
kembali. sangat disayagkan, pertarungan jantan terhenti begitu saja. Felin
datang ditengah-tengah kami.
“apa-apa ini Glen. Kalian
terlihat seperti anak kecil. Sudah bubar semuanya” teriak Felim dalam
kerumunan.
Glen menujuku dengan
satu telunjuk kanannya, seolah mengatakan “awas lo nanti. Tunggu pembalasanku”
sambil beranjak pergi. Ilusi ini terlalu mudah datang bahkan saat aku dalam
bahaya.
“Rio kamu tidak apa-apa?”
tanya Felin sambil memegang Pipi memarku. Namun tak kutanggapi pertayaan Felin.
Meski memang pukulan Glen sangat keras membuat pipi terasa sakit. Layaknya
seperti seorang pemberani, aku berusaha menyembunyikan rasa sakit ini. Memutar
balik tubuhku. Ibu jari tangan kiri mengusap bibir sedikit berdarah. Saat itu
juga mata polos ini terus dibuatnya terpesona. Halimah tepat dihadapanku. Tiga
buku paket salahsatunya bertuliskan
Bahasa Indonesia dipegannya begitu erat. Mungkinkah ia menyaksikan
keributanku tadi. Sirna lah semua harapanku untuk mendapatkannya. setelah
Halimah saksikan semua ini, pastilah ia berusaha menjauhiku.
“Halimah” ujar
penyesalanku
Aku kira Halimah akan
pergi dengan raut wajah penuh dengan kebencian. Anehnya ia tetap tersenyum
mempesona sambil beranjak pergi meninggalkanku.
Waktu istirahat telah
berakhir. Aku tidak mengikti jam pelajaran selanjutnya. Rumor tentang
perkelahian sangat cepat di ketahuli oleh para guru. Apalagi kalau ada
hubungannya dengan nama Rio. Pastilah yang turun langsung menasehatiku adalah
Kepala sekolah. Ruang sidang terhadap kekacauan terlihat sunyi. Duduk mengahdap
meja kepala sekolah. Kursi putar hitam diduduki Pak Ramlan Kepala Sekolah Tuna
Bangsa dengan posisi membelakangi, kini
terarah kepadaku.
“membuat guru jengkel
saat mengajar, hingga mereka semua sudah kehabisa akal untk membuatmu jera.
Sekarang kasusnya aga berbeda! ternyata anak almarhum Bapak Rendi Sebastian
bisa berkelahi juga(sedikit terheran). Dimana kamu belajar berkelahi?” matanya
melotot seakan mau keluar. Pertayaan pak Ramlan penuh penasaran.
“aku tidak pernah
belajar silat dimanapun!” jawab ku dengan singkat
“no no no” jari telujuk
Pak Ramlan digerakkan kearah kiri dan kanan “bukan itu jawaban yang bapak
inginkan. tapi tak apalah, yang penting sekarang bapa sudah tahu kejadian yang
barusaja terjadi. Baiklah Rio jangan sampai kejadian ini terulang kembali”
“tergantung” kepala
tertunduk.
“apa maksudmu
tergantung? Oh bapak tahu kamu akan terus berkelahi bila ada orang yang
menantangmu berkelahi. Begitu?”
“iah pak!”
“baiklah, mungkin bapa
harus menelepon Omahmu supaya datang kesekolah harini juga” ancam lembut pak
Ramlan sambil mengangkat telepon.
“jangan pak, jangan
beritahu omah tentang kejadian ini. Bisa-bisa oma mencekikku”
“apa jaminannya kakau
Bapak tidak memberitahu Omah mu” taya pak Ramlan sambil menatapku. disimpannya
kembali telepon itu.
“aku tidak akan
mengulanginya, janji” akhirnya aku juga yang mengalah
“bagus, Bapak pegang
janjimu. sekarang kamu boleh masuk kelas!” suruh Pak Ramlan sambil mempersilahkanku keluar dengan
diayunkan tangan kanannya.
Sesampainya didekat
kelas aku tidak langsung masuk. Karna dalam beberapa menit lagi pelajaran akan
berakhir. Bersandar pada tembok penghalang bagunan antara kelas dan terlas. Mengelus-ngelus
pipi memar bekas pukulan Glen. “lumayan juga pukulannya” ucapku dalam hati. Arah
jarumjan menujukan pukul 11.45 Wib. Sorak senag terlihat dari senyuman merka.
Ketika satu nada menjadi tanda telah berakhirnya pembelajaran hari ini. Menutup
wajah dengan kedua tangn ketika guru yang mengajah keluar dari kelas. Mungkin
terlalu lama aku menghalangi wajah ini. Sehingga aku tidak sempat melihat
Halimah pergi meninggalkan ruangan kelas.
“Drim tolong ambilkan
tasku” teriaku dari luar sambil melihat dari jendela
Felin berlalri
menghampiriku sambil memeluku dan memegang pipi memar ku. Nadanya terlihat
hawatir melihat kondisi ku sekarang.
“sayang ayo kita obati
lukamu dulu! nanti aku antar kamu pulang ya” ajak Felin
“Felin aku tidak
apa-apa, kamu lihatkan kalau aku baik-baik saja. Kamu tidak usah mengantarku
pulang. Mang Ujang akan menjemputku, lebih baik kamu sekarang pulang duluan. Bersih-bersih
biar kamu lebih cantik ok!” biasanya Felin akan menuruti apa yang aku suru apa
bila ia benar-benar dipuji habis habisan.
“kamu bisa aja sayag,
tavi janji kamu nanti langsung pulang ya. Nanti sore aku maen kerumah mu”. setelah
mengutarakan janji akan bertemu dirumahku nanti sore, akhirnya cewek setres
pergi juga.
“yo kamu berani baget sumpah. Tadi tuh
pukulanmu sangat kencang” gurau Drim padaku. Menyandarkan tangannya sambil
berjalan.
“bisa aja kamu Drim. Kamu lihat Halimah tadi
saat usai pelajaran?” tanyaku pada Drim.
Enth mau pergi kemana
Halimah. Ia begitu terburu-buru meninggalkan kelas. Ada apa sebenarnya. Satu
kerisauan seakan terlukis diwajahnya. Membuatku penuh kehawatiran.
0 comments:
Post a Comment