Aku tahu dia
kecewa. Tapi, kuharap dia mengerti keadaanku. Aku tak mau sakit hati karena
kepergiannya. Cukup sakit ini hanya ku alami sekali saja, yaitu saat tahu
kenyataan tentang ayahku.
“Dek, asal kamu tahu. Kau lebih dari
seorang adik bagiku.” Ujarnya pelan dari balik pintu.
Mendengar
ucapannya, ku menangis. dan tak mampu berkata-kata.
“Aku tahu kau mendengarnya, Dek. Aku
tak bisa lama-lama. Aku berangkat sekarang, Dek. Surat ini kan kubaca nanti
ketika sudah sampai di perantauan.
Disamping itu, ku dengar ibu berbicara
padanya dan bertanya tentang aku.
“Kenapa adik mu tak mengantarmu?”
“Dia sedang tak enak badan, bu.
Sebaiknya ibu lebih memperhatikannya.”
Kak Fazar membelaku, dia tak ingin ibu
membenciku.
“Maafkan aku, kak. Tak seharusnya aku
memperlakukanmu seperti ini. Sungguh ku tak tahu diuntung. Keluargamu telah
menyelamatkan aku dan ibuku. Seharusnya aku berbalas budi.” Ucapku dalam hati
sambil menangis melihat kepergiannya dari jendela.
“Ku harap kau
membaca surat itu, kak.” Harapku.
▪▪▪
Satu minggu telah berlalu. Gedong ini
terasa hampa. Seperti ada yang hilang. Gak ada omelan kak Zar saat aku
menyergap meja makan usai sekolah. Gak ada yang menemaniku saat mengerjakan PR.
Kumerasa sepi.
Lamunan ini telah membiusku. Selalu
berpikiran tentangnya dan kuteringat sepucuk surat itu.
Teruntuk Kak
Zar
Assalamualaikum
wa rahmatullahi wa barakatuh...
Doaku selalu
menyertaimu...
Ketika membaca
surat ini, pasti kak Zar telah berada di perantauan sana...
Maafkan aku, kurangnya keberanian tuk bicara langsung membuat
kakak bingung. Jangan terlalu dipikirkan, kak...
Semoga sepucuk surat ini takkan membuatmu marah. Adikmu
yang manja ini telah lancang mengharapkan rindu. Sungguh tak ada maksud
apa-apa. Tapi, kebersamaan kita beberapa waktu lalu, telah membuka lembaran
kosong dan kau isi dengan senyuman di sepanjang senja.
Entah mengapa pulpen ini menorehkan tinta di atas kertas
merah jambu. Padahal kutahu, saat itu kau begitu dekat. Bisa kusampaikan
sendiri. Tapi, harap maklum saja. Aku tak memiliki keberanian untuk itu.
Ingat gak, pertanyaanku tentang ayah ketika di pekarangan
rumah? Lalu kakak menanyakan alasan mengapa bertanya itu?
Saat itu aku tak bisa menjawab. Aku sendiri bingung. Tapi,
sekarang kucoba jelaskan padamu. Namun kuharap kau tak berubah. Tetap menjadi
kakak yang selalu menyayangiku.
Kak, saat ini aku juga belum yakin. Aku memiliki masalah
yang amat berat dan tak mampu kupikul sendiri. Selama ini aku tak tahu siapa
ayahku. Bahkan namanya pun aku tak tahu.
Hingga saatnya aku menemukan sebuah foto ibuku sewaktu
muda yang bertuliskan nama pria yang kakak sebutkan sewaktu menemaniku
mengerjakan PR. Fikri Amirullah. Saat itu aku yakin dia Ayahku.
Aku tahu, kakak pasti terkejut dan tak percaya. Sama,
kak. Aku mohon jangan tanyakan alasan yang kuat mengapa aku yakin itu ayah.
Sakit memang ketika mengetahui kenyataan ini. Harapanku
seakan musnah. Tak ada punggung tuk bersandar. Kini kuyakin, kita hanya akan
menjadi keluarga. Tak lebih dari itu.
Cukup disini saja surat ini. semoga kakak tetap menyayangiku.
Apapun yang kukatakan dalam surat, jangan pernah kau sampaikan pada ibu.
sesungguhnya ini akan melukai hatinya.
Aku selalu mengharap rindumu.
Bunyi panggilan
dari handphone membuyarkan lamunanku.
Kak Zar menelepon.
Aku :
Hallo....
Kak Zar :
(Diam sejenak) Hallo.. Dek, aku sudah membacanya.
Aku :
Oh.. kalau begitu kakak gakkan bilang sama ibu kan?
Kak Zar :
Iya.. Kakak janji. Mmmppp.. mungkin kita lebih baik seperti ini.
menyatu dalam
ikatan keluarga. (Kak Zar memutuskan sambungan)
Nada bicara Kak Zar terdengar menyimpan
kekecewaan. Tapi, dia tak pernah menunjukkannya. Aku juga kecewa. Hanya saja,
aku tahu diri. Dia kakak kandungku. Jadi, perasaanku tak mungkin terbalaskan.
0 comments:
Post a Comment