Tarian Api Enam Tahun Silam (1)

Menetes air mataku ketika membaca sebuah kumpulan puisi. Mata enggan berkedip. Tunduk mengikuti lembar demi lembar episode hidup. Hanya hati yang berbisik, menggelitik jiwa tuk bergentayang menembus ruang dimana titik mula puisi-puisi ini tercipta. Sementara itu, dinding yang tangguh takzim memperhatikan. Jam pun seakan berhenti berdetak mengamini setiap kata yang kuucap dalam hati. Ku baca setiap bait dengan seksama.

Terlukis Indah
Ku ungkapkan tidak...
Padahal ya,,,
Ku ungkapkan ya...
Padahal tidak..           

Bukannya tak sakit     
Hanya saja pisau yang tumpul tak dapat menyayat hatku
Jarum yang patah tak dapat menusuk jantungku
Lidah yang tak dapat merobek hatiku

Namun, kau yang terlukis indah
Kau yang merajai
Kau yang menyempurnakan
Aku, yang  mendambamu

Selesai empat kali kubaca, ku terdiam mencoba menerawang masa itu.
▪▪▪
Enam tahun  yang lalu.
Aku masih berkumpul dikantin sekolah bersama teman-teman. Bercanda-tawa.  Iseng menjahili teman yang lainnya. Menghabiskan waktu bersama. Ya, walaupun aku bukan anak popular sekolah, tapi aku memiliki banyak cerita tentang masa sekolah.
22 Desember 2008. Seperti biasa aku pulang bersama Kodir sahabatku. Aku memanggilnya Kod. Aku suka panggilan itu. Entah apa alasannya. Orang berperawakan tegap, tipe mahasiswa STPDN. Berkulit sawo matang dengan senyum yang dihiasi lesung pipi tipis di pipi kanannya. Sesuai postur tubuhnya, dia bercita-cita menjadi abdi negara. Ya, cita-cita yang cukup menjanjikan. Maka dari itu, dia selalu menjaga kwalitas fisik dan otaknya agar mampu bersaing dalam seleksi penerimaan mahasiswa STPDN esok lusa ketika dia lulus. Dan sebagai sahabatnya, aku  sangat mendukung cita-citanya walau agak khawatir dengan desas-desus tentang aksi brutal senior STPDN saat OSPEK. Tapi, jikapun terjadi hal semacam itu, aku yakin dia mampu melewatinya.
“Kod..?”
“Ya...”
“Percepatlah langkahmu! Entah mengapa aku sangat merindukan rumah.”
“Haaahhh.” Mendongak kaget. “Tumben?” tanyanya.
“Entahlah.”
“Heem...”
Kami mempercepat langkah. Dengan terus bercanda aku terus melenggang pulang. Semakin mendekati rumah, semakin dada ini dagdigdug tak karuan. “Ada apa dengan aku?” Pertanyaan itu kontak muncul dari hatiku. 400 meter mendekati rumah, rasaku semakin kacau. 300 meter, hatiku seakan berlari mendahului ragaku tuk sampai di rumah. 200 meter, akhirnya aku ikuti hatiku. Berlari. Belokan terakhir gang Anggrek, aku berhenti. Diam memperhatikan sekitar. Tersadar.
“Kod..?”
“Ya.”
“Kemana orang-orang?”
“Loh, memang kenapa?”
“Perhatikanlah”
“Ya, sunyi.”
Kami terpaku melihat keheningan gang anggrek. Gang yang biasa ramai dengan tingkah polah warganya, kini sepi. Hingga teriakan itu mengagetkanku.
Awwwwwaaaaaaaaaaaaaassssssssssss, minggir! Budak teh kalah cicing di tengah jalan. Teu terang nuju riweh batur teh” Bapak itu kesal. Menceracao sambil terus berlari memanggul selang. Aku hanya mengangkat alis. Bingung. Satu sisi yang kembali membuatku berfikir, mengapa gang ini sangat becek. Padahal bulan ini masih dalam hitungan musim kemarau.
Eleuhh, neng. Naha cicing wae di dieu. Rumah neng. Rumah.” Kang Darman tetangga sebelah rumahku terengah-engah berusaha menjelaskan sesuatu.
“Rumah? Kenapa dengan rumah, Kang?” aku bertanya memperjelas.
“Kebakaran! Rumah neng kebakaran!” jawab kang Darman jelas.
Dengan segera, hatiku panas. Rasanya api yang berkobar di rumahku merembet membakar hatiku, kini. Aku segera berlari. Tak perduli apapun. Kacau. Ternyata hatiku yang resah berusaha menunjukkan kejadian ini.
Sesampainya di depan rumah, hanya hitam dan merah yang terlihat. Rumah mungil bergaya minimalis hangus terbakar. Aku lunglai. Nafasku sesak. Otakku panas. Mataku nanar menyaksikan tarian api itu.
“Ibu...” aku terperanjat teringat ibu. “Ibu, Kod. Ibu..!”
Kod yang sedari tadi diam mengelus pundakku, ikut terperanjat. “ ya, ayo kita cari.”
“Ibu dimana, Kod?” tanyaku.
“Iya, kita cari. Tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang. Kau tau Kod, dia satu-satunya hidupku. Dan kau lihat Kod, rumah kami hangus. Tak tersisa. Kau masih menyuruh aku tenang, ketika belum menemukannya? HAH!” Suaraku meninggi. Mataku menajam mengatakan hal itu.
“ Ya, aku tau. Tapi bagaimanapun kau harus tenang.”
“Tenang? Kau kembali menyuruhku tenang? Apa gunanya kau di sini, Kod? Jika hanya mengatakan hal itu. Tenang. Tenang. Ten.....”
“Dan apa gunanya kau di sini jika kau hanya menceracau, menyalahkan orang lain, hah?! Bukankah lebih baik kau bergegas mencari ibumu dari pada hanya mengeluhkan nasibmu. Apakah disini hanya kau yang merasa kacau, hah? Lihat sekitarmu, semua orang disini merasakan hal yang sama.” Kod memotong  rutukanku, dengan nada tinggi jua. Pertama kalinya dia mengeraskan suaranya di depanku dan kepadaku.
Aku terdiam. Sembunyi-sembunyi mengamini perkataannya. “Kod, dimana ibu?”
“Maka dari itu, tenanglah. Kita cari ibu. Kau harus tenang.” Perintahnya Kod, halus.
“Ya.” aku berdiri. kembali menatap sekitar. Guyuran air dari segala sisi terus membasahi rumahku. Teriakan warga, saut menyaut menyampaikan kekuranga ini itu. Tapi di tengah kejadian itu, tak sedikitpun, aku melihat sosok ibu. Samar aku melihat teh Icih. “Teh, Teh Icih..” Teriakku lantang. Yang dipanggil hanya menoleh kekanan dan kekiri mencari suara yang memanggilnya. “Teh, teh Icih..” teriakku lagi tak kalah lantang. Kali ini aku kumpulkan seluruh tenaga tuk menghapirinya. “Teteh..” panggilku sambil melangkah dipapah Kodir. “Teh..”
“Neng..” akhirnya yang dipanggil menyadari panggilanku.” Ya Alloh, neng. Kemana wae. Neng teh ditungguin enggak dateng-dateng. Rumah neng, rumah.”
“Ya teh, rumah habis terbakar. Tapi, yang terpenting ibu dimana teh?” tanyaku langsung.
“Ibu?” jawabnya terkejut.
“Ya teh, ibu dimana?” tanyaku lagi.
“Ibu...”
“Dimana teh?”
“Ibumu..”
“Dimana?!” Aku mulai tak sabar sembari khawatir.
“Ibumu ada di rumah bu haji.” Jawab teh Icih.
“Ya. Kita harus kesana Kod. Ayo! Ajakku memaksa.
“Tapi...” teh Icih kembali berbicara. Namun aku tak sedikitpun perdulikannya. Aku tarik Kod menuju rumah bu haji yang hanya terpisah  4 rumah dari rumahku. Aku berlari sekencang yang aku bisa. Kod, terus mengingatkanku tuk berhati-hati. Ah, siapa yang perduli dengan nasehatnya tentang berhati-hati. Yang terpenting saat ini adalah aku bertemu ibu. Aku terabas kerumunan orang yang lalu lalang mengangkut air sambil terus memegangi tangan Kod. Tiba di depan rumah bu haji, aku kembali heran, mengapa banyak ibu-ibu yang berkumpul disini. Dan sebagian dari mereka berwajah sembab.
“Assalamualaikum..” sapaku.
“Wa alaikumsalam..” jawab mereka serempak.
“Neeennnggggg....” Bu haji menghampiriku dengan tangisan. “Neng, sing sabar nyak geulis.”
Aku terpaku sesaat. “Bu haji, kata teh Icih, ibu ada dirumah bu haji? Dimana?”
Mendengar pertanyaanku bu haji semakin terisak. “Ibu. Ibu. Ada di dalam, Neng.”
“Alhamdulillah.” Jawabku sedikit lega.
“Tapi...” Bu haji membuka pembicaraan lagi.
“Tapi? Tapi kenapa bu?” Tanyaku resah. Tak menunggu lama aku berlari ke dalam. Alunan ayat Al-Quran yang tak asing, terdengar semakin keras. “Mengapa ada lantunan yasin?” bisikku pada diri sendiri. Aku semakin melangkah ke dalam. Ke ruang tengah rumah bu haji. Di mana lantunan Yasin itu berasal. Aku berdiri tercekak. Memandang lingkaran itu. Mereka pun tertegun melihat kedatanganku. Tiba-tiba hening menyerang. Hanya desisan angin yang terdengar dari lubang fentilasi.
“Neng....”akhirnya ibu haji memecah keheningan ini. “Ayo kita ke ibu.”
“Ya.”jawabku singkat. Aku berjalan mengikuti bu haji. Entah benar atau tidak, aku merasa setiap langkahku di ikuti oleh mata para pelantun Yasin itu. Aku di ajak ke salah satu sudut dimana ada hal yang disembunyikan dibalik samping batik warna coklat. Siapa atau apa dibalik samping itu? Aku semakin resah. Bertanya atas keadaan ini.
“Neng...” panggilan bu haji menghamburkan pikiranku.
“Ya, bu..” jawabku masih singkat.
“Neng, pernahkah kehilangan sesuatu yang sangat dicintai?”
“Ya, pernah.” Jawabku semakin tak mengerti mengapa ada pertanyaan itu.
“Bagaimana rasanya?” Tanya bu haji lagi.
“Sedih. Marah” Jawabku.”Mengapa ibu bertanya hal tersebut? Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku melepas kecurigaan.
“Jawablah dulu. Nah, kesedihan dan amarah itu apakah akan bertahan lama?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Selanjutnya apa yang kau lakukan?”
“Mengikhlaskannya.”
“Nah, benar sekali. Dan itulah yang sekarang harus kau lakukan, Neng.”
“Maksud ibu?” tanyaku semakin tak mengerti.
“Ibulah yang dibalik samping itu, Neng.”
“Apa.....”Rasanya petir baru saja menyambar tubuhku. Hatiku sesak, serasa tak terisi udara sedikitpun. Neuron di otakku seakan berhenti menjalar, sehingga hanya hitam dan putih yang terlihat tanpa ada makna. Mulutku kaku, hanya bisa menumpahkan kata-kata dengan air mata.”Ibu?”
“Ingatlah tentang keikhlasan, Neng.” Bu haji mengingatkanku sambil mengulur air mata.
“Ibu..” Hanya kata itu yang bisa terucap disela tangisanku. Aku berduka.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net