Oleh : Eneng Fitri Meilasari
Langit
tampak ganas hari ini, tak ada kompromi bagi mereka penghuni bumi. Matahari menyengat
sampai kepori. Meluruhkan butiran-butiran keringat dari tubuh sang pekerja.
Semua tangan mengusap dahi,menghela nafas dalam kepayahan. Bergegas kaki-kaki
itu melangkah, melindungi diri dari terik yang terus mengikuti, berjalan kearah
yang rindang dan tak ada celah bagi sang penyengat untuk mendekat. Namun bagi
kemuning sengatan seganas apapun yang menerpa dirinya tak akan meluluhkan
semangatnya untuk terus berkarya, meski raga tak sempurna, meski hati tak termiliiki,
namun semangatnya tiada tara.
Cinta
dan ketulusan yang ia rasakan dari orang-orang disekitarnya membuat ia terus
semangat menjalani hidup, senyum selalu disimpulnya, tawa tercipta disetiap
langkahnya. Kemuning tak ingin membuat orang-orang yang selalu membuatnya
bahagia terluka hanya karena ia menyimpan rasa sedih dihatinya. Dibuangnya
jauh-jauh rasa yang menurutnya hanya akan membuat dirinya tersiksa, mengubur
dalam-dalam kisah kelam kehidupannya dimasa lalu, menyingkap semua kenangan
yang masih tersisa dalam ingatan. Menggantinya dengan senyuman, tawa, ceria dan
bahagia. Kemuning tak pernah ingin lagi mengingat semua memori kelam
kehidupannya, ia sudah bahagia dengan kehidupannya sekarang. Hidup dengan
orang-orang yang mau menerima ia apa adanya, menerima semua kekurangan, dan
kesalahan yang pernah ia perbuat.Hari-harinya sekarang dipenuhi dengan
aktifitas-aktifitas positif dan bermanfaat, kemuning tak ingin menyia-nyiakan
lagi hidupnya dengan berdiam diri dan membiarkan hal-hal buruk terjadi
disekitarnya. Meski hidup didalam ketaksempurnaan, tapi kemuning selalu
berusaha agar semuanya menjadisempurna.
Tempat
tinggal barunyalah yang mengubah cara pandang hidup dan pendiriannya, sehingga
ia mampu membawa hidupnya kearah yang lebih baik. Sebuah rumah rehabilitasi perbaikan
diri bagi para pesakit kehidupan, yang sengaja didirikan oleh seorang wanita hebat
bernama Mufidah Nur Jannah adalah tempat tinggal kemuning sekarang. Mufidah dan
rekannya sengaja mendirikan rumah rehabilitasi tersebut supaya mereka yang
ingin mengubah hidupnya punya tujuan dan tempat untuk memulai dan berproses
menjadi lebih baik. Bisa memperbaiki hidup merupakan PR besar bagi setiap
insan, siapa di dunia ini orang yang tak pernah melakukan kesalahan, kesalahan
ibarat sebuah penyakit flu yang pasti semua orang pernah merasakannya. Baik itu
dimusim kemarau apalagi penghujan, flu bisa menyerang kapan saja, tak ada
kompromi dan konfirmasi terlebih dahulu. Seperti itulah juga sebuah kesalahan,
terjadi begitu saja tanpa terkira dan tak disengaja. Lingkungan tempat tinggal
kemuning sekarang memberikan banyak pengaruh positif pada cara berpikirnya,
banyak hal baru yang membuatnya betah tinggal ditempat itu.Tujuh tahun lamanya
kemuning tinggal disana, berbaur dengan para pesakitan lainnya, bercengkrama,
berbagi cerita dan pengalaman kehidupan satu sama lain. Banyak teman kemuning
yang sama-sama tinggal disana tapi belum mampu keluar dari persoalannya, mereka
masih terperangkap dalam dunia kelamnya. Tapi kemuning tak pernah berhenti
memotivasi mereka, ia tak ingin teman-temannya terus terjerembab dalam
kepayahan. Meski awalnya ia pun sama seperti mereka, sulit untuk keluar dari
masa lalu yang membuat hidupnya penuh dengan kenistaan, masalalu yang sudah merenggut
sebagian masa depannya. Tapi umi mufidah tak henti-hentinya memotivasi kemuning
untuk selalu berfikir positif dan mengubah masa depannya menjadi masa depan
yang cemerlang. Keluar dari masalalunya itu merupakn hal tersulit kedua yang
harus dirasakan kemuning, bergelut dengan hati yang sudah bernanah dan pikiran
yang sudah ternoda membuatnya tak jarang bertindak gila. Pernah suatu hari ia
nekat untuk mengakhiri hidupnya, berniatmemangkas habis kesedihannya dengan
kematian. Tapi berkali-kali ia mencoba untuk mati, berkali-kali juga ia gagal.
Semua orang disekitarnya terus mengingatkannya bahwa kematian bukanlah solusi
tebaik untuk menghidari permasalahan.
Masa
lalu kemuning selalu saja menghantuinya, masalalu yang selalu ditahannya agar
tidak terkenang kembali. Tapi terkadang kenangan itu selalu datang
menghantuinya, masuk dalam mimpi disetiap tidurnya. Kemuning memang sudah mampu
melupakan masalalunya, tapi tetap saja ketika mimpi buruk itu datang ia tak
bisa menahan rasa sakit dihatinya, meski bibir berzikir tapi hatinya terluka.
Tak mampu menahan air matanya untuk tak menangis. Masa lalu itu terlalu
menyakitkan.
*****
Mentari
sore mulai merangkak jauh dari pelupuk mata, tenggelam bersama luka yang kian
terkikis. Awan merah menghiasi langit magrib. Menyelimuti jiwa-jiwa yang tengah
bersiap beribadah kepada-NYA. Langit berganti gelap.Semua langkah menuju
masjid, solat magrib berjamaah. Salah satu rutinitas yang selalu dilakukan di
pusat rehabilitasi ini. Kemuning bergegas mengemas mukena dan al-quran.
Berjalan beriringan bersama teman-temannya. Selesai solat magrib, semua
penghuni rumah rehabilitasi melakukan tilawah bersama. Meski masih banyak yang
belum bisa membaca al-qur’an tapi mereka tetap bersemangat mengikutisetiap hurufnya,
meski terbata-bata melafalkannya. Usai tilawah disambung dengan siraman rohani,
dengan maksud mereka para penghuni rumah rehabilitasi dapat lebih dekat dengan
penciptanya dan mampu menyikapi kehidupannya dengan lebih baik, setelah itu
disambung dengan solat isya berjamaah.
Pulang
dari masjid kemuning tak lantas pergi ke kamarnya, sejak ia menginjakan kakinya
pertama kali dirumah rehabilitasi ini, ia senang sekali duduk merenung sendiri
di bangku taman samping masjid, baginya tempat itu adalah tempat ternyamannya
untuk ia meluapkan semua isi hatinya, sembari menatap langit malam yang pekat,
air mata meleleh dari sudut matanya. Kala ia mengingat masa lalunya.
Plaaaakkkk......
kembali pipi itu ditamparnya. Diseretnya ibu ke luar kamar, pukulan mendarat dikepalanya.
Ayah selalu bertindak kasar dan kejam terhadap ibu, setiap hari ibu
dipukulinya. Telat sedikit saja ibu mengantarkan kopi ke depan ayah, habis
sudah ia. Dilemparkannya gelas kopi itu. Ibu tak pernah melawan ayah, sekasar
apapun ayah ia tidak mampu untuk melawannya, ia hanya menangis dan berdoa. Semoga
ayah diberi kelembutan hati. Sikap kasar ayah tak serta merta karena hanya hal
sepele. “Semua bermula dariku, kalaulah aku lahir dalam keadaan yang normal
seperti anak-anak lainnya, maka ayah tak akan pernah menyakiti ibu.” Ucap
kemuning dalam hati.
Sejak awal ayah sangat berharap kalau ibu
melahirkan anak laki-laki, ketika ibu hamil ayah sangat memanjakannya, tak
sekalipun ayah membiarkan ibu mengerjakan hal yang berat-berat. Dielusnya perut
ibu setiap bangun dan sebelum tidur, sangat harmonis. Dulu belum ada yang
namanya USG seperti jaman sekarang, lagipula untuk USG ayah dan ibu tidak akan mampu.Jadi
mereka tidak tau apakah anak laki-laki atau perempuan yang akan lahir nanti.
9
bulan persis ibu mengandung, tepat hari sabtu tanggal 22 Mei 1988 kemuning
terlahir kedunia ini, tangisannya membuat wajah tegang ayah yang menunggu di
depan pintu kamar tersenyum bahagia. Ia belum tau anak yang dilahirkan istrinya
adalah perempuan. Setelah dukun beranak selesai membersihkan bayinya ia segera
memanggil ayah.
“Pak
anaknya sudah lahir, dia peremuan dan sangat cantik.” Ucap dukun beranak itu.
Mendengar
kata perempuan, raut bahagia diwajah ayah langsung berubah, ia tak percaya
istrinya melahirkan anak perempuan, tidak sesuai dengan harapannya.
Belum
selesai dukun beranak itu bicara, “Maaf pak, anak anda memiliki kecacatan pada
fisiknya, dia akan sedikit kesulitan ketika berjalan dan berbicara.” Jelasnya.
Mendengar
perkataan itu hati ayah seperti terkena sambaran petir. Dia kecewa, mengetahiu
kalau anak yang lahir adalah anak perempuan sajah dia sudah tak suka apalagi
dia harus menerima kenyataan kalau anaknya terlahir dalam keadaan cacat.
Ditatapnya bayi merah itu, wajahnya sangat marah. Pikirnya saat itu, ingin
sekali mencengkram bayinya dan membuat ia mati saja, daripada hidup dalam
kecacatan, menyusahkan dan membuat malu orang tua.
Dukun
beranak itu menyuruh ayah menggendong bayinya, tapi ia malah menghindar dan
pergi meninggalkanku dalam keadaan menangis. Melihat sikap ayah yang sangat
kecewa, ibu sangat sedih. Ibu pun tentunya ingin memberikan yang terbaik, tapi
inilah takdir tuhan. Ia tak bisa berbuat apa-apa.Seburuk apapun bayinya, ibu
tetap menyayanginya.Tak pernah sekalipun ia menyesal karena telah melahirkan
kemuning kedunia ini. Tapi ayah, tak pernah sekalipun menyentuh bahkan menggendongnya,
hingga tumbuh besarpun ayah masih bersikap sama. Kekecewaannya terlalu dalam,
sehingga ia tak mau menerima kenyataan.
Kemuning
seperti hidup tanpa seorang ayah, dia tak pernah disayang atau dimanja, dia tak
suka jika dipanggil ayah, apalagi jika dilakukannya didepan orang banyak.Sebenarnya
sakit hati kemuning menerima perlakuan ayahnya, tapi ia selalu sadar diri, ayahnya
begitu karena kekurangannya.
Sekarang
usia kemuning menginjak 7 tahun dan sudah mulai masuk sekolah dasar. Ibu memasukannya
ke sekolah biasa, dulu SLB tidak ada di daerahnya. Meski sedikit kesulitan
dalam berbicara dan berjalan ia tak pernah minder atau malu. Meski teman-temannya
mengejek, di biarkannya saja mereka, nanti juga mereka lelah dan bosan sendiri
dan berhenti mengejek.
“waaah...
cantiknya anak ibu, kamu harus jadi anak yang pinter ya, yang membanggakan
orang tuanya, jadi anak yang solehah.” Ibu mendoakan dan mengingatkan supaya kemuning
jadi anak yang baik dan pintar, di hari pertamanya masuk sekolah.
Ayah
yang sedang duduk sambil minum kopi ikut bicara, “Apa yang bisa dibanggakan
dari anak cacat seperti dia.”ayahnya menatap tajam.
Mendengar
perkataan suaminya, ibu segera membawa kemuning keluar dari rumah,
mengantarkannya ke sekolah.
*****
Waktu berjalan begitu cepat,
sekarang usia kemuning sudah 13 tahun. Dia mulai masuk Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Hatinya senang, meski dia hidup dalam ketidaksempurnaan tapi dia mampu
hidup dengan baik. Meski orang disekitarnyabanyak yang mengejek dan
menyepelekan, tapi dia mampu menghalau mereka dengan prestasinya. Fisikmemang
tak sempurna, tapi kemauannya mengalahkankekurangannya. Setiap hari kemuning
belajar dengan rajin agar mampu sejajar bahkan melebihi mereka yang normal, dan
itu terbukti sedari SD selalu masuk rengking 5 besar. Tak sia-sia usahanya.
Tapi itu tak membuat hati ayah goyah, ia tetap tak suka pada anak semata
wayangnya itu.
Mendung merayap siang itu. Mentari
terhijabi. Siang berubah kelam. Lamat, terdengar suara guntur menyambar.kemuning
bergegas pulang, sedikit berlari takut rintik hujan segera membasahi. Jarak
dari rumah ke SMP memang tak terlalu jauh, jadi dia brgegas dengan berjalan
kaki saja. Untunglah langit belum sempat menurunkan air matanya, ketika
kemuning sampai dirumah.
Dibukanya
pintu rumah. Prangggg....... terdengar suara pecahan piring dari arah dapur.
Dia kira guntur yang menyambar rumahnya, tapi ternyata emosi ayahnyalah yang
menyambar. Didapati ibu sedang dicaci maki ayah, tangan ibu berdarah terkena
pecahan piring. Kakinyagemetar, mulutnya ingin berteriak “Hentikan ayah, apa
salah ibu sampai tega ayah menyakitinya seperti ini.” Namun bibirnya terasa berat
untuk berucap. Dipukulinya ayahnya dengan sekuat tenaga. Berusaha menghentikan
pukulan pada ibunya.
“He
he hentikan.... ja.. ja.. jangan pu.. pu.. pukuli ibu lagi.” Kemuning berusaha
menghentikan ayahnya.
“Aaarrrggghhh.......”
didorongnya kemuning hingga terjatuh. “Diam kamu anak tak berguna, kau hanya
pembawa sial. Kalian berdua sama saja, kalian telah menghancurkan impianku.
Kenapa? Kenapa kau harus melahirkan anak tak berguna seperti dia hah? Anak yang
tak sedikitpun membuat orang tuanya bangga. Anak yang hanya bisa bikin malu
saja. Lihat.... lihat hasilnya, gara-gara anak tak berguna itu, usahaku jadi
hancur, semua orang tak suka melihatku, karena kamu anak sial. Kenapa kau urus
anak ini, kenapa kau besarkan dia? Kenapa kita tak buat mati saja dia. Kalau
sejak dulu ia tidak ada, maka hidup kita tidak akan sengsara. Dasar anak
pembawa sial.” Ayahnya mengluarkan semua unek-unek dan emosinya yang selama
bertahun-tahun ditahannya.
“Apa
salah kita punya anak cacat, apa pernah dia menyengsarakan kita sampai kita tak
sanggup lagi bernafas? Apa salah kalau kita menyayanginya, dia anak kita, darah
daging kita. Dia hanya cacat fisik, bukan mental. Dia anak yang pintar dan
cantik. Dia hanya memiliki sedikit kekurangan saja, mengapa kau sangat
membencinya.” Ibupun meluapkan emosinya pada ayah, sembari menangis terisak.
Mereka
terus berdebat tak menyadari kalau akibat dorongan ayahnya, kemuning tersungkur
pada ujung sudut lemari, kepalanya berdarah. Tubuhnya terkulai ketanah. Ibu
yang melihat kemuning pingsan, langsung menghampiri. Dia panik, dipegangnya
kepala kemuning yang berlumur darah.
“Hahahaha..........
biarkan saja dia mati jangan kau hiraukan, dia hidup pun hanya menyusahkan
saja. Bagus kalau dia mati.” Ayahnya malah tertawa terbahak.
Mendengar
perkataan suaminya itu, hatinya marah..... ibu mana yang tega membiarkan anak
semata wayangnya mati. Tanpa pikir panjang ibu kemuning yang masih memegangi
anaknya lantas berdiri dan mengambil benda keras yang ada disekitarnya.
Dihantamkannya benda keras tersebut pada kepala suaminya. Dia tengah berdiri
membelakangi sambil tertawa karena ia menganggap kemuning mati. Seketika darah
mengucur dari kepalanya, matanya membelalak merasakan sakit yang luar biasa
dikepalanya. Ayahpun berbalik membalas pukulan ibu. Emosinya meningkat saat sadar
kalau istrinyalah yang telah memukulnya. Tanpa basa basi ayah memukul dengan pas
bunga kesayangan ibu, berkali ibu dipukuli dan dihantam, ditinju, dicabik
dengan pecahan pas bunga yang sengaja dipecahkan ayah, dia semakin membabi buta.
Dia tak ingat lagi siapa yang dipukulinya, hanya kemarahan dan emosilah yang
ada dipikirannya.
Lumuran
darah memenuhi seluruh tubuh ibu, tak terlihat lagi wajahnya yang teduh dan
cantik, semua tertutup dengan darah kesedihan. Kemuning yang masih setengah
sadar menyaksikan perbuatan keji ayahnya, tapi ia tak mampu berbuat apa-apa
kepalanya pusing dan tubuhnya lemas, hatinya teriris melihat ibu yang terkapar
tak berdaya berlumur darah didepan matanya. Menyaksikan kematian ibunya sendiri
dengan kedua matanya adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya.
“A
a a anakku...... hi.. hi.. hiduplah dengan baik, ja.. ja.. jangan kau siakan
hidupmu.” Itu adalah kata-kata terakhir dari ibu, sampai akhirnya dia
benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya.
Kekejian
ayahnya sudah melumatkan rasa hormatnya sebagai seorang anak. Kemuning berusaha
mengangkat tubuhnya, sekuat tenaga ia berdiri mengambil benda keras yang
dipakai ibunya tadi untuk memukul. Dilihatnya ayah yang sudah membuatnya terlahir
kedunia tengah tertawa terbahak hilang kesadaran. Perlahan kaki kemuning
melangkah, dikumpulkannya tenaga untuk memukul ayahnya, ia sudah tak sanggup
memikirkan kalau orang yang ada didepan matanya itu adalah ayahnya. Sekuat tenaga
kemuning memukul ayahnya, dan brrruuukkkkk..... dengan satu kali pukulan saja
ayah ambruk ketanah, tampaknya tubuhnya sudah lemah tak berdaya. Dia menatap
kearah kemuning, dalam sakaratnya pun ia masih sempat menghardik anak cacatnya
itu.
“Dasar
anak tak berguna....... kau harusnya ma.. ma.. mati.” Kata terakhirnya menyumpahi
kematian bagi anaknya, tapi justru ialah yang menemui kematiannya itu.
Tapi
sebenarnya bukan itu kata yang ingin disampaikan ayah kemuning untuk terakhir
kalinya, sebenarnya dia menyadari betul bahwa dibalik kekurangan anaknya itu
dia memiliki keistimewaan, ia lain dari pada yang lain. Dia gadis cacat yang
penuh semangat, pekerja keras, dan periang. Sebenarnya ayah kemuning juga
menyayangi puteri semata wayangnya itu, hanya saja egois dan kekecewaan terus
menyelimuti relung hatinya. Bagai sebuah kabut di pagi hari yang selalu
menutupi pandangan mata.
*****
Selang kematian kedua orang tuanya,
kemuning tinggal seorang diri. Ia memilih untuk hidup sendiri dan tak mau menyusahkan
orang lain. Hidupnya sudah cukup menderita, ia tak ingin dikekang dan diatur
orang lain. Kemuning hidup seorang diri dalam kesusahan dan kepayahan.
Bertindak sesuka hati, jiwanya sedikit labil setelah kejadian itu. Seringkali
ia menyakiti tetangganya. Ia hidup seperti orang gila. Berteriak-teriak. Hingga
akhirnya semua tetangganya memasung kemuning. Dia hanya pasrah, hidup dalam
pasungan selama bertahun tahun. Tak ada lagi sekolah, tak ada lagi prestasi
yang ditorehkan gadis cacat tak sempurna. Semuanya sirna hanya dengan baku
hantam ayah, ibu, dan anak.
Dalam memorinya hanya ada bayangan
darah yang bersimbah dan kata-kata terakhir dari ibunya. Sampai akhirnya
datanglah seorang wanita baik hati yang membawa kemuning pergi meninggalkan
masa lalunya yang kelam dan hidup dengan kehidupan baru yang lebih baik,
seperti kata ibunya. Kemuning tinggal bersama Umi Mufidah di sebuah rumah
rehabilitasi perbaikan diri bagi para pesakit kehidupan. Kemuning dirawat dan
diasuh seperti anaknya sendiri. Disana ia berusaha hidup dengan baik dan tak
menyia-nyiakan lagi hidupnya dengan hanya mengenang masa lalu yang kelam.
Semenjak tinggal disana juga ia mengalami perkembangan pada cacat fisiknya. Kemuning semakin fasih
dalam berbicara, tidak terbata-bata lagi.
*****
“Astagfirulloh........ lagi lagi aku
terbuai dengan masa laluku.” Jam menunjukan pukul 20.30 wib, bergegas kemuning
meninggalkan bangku favoritnya itu. Berjalan dengan cepat menuju kamar
tidurnya. Takut kalau ia ketahuan lagi oleh umi. Berkali-kali umi mengingatkan
kemuning untuk tidak duduk sendiri dan melamun disana, itu bisa membahayakan
dirinya, bisa saja ia terhanyut kembali dalam memori kelam masa lalunya. Benar
saja persis ketika kemuning mau membuka pintu seseorang memanggilnya dari
belakang.
“Kemuning.......” ternyata benarlah
itu umi mufidah, sepertinya beliau sudah menyadari ketidak beradaan kemuning
dikamarnya selepas solat isya.
Kemuning membalikan badan dan
tersenyum. “Umi.....”
Umi ikut masuk kedalam kamar
kemuning. Mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Membelai lembut seperti ibu
pada anaknya.
“Anakku........ umi tau, kamu masih
belum bisa melupakan masa lalumu, memang berat dan susah untuk melupakannya. Sejujurnya
menghapus masa lalu itu tidak perlu anakku, jika engkau berusaha menghapus dan
menghilangkannya, umi justru lebih khawatir, umi takut engkau akan melakukan
hal serupa dikemudian hari. Untuk itu, janganlah berusaha menghapus masa lalu,
tapi jadikanlah masa lalu itu pelajaran berharga untuk kehidupanmu sekarang dan
masa depan. Tak banyak orang yang beruntung sepertimu nak, kau tengah
terjerumus, tapi kau mampu bangkit dari lubang hitam yang menenggelamkanmu,
terlepas dari kerangkeng kisah kelam dimasa lalu. Umi bangga kau sekarang sudah
mampu hidup lebih baik dan bisa hidup bermanfaat untuk orang lain. Jangan kau
siakan hidupmu, itukan pesan terakhir ibumu? Maka laksanakanlah pesan
terakhirnya, banggakanlah kedua orang tuamu, meski salah satu dari mereka tak
meridoi keberadaanmu di dunia ini, tapi ia tetap orang tuamu, yang harus kau
sayangi dan hormati. Kamu bisa?” umi mengakhiri perkataannya dengan pertanyaan
meyakinkan.
“Insyaalloh umi....... doakan yang
terbaik untuk anakmu yang ingin berubah ini, karena hanya umilah satu-satunya
orang tua yang kemuning miliki sekarang.” Kemuning memeluk erat umi mufidah
yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.
*****
Kabut pagi menyelimuti tetesan
airmata kemuning yang membasahi nisan ayah yang selama ini membenci dan tak
menganggapnya sebagai anak. Beribu maaf dan doa yang diucapaknnya didepan
kuburan orang tua yang sangat ia cintai.
Kehidupan terkadang memang tak adil,
tapi bagaimana cara kita menyikapi ketidak adilan itu.Apakah kita bersikap
serupa atau mengubahnya, itu kembali pada diri setiap insan masing-masing.
~TAMAT~
Deskripsi Judul Dengan Isi
KABUT
CINTA KEMUNING maksudnya cinta dari ayahnya yang terhalang sebuah kabut
(Kecacatan yang dialami kemuning), kabut disini maksudnya kecacatan. Padahal sebenarnya
ayah kemuning juga menyayangi anak semata wayangnya itu. Hanya karena keegoisan
dan kekecewaannyalah yang terus menyelimuti rasa cinta yang selama ini
diharapkan kemuning sebagai seorang anak dari seorang ayah.
0 comments:
Post a Comment