Karya: Cucu Abdul Karim
Rupa berharap kekasihnya
akan datang menghampiri. Meski Ia enggan mencari tahu sosok diriku telah
merindukannya. Hati pilu terus bersembunyi dalam kesakitan. Ia paham atas
kekagumanku. ia begitu paham atas rasanya. Mengagumi hati yang berusaha mengingkari
semuanya, telah memberi harapan hampa. Hingga kehampaan ini sedikit terisi oleh
sosok yang benar-benar menerimanya.
Sunyi tertahan dalam
suasana. Serangga malam terus menyanyikan lagu sepi. Tubuh bersandar pada kursi
panjang dari bambu yang terbaring menempel erat didepan rumah. Sinar rembulan membuat
jarak pandang remang-remang disekeliling. Rindu mulai datang menyentuh pikiran.
Seakan rembulan membisik untuk menegoknya lebih dekat. Tubuh ku terperingak
menatap sag rembulan. Lima puluh meter dari depan rumah, raga ini berdiri tegak
menghadap. Aku tidak mengerti kenapa tiba tiba halimah berada disini. Ia keluar
dari dalam rumah bambu. berjalan kearahku meski terlihat samar-samar.
“Bagai mana kabarmu Halimah?
Masikah engkau teguh dengan keputusanmu? Adakah cara untuk membuatmu luluh?
Jangan pernah katakan aku harus melupakanmu?”. Gumam dalam hati.
Ia kini berdiam diri.
Lisannya tersenyum melebar. Apakah aku benar-benar sedang melihat Halimah?. Senyumannya
bukanlah senyuman Halimah. Tentu tidak, aku tidak melihat Halimah. Tetapi aku
melihat Humaeroh. Yang kulihat bukan Halimah tetapi Humaeroh. apa mungkin
Humaeroh. kenapa dengan otak dan diriku ini? ada apa dengan semuanya?. Dia bukan
Halimah, tetapi dia adalah Humaeroh. Menundukan kepala sedikit menyamping
kesebelah kanan. Jantung berdetak semakin kencang. Berulangkali menghela napas.
“apakah rembulan malam
ini membuat mas berada diluar?” di anyamnya kedua tangan. Tidak mampu menjawab
dalam kondisi ku seperti ini. “mas sakit?” nadanya terdengar hawatir. Jari
tangannya memegang lenganku. Memakai kaos lengan pendek membuat telapak tangan Humairoh
menyentuh langsung kulit lenganku. Begitu terasa sangat hangat. Detak jantung semakin
kencang. Mulut seakan terkunci rapat. “mas sakit? katakan sesuatu Mas!” nada suaranya
semakin hawatir. Sekarang telapak tagan kananya menempel didahiku. Aku
dibuatnya mati kutu. Terjebak dengan keadaan dan perasan. Sepertinya aku harus
segera mengakhiri gejolak didada. Meraih kedua telapak tangannya yang merekat
erat dilengan dan dahi dengan kedua tangnku. Melepaskannya kembali pegangan
tangan.
Diriku masih terdiam
membisu. Mengangkat wajah terarah padanya. Berusaha menghindari tatapan mata
indahnya, aku tak mampu. Saling bertatapan, tengah membunuh seluruh tingkah. Begitu
mudahkah hati menaruh rasa?. Mungkin rasa ini hanya kesalahan semata. Humaeroh
memutar balik badan dengan tiga langkah kedepan.
“esok aku harus bangun
pagi-pagi” melanjutkan kembali langkah kakinya.
“Haruskah hari esok
menjadi alasan untuk mengingkari semuanya?” ia kembali berhenti “jangn biarkan
kita menipu diri kita sendiri”
“mas tidak melihat
diriku. Tetapi mas melihat sosok lain dalam diriku” tubuhnya membelakangi.
“sejak kapan kamu bisa
membaca pikiran orang lain?... Atau hanya sebuah pendapat. Sayang pendapatmu
telah keliru. Aku tidak melihat sosok lain dalam dirimu. Aku benar-benar
melihatmu. Memang kisah lama masih aku
ingat. Sebuah penantian terus kutunggu. Tetapi itu bukanlah kisah sesungguhnya.
Karna kisah sesungguhnya adalah kisah bersamamu. Penantian yang kutunggu
bukanlah penantian penuh kepiluan. Tetapi penantiaku sesungguhnya adalah
menantikan dirimu, menantikan keikhlasan hatimu menerimaku dalam sosok jadahnya”.
“besok aku akan kembali
kekota, ”
Tak ada sebuah kalimat
kembali terucap diantara kami. Humaeroh enggan merespon utara hatiku. Ia
melajutkan kembali langkah kaki yang sempat terhenti mendengarkanku. Meski
memag awalnya akumelihat Humairoh seperti melihat Halimah. Sekarag bayangan itu
telah lenyap. Humairoh berbeda dengan Halimah. Sosok baik, ramah, penyayang,
perhatian, terpenting ia bisa menerima seseorag apa adanya.
Sudah sangat larut
malam. pintu masih terbuka. Empat bambu terbaring rapat didepan rumah, menjadi
sandaran punggung kasmara. Betis merapat dengan paha. Dengkul menjadi
penyanggah lengan. Wajah kagum terukir dalam kerutan kening. Kornea hitam
tertahan keatas. Aku masih menunggu rembulan mengatatakan jawaban kebaikannya. Mungkin
ia begitu malu.
Suasana rembulan dalam
malam terlalu mudah untuk berlalu. Singkat kisah malam telah pergi tampa sebuah
janji ikatan.
0 comments:
Post a Comment