13. Rayuan Rembulan


Karya: Cucu Abdul Karim
Rupa berharap kekasihnya akan datang menghampiri. Meski Ia enggan mencari tahu sosok diriku telah merindukannya. Hati pilu terus bersembunyi dalam kesakitan. Ia paham atas kekagumanku. ia begitu paham atas rasanya. Mengagumi hati yang berusaha mengingkari semuanya, telah memberi harapan hampa. Hingga kehampaan ini sedikit terisi oleh sosok yang benar-benar menerimanya.  
Sunyi tertahan dalam suasana. Serangga malam terus menyanyikan lagu sepi. Tubuh bersandar pada kursi panjang dari bambu yang terbaring menempel erat didepan rumah. Sinar rembulan membuat jarak pandang remang-remang disekeliling. Rindu mulai datang menyentuh pikiran. Seakan rembulan membisik untuk menegoknya lebih dekat. Tubuh ku terperingak menatap sag rembulan. Lima puluh meter dari depan rumah, raga ini berdiri tegak menghadap. Aku tidak mengerti kenapa tiba tiba halimah berada disini. Ia keluar dari dalam rumah bambu. berjalan kearahku meski terlihat samar-samar.
“Bagai mana kabarmu Halimah? Masikah engkau teguh dengan keputusanmu? Adakah cara untuk membuatmu luluh? Jangan pernah katakan aku harus melupakanmu?”. Gumam dalam hati.
Ia kini berdiam diri. Lisannya tersenyum melebar. Apakah aku benar-benar sedang melihat Halimah?. Senyumannya bukanlah senyuman Halimah. Tentu tidak, aku tidak melihat Halimah. Tetapi aku melihat Humaeroh. Yang kulihat bukan Halimah tetapi Humaeroh. apa mungkin Humaeroh. kenapa dengan otak dan diriku ini? ada apa dengan semuanya?. Dia bukan Halimah, tetapi dia adalah Humaeroh. Menundukan kepala sedikit menyamping kesebelah kanan. Jantung berdetak semakin kencang. Berulangkali menghela napas.
“apakah rembulan malam ini membuat mas berada diluar?” di anyamnya kedua tangan. Tidak mampu menjawab dalam kondisi ku seperti ini. “mas sakit?” nadanya terdengar hawatir. Jari tangannya memegang lenganku. Memakai kaos lengan pendek membuat telapak tangan Humairoh menyentuh langsung kulit lenganku. Begitu terasa sangat hangat. Detak jantung semakin kencang. Mulut seakan terkunci rapat. “mas sakit? katakan sesuatu Mas!” nada suaranya semakin hawatir. Sekarang telapak tagan kananya menempel didahiku. Aku dibuatnya mati kutu. Terjebak dengan keadaan dan perasan. Sepertinya aku harus segera mengakhiri gejolak didada. Meraih kedua telapak tangannya yang merekat erat dilengan dan dahi dengan kedua tangnku. Melepaskannya kembali pegangan tangan.
Diriku masih terdiam membisu. Mengangkat wajah terarah padanya. Berusaha menghindari tatapan mata indahnya, aku tak mampu. Saling bertatapan, tengah membunuh seluruh tingkah. Begitu mudahkah hati menaruh rasa?. Mungkin rasa ini hanya kesalahan semata. Humaeroh memutar balik badan dengan tiga langkah kedepan.  
“esok aku harus bangun pagi-pagi” melanjutkan kembali langkah kakinya.
“Haruskah hari esok menjadi alasan untuk mengingkari semuanya?” ia kembali berhenti “jangn biarkan kita menipu diri kita sendiri”
“mas tidak melihat diriku. Tetapi mas melihat sosok lain dalam diriku” tubuhnya membelakangi.
“sejak kapan kamu bisa membaca pikiran orang lain?... Atau hanya sebuah pendapat. Sayang pendapatmu telah keliru. Aku tidak melihat sosok lain dalam dirimu. Aku benar-benar melihatmu. Memang  kisah lama masih aku ingat. Sebuah penantian terus kutunggu. Tetapi itu bukanlah kisah sesungguhnya. Karna kisah sesungguhnya adalah kisah bersamamu. Penantian yang kutunggu bukanlah penantian penuh kepiluan. Tetapi penantiaku sesungguhnya adalah menantikan dirimu, menantikan keikhlasan hatimu menerimaku dalam sosok jadahnya”.
“besok aku akan kembali kekota, ”
Tak ada sebuah kalimat kembali terucap diantara kami. Humaeroh enggan merespon utara hatiku. Ia melajutkan kembali langkah kaki yang sempat terhenti mendengarkanku. Meski memag awalnya akumelihat Humairoh seperti melihat Halimah. Sekarag bayangan itu telah lenyap. Humairoh berbeda dengan Halimah. Sosok baik, ramah, penyayang, perhatian, terpenting ia bisa menerima seseorag apa adanya.
Sudah sangat larut malam. pintu masih terbuka. Empat bambu terbaring rapat didepan rumah, menjadi sandaran punggung kasmara. Betis merapat dengan paha. Dengkul menjadi penyanggah lengan. Wajah kagum terukir dalam kerutan kening. Kornea hitam tertahan keatas. Aku masih menunggu rembulan mengatatakan jawaban kebaikannya. Mungkin ia begitu malu.
Suasana rembulan dalam malam terlalu mudah untuk berlalu. Singkat kisah malam telah pergi tampa sebuah janji ikatan.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net