BABAK BARU (2)

            Hujan deras membasahi pekarangan rumah, rerumputan bermandikan air langit. Mawar menari diiringi orkestra hujan. Senja kali ini sendu. Aku duduk takzim di beranda kamar. Menatap lekat panggung hujan berlaga. Dingin tak kuhiraukan. Angin yang menusuk tulang tak ku resahkan. Pikiran menerawang tiga tahun lalu. Dimana aku sangat bersahabat dengan suasana ini. Dingin hujan. Angin kencang. Bernostalgia dengan keadaan. Sambil masih ku genggam kumpulan puisi milik ibu.
Dua bulan setelah api lahap melalap rumah beserta ibuku, aku terlunta. Berkeliling tinggal di rumah kerabat. Dengan keadaan ini, aku tak sanggup menjalaninya. Akhirnya aku memutuskan keluar dari keadaan itu. Aku pamit kekota tuk mengubah hidupku. Paling tidak tuk mandiri. Dua bulan lebih aku terlunta. Menerima tidur di emper toko, mushola atau tempat yang setidaknya bisa membuatku tertidur. Makan pun aku terima sisa orang. Keras. Hidup memang keras. Tapi bagaimana bisa aku hanya menunggu. Paling tidak aku berusaha tuk tetap hidup.
▪▪▪
“Apa yang sedang kamu lakukan?” Tanya wanita setengah baya.
“Cari makan, bu” jawabku.
 “Hmmm, ibu ada makanan di dalam. Ikut ibu, yuk?”
“Ini rumah ibu?”
“Ya...”
Aku beranjak dari tong sampah kotor itu, berjalan mengikuti wanita setengah baya yang mengajakku. Terkagum-kagum melihat rumahnya yang begitu luas. Foto keluarga terpampang rapih di dinding. Gelas kristal tersusun cantik di dalam lemari kaca. Sofa sudut berwarna hitam melengkapi interior ruang keluarga. Home teater  mewah menempel tertata rapih di sebrang sofa sehingga ruang keluarga terlihat nyaman.
“Duduk lah, makan yang lahap” sodornya sepiring nasi dengan lauk lengkap dengan sayurnya.
Penuh semangat segera menyergapnya, dengan posisi duduk ala warteg ku lahap makanan itu. “Enak makanannya, bu”
“Pelan-pelan makannya.” Sambil senyum melihatku makan.
Sambil melihat aku makan, dia bertanya-tanya tentang latar belakangku. Menyelidik layaknya detektif.
“Namamu siapa?” tanyanya
“Faihatun, bu. Kalau nama ibu?” Jawabku sambil makan dengan lahap. Ya namaku singkat. Tapi itulah kenangan terakhir yang kedua orang tuaku tinggalkan. Satu-satunya hal berharga. Namaku.
“Sulastri, tempat tinggalmu dimana?”
“Saya tinggal jalanan, Saya Tak memiliki rumah”
“Mengapa begitu?” tanyanya menyelidik.
Seketika ku berhenti makan. Penyelidikannya membuatku kenyang. Segera ku beranjak dari sofa itu dan meninggalkan gedong itu.
“Mau pergi kemana? Maaf jika kumenyinggung perasaanmu”
“Tidak apa-apa, terima kasih makanannya.” Jawabku ketus sambil berjalan menuju pintu.
“Tunggu... Jangan pergi dulu..”
Ku tak menghiraukannya.
“Maukah kau tinggal disini? Bekerja di rumahku”
Aku berhenti seketika, berbalik kearahnya. “Maksud Ibu?”
“Kau bekerja di rumahku, lagian aku hanya tinggal sendiri, kedua anakku sedang menempuh studi di luar kota.”
“Ibu serius?”
“Iya, maukan?”
“Baiklah jika ibu memaksa”
Aku bahagia, kini tak hidup dijalanan yang amat keras. Ibu sulastri memperkerjakanku di rumah gedongnya. Wanita setengah baya dengan perawakan kurus, tidak terlalu tinggi, kulit sawo matang, dan selalu berjilbab itu teramat baik hati. Inilah babak awal kehidupan baruku. Bersama bu Sulastri.
▪▪▪
Ku tutup tirai kamarku ketika tersadar dentingan jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Ku beranjak ke tempat tidurku, merehatkan seluruh otot yang kencang. Sambil ku pejamkan mata, aku peluk erat kumpulan puisi ibu.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net