Dua
bulan setelah api lahap melalap rumah beserta ibuku, aku terlunta. Berkeliling
tinggal di rumah kerabat. Dengan keadaan ini, aku tak sanggup menjalaninya.
Akhirnya aku memutuskan keluar dari keadaan itu. Aku pamit kekota tuk mengubah
hidupku. Paling tidak tuk mandiri. Dua bulan lebih aku terlunta. Menerima tidur
di emper toko, mushola atau tempat yang setidaknya bisa membuatku tertidur.
Makan pun aku terima sisa orang. Keras. Hidup memang keras. Tapi bagaimana bisa
aku hanya menunggu. Paling tidak aku berusaha tuk tetap hidup.
▪▪▪
“Apa
yang sedang kamu lakukan?” Tanya wanita setengah baya.
“Cari makan, bu” jawabku.
“Hmmm,
ibu ada
makanan di dalam. Ikut ibu, yuk?”
“Ini rumah ibu?”
“Ya...”
Aku
beranjak dari tong sampah kotor itu, berjalan mengikuti wanita setengah baya
yang mengajakku. Terkagum-kagum melihat rumahnya yang begitu luas. Foto
keluarga terpampang rapih di dinding. Gelas kristal tersusun cantik di dalam
lemari kaca. Sofa sudut berwarna hitam melengkapi interior ruang keluarga. Home teater mewah menempel tertata rapih di sebrang sofa
sehingga ruang keluarga terlihat nyaman.
“Duduk
lah, makan yang lahap” sodornya sepiring nasi dengan lauk lengkap dengan
sayurnya.
Penuh
semangat segera menyergapnya, dengan posisi duduk ala warteg ku lahap makanan
itu. “Enak makanannya, bu”
“Pelan-pelan
makannya.” Sambil senyum melihatku makan.
Sambil
melihat aku makan, dia bertanya-tanya tentang latar belakangku. Menyelidik
layaknya detektif.
“Namamu
siapa?” tanyanya
“Faihatun,
bu. Kalau nama ibu?” Jawabku sambil makan dengan lahap. Ya namaku singkat. Tapi
itulah kenangan terakhir yang kedua orang tuaku tinggalkan. Satu-satunya hal
berharga. Namaku.
“Sulastri,
tempat tinggalmu dimana?”
“Saya
tinggal jalanan, Saya Tak memiliki rumah”
“Mengapa
begitu?” tanyanya menyelidik.
Seketika
ku berhenti makan. Penyelidikannya membuatku kenyang. Segera ku beranjak dari
sofa itu dan meninggalkan gedong itu.
“Mau
pergi kemana? Maaf jika kumenyinggung perasaanmu”
“Tidak
apa-apa, terima kasih makanannya.” Jawabku ketus sambil berjalan menuju pintu.
“Tunggu... Jangan pergi dulu..”
Ku tak menghiraukannya.
“Maukah kau tinggal disini? Bekerja di
rumahku”
Aku berhenti seketika, berbalik
kearahnya. “Maksud Ibu?”
“Kau bekerja di rumahku, lagian aku
hanya tinggal sendiri, kedua anakku sedang menempuh studi di luar kota.”
“Ibu serius?”
“Iya, maukan?”
“Baiklah jika ibu memaksa”
Aku bahagia,
kini tak hidup dijalanan yang amat keras. Ibu sulastri memperkerjakanku di
rumah gedongnya. Wanita setengah baya dengan perawakan kurus, tidak terlalu
tinggi, kulit sawo matang, dan selalu berjilbab itu teramat baik hati. Inilah
babak awal kehidupan baruku. Bersama bu Sulastri.
▪▪▪
Ku tutup tirai kamarku ketika tersadar dentingan jam dinding
menunjukkan pukul sebelas malam. Ku beranjak ke tempat tidurku, merehatkan
seluruh otot yang kencang. Sambil ku pejamkan mata, aku peluk erat kumpulan puisi ibu.
0 comments:
Post a Comment