2. Kelopak Layu

2.      Kelopak Layu 
Cucu Abdul Karim
            Tahap perubahan masa remaja menuju dewasa seringkali mengungkap kebersamaan dan solideritas kawan menjadi lebih berkesan. bisa di ibaratkan susah senang kita bersama. tetapi seiring dengan semua itu, pastilah  renta terhadap perilaku negatif . apalagi tingkah laku anak remaja menuju dewasa selalu bersandingan dengan urusan dan permasalahan cinta. Begitu juga dengan kedua sejoli tempat para dua pasang mata yang melihat menjadi iri. Namun entah bagai mana kejadian lebih detailnya. Kisah haram dari perilaku telah terungkap atas jalinan hina tingkah laku dua insan berpadu kasih tanpa halal di tubuhnya.
            Iseng satu malam resiko sembilam bulan. Sebuah kekaguman menjadi celotehan, kata seruan menjadi cemoohan. Ketika mereka tahu perilaku perut gendut milik sigadis  dalam pergaulanya. Diusia janin menginjak lima bulan, terlalu sulit untuk disembunyikan. Bahkan bersembunyi dengan mengurung diri di rumah, terus menjadi pertanyaan. Lama kelalaan bau busuk hasil pergaulan akhirnya tercium banyak hidung. Gadis bunting menjadi bahan perbincangan setiap kerumunan. Rasa malu tidak bisa dihindari. Takada yang bisa dilakukan selain sebuah penyesalan di ucap hati gelisahnya. Puluhan warga berbondong-bondong datang dengan ilusi mereka akan petaka yang mungkin dibawa janin penyesalan. “ayo usir dia dari kampung ini. Dasar wanita jalang. Pergi kau dari kampungini. Jagan sampai kamu melahirkan bayi harammu itu lahir dikampung kita” “ayo kita usir dia” kalimat cacian dan ilusi pembawa petaka berkali-kali diteriakan warga. Gadis malang diseret keluar dari kayu teduhnya. Ayah ibunya tidak mampu menahan malu dan kemarahan warga. Ia pergi bersama tanginsan penuh keperihan. Seketika itu Rendi datang menghanpiri bersama ibunya. berusaha melindungi Hana. Rendi menegaskan bahwa ia akan bertanggung jawab dan akan menikahi Hana. Sedikit demi sedikit kemarahan warga mulai mereda. Berbicara baik-baik pada keluarga Hana tentang semua kehilapan mereka. Rendi berjanji hari esok ia akan menikahi Hana.
“Han maafkan aku karna aku tak mampu melindungimu”
Hana hanya terdiam bersama tatapan hampa penuh airmata
“aku tahu sesungguhnya aku berkali kali membuatmu terluka Han. Tetapi kamu selalu mengobati lukaku”
Kesokan harinya Rendi menepati janjinya yaitu menikahi Hana. Tanpa ragu Rendi dan ibunya membawa Hana kerumahnya. Mereka sangant menyayangi Hana. Diperlakukan hana seperti seorang ratu yang sedang mengandung calon pangeran. 6 bulan masa kandungan telah berlalu, 7 bulan masa kandungan sudah terlewati, 8 bulan masa kandungan terus dimajakan, 9 bulan masa kandungan sedang dijalani. Seluruh perhatian rendi dan ibunya terus tertuju pada Hana yang sedang mengandung.
Sudah dua bulan ini Rendi mulai bekerja di perusahaan milik keluarganya. Rendi Sebastian merupakan anak satu-satunya sekaligus pewaris tunggal dari pasagan Sebastian dan Meliana. Diakhir masa kandungan hasil prediksi dokter, sekitar dua hari lagi Hana akan melahirkan tepatnya hari kamis. Rendi selalu pulang lebih awal untuk terus menjaga dan memberi kasih sayang lebih pada Hana. Ia telah membeli vigura kosong pesanan Hana yang akan  diisi poto bayi yang sebentarlagi akan menengok bumi. Waktu itu hari rabu tepatnya jam 12.30 sehabis salat duhur ia segera bergegas pulang. Mobil mewah menjadi kendaraan peribadi yang selalu ia kendarai sendiri. Memutar kunci setater mobil dengan seketika menyala. Lekas melaju dengan rasa tidak sabar ingin segera sampai dan memberikan pigura terindah yang telah ia beli. tangan kanan memegang setir mobil yang terus melaju. sedangkan tangan kiri memegang henpon di kuping kirinya.
“halo sayang. Aku sekarang lagi diajalan menuju rumah”
“ia. Gimana Viguranya udah dapat ?”
“sudah ! ini aku bawa. 20 menit lagi aku sampai rumah. Sayang sudah dulu aku lagi menyetir”
“Hati hati”
Menanti suami dibalik jendeal kamar tingkat dua rumahnya. Tatapan penuh penatian terlihat dibolamatanya. Perut gendut berisikan jabang bayi terus di elusnya.   Satu jam berlalu ayah sang bayi tak kunjung datang. Sikap baik sangka terus ia simpan dalam benak pikiranya. Mungkin dijalan maet. Disamping rajang terhimpit lemari baju. Diatas meja telepon ruah dikamar berbunyi, entah siapa yang menelepon.
“Halo, apa benar ini kediaman bapak Rendi Sebastian?”
“Iah benar, kebetulan saya istrinya. dengan siapa ini ?”
“kami dari kepolisian. menemukan bapak rendi mengalami keelakaan”
“kecelakaan?”
Telepon terjatuh begitu mendenganr kabar buruk dari kepolisian. Deraian airmata terus berjatuhan. Panik menyelimuti dirinya. Tergesa-gesa penuh kesediahan. Hana segera keluar dari kamarnya. Kakinya terus saja melangkah tampa menghiraukan apapun. dipikirannya hanya tersimpan suamuku suamiku suamuku. Ketika menuruni tangga hana terpeleset dan akhirnya terjatuh menggelitik hingga kebawah.
Benturan dikepala belakan terlalu keras hingga menyebabkan luka parah. Patalnya berakibat hilang ingatan. Seketika ini haya sementara, tetapi nyataya terus berkepanjangan. Ibuku hilang ingatan hingga sekarang. Kecelakaan saat menyalip mobil terlalu sulit untuk dihindari oleh ayah. Meski ayah sempat menerima pertolongan medis. Tetaplah takdir telah menggoreskan kalau ayah telah kembali pada sang pencipta.  
“Rio kok kamu belum berangkat” terkaget Omah menepuk pundakku dari belakang
“eh Omah. Iah sekarang aku berangkat”
“mata kamu kenapa na ?”
“eh eh. Oh ia barusan kelilipan, sekarang udah gak ko” tangan segera mungkin menghapus airmata ini
“oh”
“aku berangkat sekolah” denga segera kukecup tanga Omah
“hati-hati. jangan ngebut bawa mobilnya”
“baik Omah”
diparkiran bawah, Membuka pintu simerah yang selalu setia mengantar kemanaun aku pergi. Selangkah masuk duduk di kursi nyaman dengan berselendang sabuk pengaman. Memutar kunci kendali kearahkanan, dalam seketika menyala. Graman lembut digaungkan seolah tanda siap melaju. “tot tot tot” suara kelakson kutekan tiga kali telah menjadi tanda isarat bagi Pak  Hilman penjaga rumah untuk membukakan pintu gerbang. Menginjak gas, dengan seketika melaju perlahan.  
“pagi den”
“pagi”
Kalimat itu menjadi kebiasaan yang diucapkan pak Hilmah dipagi hari. Saat aku  keluar dari gergang rumah. melaju perlahan, semakin cepat dan cepat.
Rasanya pagi ini terlalu membuatku terharu! Mengingat perjalanan daging ini tumbuh hinnga membungkus tulang. Seringkali kawan sebaya yang terlalu menyimak isu-isu tentang diriku ini menjadikan bahan tertawaan dan ledekan kepuasan mereka. Tetapi apalah daya, takdir masalalu takmampuh untuk diubah. aku takpernah membenci tingkahlaku mereka dimasa remaja. Ataukah aku menyalahkan sikap kedua orangtuaku dulu. Malah aku lebih sayang pada ibu dan almarhum ayah. Selalu aku yakinkan pada pagi yang menyongsong, pada kabut memudar, pada senja dalam tenggelam, pada angin lembut disetiap belainya, bahkan pada rinti hujan penuh tasbih disetiap tetesnya, “Aku Mencintai Pinangan Ayah”.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net