Cucu Abdul Karim
Tahap
perubahan masa remaja menuju dewasa seringkali mengungkap kebersamaan dan
solideritas kawan menjadi lebih berkesan. bisa di ibaratkan susah senang kita
bersama. tetapi seiring dengan semua itu, pastilah renta terhadap perilaku negatif . apalagi
tingkah laku anak remaja menuju dewasa selalu bersandingan dengan urusan dan
permasalahan cinta. Begitu juga dengan kedua sejoli tempat para dua pasang mata
yang melihat menjadi iri. Namun entah bagai mana kejadian lebih detailnya. Kisah
haram dari perilaku telah terungkap atas jalinan hina tingkah laku dua insan
berpadu kasih tanpa halal di tubuhnya.
Iseng
satu malam resiko sembilam bulan. Sebuah kekaguman menjadi celotehan, kata
seruan menjadi cemoohan. Ketika mereka tahu perilaku perut gendut milik
sigadis dalam pergaulanya. Diusia janin
menginjak lima bulan, terlalu sulit untuk disembunyikan. Bahkan bersembunyi
dengan mengurung diri di rumah, terus menjadi pertanyaan. Lama kelalaan bau
busuk hasil pergaulan akhirnya tercium banyak hidung. Gadis bunting menjadi
bahan perbincangan setiap kerumunan. Rasa malu tidak bisa dihindari. Takada yang
bisa dilakukan selain sebuah penyesalan di ucap hati gelisahnya. Puluhan warga
berbondong-bondong datang dengan ilusi mereka akan petaka yang mungkin dibawa
janin penyesalan. “ayo usir dia dari kampung ini. Dasar wanita jalang. Pergi kau
dari kampungini. Jagan sampai kamu melahirkan bayi harammu itu lahir dikampung
kita” “ayo kita usir dia” kalimat cacian dan ilusi pembawa petaka berkali-kali
diteriakan warga. Gadis malang diseret keluar dari kayu teduhnya. Ayah ibunya
tidak mampu menahan malu dan kemarahan warga. Ia pergi bersama tanginsan penuh
keperihan. Seketika itu Rendi datang menghanpiri bersama ibunya. berusaha
melindungi Hana. Rendi menegaskan bahwa ia akan bertanggung jawab dan akan
menikahi Hana. Sedikit demi sedikit kemarahan warga mulai mereda. Berbicara
baik-baik pada keluarga Hana tentang semua kehilapan mereka. Rendi berjanji
hari esok ia akan menikahi Hana.
“Han maafkan aku karna
aku tak mampu melindungimu”
Hana hanya terdiam
bersama tatapan hampa penuh airmata
“aku tahu sesungguhnya
aku berkali kali membuatmu terluka Han. Tetapi kamu selalu mengobati lukaku”
Kesokan harinya Rendi
menepati janjinya yaitu menikahi Hana. Tanpa ragu Rendi dan ibunya membawa Hana
kerumahnya. Mereka sangant menyayangi Hana. Diperlakukan hana seperti seorang
ratu yang sedang mengandung calon pangeran. 6 bulan masa kandungan telah
berlalu, 7 bulan masa kandungan sudah terlewati, 8 bulan masa kandungan terus
dimajakan, 9 bulan masa kandungan sedang dijalani. Seluruh perhatian rendi dan
ibunya terus tertuju pada Hana yang sedang mengandung.
Sudah dua bulan ini
Rendi mulai bekerja di perusahaan milik keluarganya. Rendi Sebastian merupakan
anak satu-satunya sekaligus pewaris tunggal dari pasagan Sebastian dan Meliana.
Diakhir masa kandungan hasil prediksi dokter, sekitar dua hari lagi Hana akan
melahirkan tepatnya hari kamis. Rendi selalu pulang lebih awal untuk terus
menjaga dan memberi kasih sayang lebih pada Hana. Ia telah membeli vigura
kosong pesanan Hana yang akan diisi poto
bayi yang sebentarlagi akan menengok bumi. Waktu itu hari rabu tepatnya jam
12.30 sehabis salat duhur ia segera bergegas pulang. Mobil mewah menjadi
kendaraan peribadi yang selalu ia kendarai sendiri. Memutar kunci setater mobil
dengan seketika menyala. Lekas melaju dengan rasa tidak sabar ingin segera
sampai dan memberikan pigura terindah yang telah ia beli. tangan kanan memegang
setir mobil yang terus melaju. sedangkan tangan kiri memegang henpon di kuping
kirinya.
“halo sayang. Aku sekarang
lagi diajalan menuju rumah”
“ia. Gimana Viguranya
udah dapat ?”
“sudah ! ini aku bawa. 20
menit lagi aku sampai rumah. Sayang sudah dulu aku lagi menyetir”
“Hati hati”
Menanti suami dibalik
jendeal kamar tingkat dua rumahnya. Tatapan penuh penatian terlihat
dibolamatanya. Perut gendut berisikan jabang bayi terus di elusnya. Satu
jam berlalu ayah sang bayi tak kunjung datang. Sikap baik sangka terus ia
simpan dalam benak pikiranya. Mungkin dijalan maet. Disamping rajang terhimpit
lemari baju. Diatas meja telepon ruah dikamar berbunyi, entah siapa yang
menelepon.
“Halo, apa benar ini kediaman
bapak Rendi Sebastian?”
“Iah benar, kebetulan
saya istrinya. dengan siapa ini ?”
“kami dari kepolisian.
menemukan bapak rendi mengalami keelakaan”
“kecelakaan?”
Telepon terjatuh begitu
mendenganr kabar buruk dari kepolisian. Deraian airmata terus berjatuhan. Panik
menyelimuti dirinya. Tergesa-gesa penuh kesediahan. Hana segera keluar dari
kamarnya. Kakinya terus saja melangkah tampa menghiraukan apapun. dipikirannya
hanya tersimpan suamuku suamiku suamuku. Ketika menuruni tangga hana terpeleset
dan akhirnya terjatuh menggelitik hingga kebawah.
Benturan dikepala
belakan terlalu keras hingga menyebabkan luka parah. Patalnya berakibat hilang
ingatan. Seketika ini haya sementara, tetapi nyataya terus berkepanjangan.
Ibuku hilang ingatan hingga sekarang. Kecelakaan saat menyalip mobil terlalu
sulit untuk dihindari oleh ayah. Meski ayah sempat menerima pertolongan medis.
Tetaplah takdir telah menggoreskan kalau ayah telah kembali pada sang pencipta.
“Rio kok kamu belum
berangkat” terkaget Omah menepuk pundakku dari belakang
“eh Omah. Iah sekarang
aku berangkat”
“mata kamu kenapa na ?”
“eh eh. Oh ia barusan
kelilipan, sekarang udah gak ko” tangan segera mungkin menghapus airmata ini
“oh”
“aku berangkat sekolah”
denga segera kukecup tanga Omah
“hati-hati. jangan
ngebut bawa mobilnya”
“baik Omah”
diparkiran bawah,
Membuka pintu simerah yang selalu setia mengantar kemanaun aku pergi. Selangkah
masuk duduk di kursi nyaman dengan berselendang sabuk pengaman. Memutar kunci
kendali kearahkanan, dalam seketika menyala. Graman lembut digaungkan seolah
tanda siap melaju. “tot tot tot” suara kelakson kutekan tiga kali telah menjadi
tanda isarat bagi Pak Hilman penjaga
rumah untuk membukakan pintu gerbang. Menginjak gas, dengan seketika melaju
perlahan.
“pagi den”
“pagi”
Kalimat itu menjadi
kebiasaan yang diucapkan pak Hilmah dipagi hari. Saat aku keluar dari gergang rumah. melaju perlahan,
semakin cepat dan cepat.
Rasanya pagi ini terlalu
membuatku terharu! Mengingat perjalanan daging ini tumbuh hinnga membungkus
tulang. Seringkali kawan sebaya yang terlalu menyimak isu-isu tentang diriku
ini menjadikan bahan tertawaan dan ledekan kepuasan mereka. Tetapi apalah daya,
takdir masalalu takmampuh untuk diubah. aku takpernah membenci tingkahlaku
mereka dimasa remaja. Ataukah aku menyalahkan sikap kedua orangtuaku dulu.
Malah aku lebih sayang pada ibu dan almarhum ayah. Selalu aku yakinkan pada
pagi yang menyongsong, pada kabut memudar, pada senja dalam tenggelam, pada angin
lembut disetiap belainya, bahkan pada rinti hujan penuh tasbih disetiap
tetesnya, “Aku Mencintai Pinangan Ayah”.
0 comments:
Post a Comment