7. Rohani Terlupakan

7.      Rohani Terlupakan  
Cucu Abdul Karim
Tolong katakan dimanakah kita akan menemukan bung mawar putih bermekaran, saat rintik hujan mengalah pada mentari siang. Apa mungkin tempat dimana makanan tersaji untuk memuaskan perut laparnya. Roti-roti kantin yang tertata  terlalu bisu untuk mengucapkan kata ya. Buku-buku saling berdempetan di perpustakaan terlalu sibuk menata dirinya, hingga tidak ada satu kalimat yang mengatakan dia ada disini. Bahkan Halte tempat menyimpan saksi pertama aku melihatnaya, tidak dapat meneduhkannya dari sengatam mentari siang.  Haruskah aku menyusuri setiap lorong jalan?.
Bagai mana aku dapat mengenal pribadimu bila engkau begitu mudah untuk mengilng. Bila engkau terlalu sulit untuk ku temui, bagaimana aku mampu membedakan senyuman manismu itu adalah sebuah cinta atau gurauan semata. Sepanjang jalan raya telah ku susuri. Namu Engkau tidak ku temukan tergeletak dipinggir jalan sekalipun. atau menyanjikan senyuman manis ditempat teduh yang terlarang. Tidak ada satu kata isyarat tersampaikan untuk menemukanmu. Seperti sebuah teka teki, tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Apa mungkin halusinasi ini terlau berlebihan.
“yo kemana lagi kita harus mencari Halimah. Sudah berputar-putar kesana kemari, tetap saja hasilnya nihil” suara lelah dan putus asa Drim
“entahlah. Aku pun sungguh dibuatnya sangat bingung. Halimah dimana kamu sebenarnya, jagan buat aku gila karna memikirkanmu” ucap terang-terangan ku.
“ngomong-ngomong aku haus yo”
Sejenak beristirahat dipinggir jalan sambil melepas dahaga. Dua kursi pandang dan satu meja panjang menjadikan tempat peristirahatan seketika.
“yo kok kita istirahat di sini? ” taya Drim
“bawel loh. Tavi iah juga yah!”
Orang-orang disekitarku seakan terbiasa menikmati jajanan pedagang kaki lima. Gaya makan yang lahap tampa memikirkan apakah makananya benar-benar sehat atau tidak. Mungkin mereka tidak pernah memikirkan ini baik atau tidanya, sepertinya dalam pikiran mereka hanya ada kata nikmat dan kenyang. Mereka tidak bisa membandingkan uang mereka dengan para pejabat negri ini, secara mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Rupiah mereka haya mampu menikmati jajanan kaki lima yang mudah di obrak abrik dengan aksi penggusuran. 
“Aha sekarang aku ingat yo, tadi aku lihat Halimah mengeluarkan tas cecil warna putih, kalau tidak salah mirip kaya tas perempuan dipesantren gitu. Yang biasa di isi dengan kain putih yo” drim teringat ketika halimah mengeluarkan alat solatnya
“yang bener yo. Sekarang kita temukan dia. Mesjid terdekat dari lokasi sekolah yaitu mesjid Al-Hasanah. Ayo kita berangkat”
“minumannya belum dibayar. Kita mau pergi kemana?”
Kenapa aku bisa melupakan satu tempat yang mungkin dikunjung Halimah. Padahal Azan telah mengingatkan ku ia ada ditempat  yang Agung. Mobil warna silper yang menjemput halimah waktu itu terparkir dihalaman mesjid. Sekarang aku telah yakin kalau ia ada didalam masjid.
Mendorong pintu, segera aku keluar dari mobil. Gerbang mejid begitu indah dengan corak ukiran berwarna emas. Mesjid megah nan indah. Akan ku tunggu ia di gerbang agar kali ini tidak kecolongan. Halimah keluar dari pintu utama Mesjid. Wajah cerah cerahnya tersenyum mais. Di hujung terlas ia mengenakanalaskakinya. Menuruni satu persatu anak tangga dengan penuh pesona. Ia semakin mendekatiku, semakin dekat, sekarang aku takbisa berkata apa-apa. Aku terdiam dihadapannya. Apa ia akan mengatakan “Rio Aku suka padamu” mungkin “saat pertama aku melihatmu aku sudah suka padamu yo” atau yang lebih romantis “I Love You” gituh.
“maaf boleh aku lewat” satu permintaah boleh aku lewat diucapnya padaku. aduh itu bukan satu permintaan tapi memag aku menghalangi jalannya. Dasar bodoh
“oh ia boleh”  ada apa dengan diriku sebenarnya? Halimah pergi melewatiku terdiam konyol.
“kamu Rio kan?” telunjuk kanan diarahkanya
“iah benar aku Rio, ternyata kamu masih ingat namaku”
“pipimu memear. Aku ambil dulu kotak obat dimobil”
“tidak usah Halimah aku baik-baik saja” didepan gerbag terdapat lantai panjang berbentuk kubus dengan ukuran satu kali satu meter memanjang didepan pagar. Pohon-pohon rindag berbaris rapih menjadi peneduh. Kami duduk bersebelahan. Bisa dibilang aga dekat, meski jaraknya sejauh satu meter. Kaki terselunjur mengayun. Tangannya mendekap taskecil berisikan alat solat. 
“kamu suka solat di mesjid ini juga?”
Entah apa jawaban harus diutarakan atas pertanyaan halimah. Duniaku terlalu gelap untuk menjawab satu pertayaan ini. Apakah aku harus berbohong kalau aku suka solat disini. Atau aku bilang kalau aku langganan solat di mesjis Al Hasanah!. Tidak tidak, aku harus jujur. Aku harus mengatakan kebenaran meski akan membuatnya tidak suka.
“apakah aku harus mengatakan sesuatu yang akan membuatmu jiji dan menjauhi diriku?”
“kenapa aku haru jiji padamu, tak ada alasan untuk menghindar darimu. Aku bukanlah orang yang mudah mengambil kesimpulan keperibadian oranglain! Tetapi maaf bila pertayananku membuatmu tersinggung?”
“tidak, pertayaanmu membuat ku sadar akan kehilapanku selama ini. Kalau aku terlalu melupakan hapalan shalat. Aku bukan lah orang baik yang memampu menjalankan ibadahnya” entah kenapa hati ini merasa tersentu mendengar kata-kata Halimnya.
“oya. Siapa yang tahu orang itu taat beribadah atau orang berdosa. Terkadang orang yang suka beribadah menyimpan dengki dalam hatinya. Tetavi, orang yang kelihatannya jahat ia masim menyimpan kasih sayang pada sesama mukmin. Loh ko jadi bicara ngaur sepeerti ini” jari jemarinya menghibas didepan wajahnya “Kebetulan kita bertemu disini!” senyman manisnya terucap kembali.
“kamu benar halimah atas apa yang kamu bilang. tetapi Ini bukanlah hal kebetulan. aku berusaha untu terus menemuimu. Dan akan selalu terus bertemu denganku disetiap waktu” gumamku dalam hati.
“apa itu Drim temen kamu?” terlihat Drim melambay-lambai dari parkiran mobil
Sebuah keyakinan yang tersirat dalam hati ini telah membuat kami untuk terus berbincang-bincang tentang sosok Halimah. Begitu juga dengan diriku. Hendphone Halimah berbunyi seketika. Satu panggilan masuk entah dari siapa telah menghentikan pembicaraan kami.  “maaf aku terima teleon dulu” sedikit menjauh dariku dan drim. Dari raut wajahnya nampak senang menerima telepon itu. Telinga tidak sedikitpun menguping perbincangan mereka. Suara halimah terlalu lembut untuk kami dengungkan.
“maaf tengah membuat kalian menunggu! Sepertinya aku tidak bisa lama-lama bercengkrama dengan kalian. Insyaalloh lain waktu kita sambung kembali” satu permohonan maaf dari halimah sangat mengagumkan.
“oh tidak apa-apa Halimah, Hati-hati”  jawab ku dan Drim
“asalamualaikum” halimah pamit sembari menaiki mobil pribadi berwarna silper yang selalu mengantarnya.
Baru kali ini aku menemukan keperibadian seorang waita muslim yang tidak menyombongkan dirinya untuk bersilaturahmi dengan sesama muslim. satu pelayaran kudapatkan dari Halimah. Keperibadiannya begitu menawan. Syair lembutnya begitu sopan dan santus. Selain itu ujarannya sarat dengan kalimat puitis dan kata-kata mutiara. Sehingga membuat kami mendapat satu pencerahan tentang Agama yang telah lama kami lupakan.
Halimah aku tahu orag baik dirciptakan haya untuk orang baik pula. Apakah kamu akan tetap mendengarkanku apabila kamu mengetahui driku bukanlah titsan dari apa yang dikatakan baik menurut pandanganmu. Mungkinkah suatu saat aku akan memilikimu sebagai orang yang baik.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net