Cucu Abdul Karim
Tolong katakan dimanakah
kita akan menemukan bung mawar putih bermekaran, saat rintik hujan mengalah
pada mentari siang. Apa mungkin tempat dimana makanan tersaji untuk memuaskan
perut laparnya. Roti-roti kantin yang tertata
terlalu bisu untuk mengucapkan kata ya. Buku-buku saling berdempetan di
perpustakaan terlalu sibuk menata dirinya, hingga tidak ada satu kalimat yang
mengatakan dia ada disini. Bahkan Halte tempat menyimpan saksi pertama aku melihatnaya,
tidak dapat meneduhkannya dari sengatam mentari siang. Haruskah aku menyusuri setiap lorong jalan?.
Bagai mana aku dapat
mengenal pribadimu bila engkau begitu mudah untuk mengilng. Bila engkau terlalu
sulit untuk ku temui, bagaimana aku mampu membedakan senyuman manismu itu adalah
sebuah cinta atau gurauan semata. Sepanjang jalan raya telah ku susuri. Namu Engkau
tidak ku temukan tergeletak dipinggir jalan sekalipun. atau menyanjikan
senyuman manis ditempat teduh yang terlarang. Tidak ada satu kata isyarat
tersampaikan untuk menemukanmu. Seperti sebuah teka teki, tidak mudah untuk
dipecahkan begitu saja. Apa mungkin halusinasi ini terlau berlebihan.
“yo kemana lagi kita
harus mencari Halimah. Sudah berputar-putar kesana kemari, tetap saja hasilnya
nihil” suara lelah dan putus asa Drim
“entahlah. Aku pun
sungguh dibuatnya sangat bingung. Halimah dimana kamu sebenarnya, jagan buat
aku gila karna memikirkanmu” ucap terang-terangan ku.
“ngomong-ngomong aku
haus yo”
Sejenak beristirahat
dipinggir jalan sambil melepas dahaga. Dua kursi pandang dan satu meja panjang
menjadikan tempat peristirahatan seketika.
“yo kok kita istirahat
di sini? ” taya Drim
“bawel loh. Tavi iah
juga yah!”
Orang-orang disekitarku
seakan terbiasa menikmati jajanan pedagang kaki lima. Gaya makan yang lahap
tampa memikirkan apakah makananya benar-benar sehat atau tidak. Mungkin mereka
tidak pernah memikirkan ini baik atau tidanya, sepertinya dalam pikiran mereka
hanya ada kata nikmat dan kenyang. Mereka tidak bisa membandingkan uang mereka
dengan para pejabat negri ini, secara mudah mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Rupiah mereka haya mampu menikmati jajanan kaki lima yang mudah di
obrak abrik dengan aksi penggusuran.
“Aha sekarang aku ingat
yo, tadi aku lihat Halimah mengeluarkan tas cecil warna putih, kalau tidak
salah mirip kaya tas perempuan dipesantren gitu. Yang biasa di isi dengan kain
putih yo” drim teringat ketika halimah mengeluarkan alat solatnya
“yang bener yo.
Sekarang kita temukan dia. Mesjid terdekat dari lokasi sekolah yaitu mesjid
Al-Hasanah. Ayo kita berangkat”
“minumannya belum
dibayar. Kita mau pergi kemana?”
Kenapa aku bisa
melupakan satu tempat yang mungkin dikunjung Halimah. Padahal Azan telah
mengingatkan ku ia ada ditempat yang Agung.
Mobil warna silper yang menjemput halimah waktu itu terparkir dihalaman mesjid.
Sekarang aku telah yakin kalau ia ada didalam masjid.
Mendorong pintu, segera
aku keluar dari mobil. Gerbang mejid begitu indah dengan corak ukiran berwarna
emas. Mesjid megah nan indah. Akan ku tunggu ia di gerbang agar kali ini tidak
kecolongan. Halimah keluar dari pintu utama Mesjid. Wajah cerah cerahnya
tersenyum mais. Di hujung terlas ia mengenakanalaskakinya. Menuruni satu
persatu anak tangga dengan penuh pesona. Ia semakin mendekatiku, semakin dekat,
sekarang aku takbisa berkata apa-apa. Aku terdiam dihadapannya. Apa ia akan
mengatakan “Rio Aku suka padamu” mungkin “saat pertama aku melihatmu aku sudah
suka padamu yo” atau yang lebih romantis “I Love You” gituh.
“maaf boleh aku lewat”
satu permintaah boleh aku lewat diucapnya padaku. aduh itu bukan satu
permintaan tapi memag aku menghalangi jalannya. Dasar bodoh
“oh ia boleh” ada apa dengan diriku sebenarnya? Halimah pergi
melewatiku terdiam konyol.
“kamu Rio kan?”
telunjuk kanan diarahkanya
“iah benar aku Rio,
ternyata kamu masih ingat namaku”
“pipimu memear. Aku
ambil dulu kotak obat dimobil”
“tidak usah Halimah aku
baik-baik saja” didepan gerbag terdapat lantai panjang berbentuk kubus dengan
ukuran satu kali satu meter memanjang didepan pagar. Pohon-pohon rindag
berbaris rapih menjadi peneduh. Kami duduk bersebelahan. Bisa dibilang aga
dekat, meski jaraknya sejauh satu meter. Kaki terselunjur mengayun. Tangannya
mendekap taskecil berisikan alat solat.
“kamu suka solat di
mesjid ini juga?”
Entah apa jawaban harus
diutarakan atas pertanyaan halimah. Duniaku terlalu gelap untuk menjawab satu
pertayaan ini. Apakah aku harus berbohong kalau aku suka solat disini. Atau aku
bilang kalau aku langganan solat di mesjis Al Hasanah!. Tidak tidak, aku harus
jujur. Aku harus mengatakan kebenaran meski akan membuatnya tidak suka.
“apakah aku harus
mengatakan sesuatu yang akan membuatmu jiji dan menjauhi diriku?”
“kenapa aku haru jiji
padamu, tak ada alasan untuk menghindar darimu. Aku bukanlah orang yang mudah
mengambil kesimpulan keperibadian oranglain! Tetapi maaf bila pertayananku
membuatmu tersinggung?”
“tidak, pertayaanmu
membuat ku sadar akan kehilapanku selama ini. Kalau aku terlalu melupakan
hapalan shalat. Aku bukan lah orang baik yang memampu menjalankan ibadahnya”
entah kenapa hati ini merasa tersentu mendengar kata-kata Halimnya.
“oya. Siapa yang tahu
orang itu taat beribadah atau orang berdosa. Terkadang orang yang suka
beribadah menyimpan dengki dalam hatinya. Tetavi, orang yang kelihatannya jahat
ia masim menyimpan kasih sayang pada sesama mukmin. Loh ko jadi bicara ngaur
sepeerti ini” jari jemarinya menghibas didepan wajahnya “Kebetulan kita bertemu
disini!” senyman manisnya terucap kembali.
“kamu benar halimah
atas apa yang kamu bilang. tetapi Ini bukanlah hal kebetulan. aku berusaha untu
terus menemuimu. Dan akan selalu terus bertemu denganku disetiap waktu” gumamku
dalam hati.
“apa itu Drim temen
kamu?” terlihat Drim melambay-lambai dari parkiran mobil
Sebuah keyakinan yang
tersirat dalam hati ini telah membuat kami untuk terus berbincang-bincang
tentang sosok Halimah. Begitu juga dengan diriku. Hendphone Halimah berbunyi
seketika. Satu panggilan masuk entah dari siapa telah menghentikan pembicaraan
kami. “maaf aku terima teleon dulu”
sedikit menjauh dariku dan drim. Dari raut wajahnya nampak senang menerima
telepon itu. Telinga tidak sedikitpun menguping perbincangan mereka. Suara
halimah terlalu lembut untuk kami dengungkan.
“maaf tengah membuat
kalian menunggu! Sepertinya aku tidak bisa lama-lama bercengkrama dengan
kalian. Insyaalloh lain waktu kita sambung kembali” satu permohonan maaf dari
halimah sangat mengagumkan.
“oh tidak apa-apa
Halimah, Hati-hati” jawab ku dan Drim
“asalamualaikum”
halimah pamit sembari menaiki mobil pribadi berwarna silper yang selalu
mengantarnya.
Baru kali ini aku
menemukan keperibadian seorang waita muslim yang tidak menyombongkan dirinya
untuk bersilaturahmi dengan sesama muslim. satu pelayaran kudapatkan dari
Halimah. Keperibadiannya begitu menawan. Syair lembutnya begitu sopan dan
santus. Selain itu ujarannya sarat dengan kalimat puitis dan kata-kata mutiara.
Sehingga membuat kami mendapat satu pencerahan tentang Agama yang telah lama kami
lupakan.
Halimah aku tahu orag
baik dirciptakan haya untuk orang baik pula. Apakah kamu akan tetap mendengarkanku
apabila kamu mengetahui driku bukanlah titsan dari apa yang dikatakan baik
menurut pandanganmu. Mungkinkah suatu saat aku akan memilikimu sebagai orang
yang baik.
0 comments:
Post a Comment