BIAS KISAH PENUH MAKNA

BIAS KISAH PENUH MAKNA
Eneng Fitri Meilasari
Sunyi dalam gelap, malam yang pekat, dari kejauhan terdengar rengekan jangkrik yang menemani sepiku. Dalam gelapnya malam aku tak pernah membayangkan sebuah kebahagiaan dalam hidupku. Bagiku kebahagiaan itu hanya secuil harapan yang tak pasti dan belum tentu semua orang akan memilikinya. Sejenak ingin ku mengutuk diri ini, “kenapa aku harus hidup miskin dan tanpa seorang ayah? Apa salahku? Aku juga ingin bahagia seperti mereka yang memiliki kebahagiaan dan memiliki ayah.”
Mimpi itu kini hanya serangkaian rencana saja bagiku, harapan yang mungkin takkan pernah ku raih. Seberapa jauhpun aku melangkah dan berusaha keras itu takkan membawa perubahan besar dalam hidupku. Andaikan aku bisa mengeluh dan meminta pada tuhan agar hidupku tak serumit ini. Tapi sepertinya itu tak mungkin.
Masa remajaku tak seperti kebanyakan remaja lainnya, mereka bersenang-senang dengan teman-temannya, jalan-jalan, dan p*c*r*n. Aku tak pernah merasakan semua manisnya masa remajaku, setiap hari aku harus bekerja keras agar aku bias membantu ibu membayar uang sekolahku. Ini memang melelahkan, tapi aku belum bisa apa-apa, mungkin ini takdirku untuk saat ini. Jika aku bersikap egois, tak mau bekerja dan membiarkan ibu banting tulang seorang diri, maka jahat sekali aku ini. Kalian jangan ingatkan aku soal ayah, entah pergi kemana dia setelah pertengkaran hebat 7 tahun lalu itu, aku sudah tak mau memikirkannya, apalagi untuk bertemu dan memeluknya, tak pernah sekalipun terpikir olehku. Siapa lagi? Kakaku? Yah,,, aku memang punya kakak, tapi dia lebih kejam dari ayah yang brengsek itu…. Dia menyingkirkanku dan ibu, seolah tak mempunyai keluarga. Dia bersenang” dengan kehidupan barunya tanpa mengingat aku dan ibu. Kerap kali ia pulang, tapi bukan untuk membawa kebahagiaan dan kembali tinggal bersama kami, tapi membawa kami pada kesengsaraan. Seperti 3 bulan lalu saat kakak pulang dengan wajah bersimbah darah, entah hal apa yang membuatnya bisa seperti itu, wajahnya penuh lebam dan berlumur darah, pakaiannyapun tampak begitu lusuh dan robek-robek, oh tuhan…. Kejadian apakah yang membuatnya pulang dalam keadaan setengah bangkai itu. Maaf jika aku sedikit kasar, mengatai kakaku bangkai, karena mungkin itu kata yang pas untuknya. Melihat keadaan kakak yang setengah mati itu, ibu dengan hati yang lapang menyodorkan kedua tangannya dan membantunya untuk berdiri, bertanya dengan lembut, “Anakku… engkau kenapa?”. Mendengarnya aku sangat muak, kenapa ibu masih bisa bersikap baik pada anak durhaka itu. Ibu membawanya kedalam kamar dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ibu seperti lupa dengan kejadian 1 tahun lalu sebelum kakak pergi meninggalkan rumah.
Sore itu kaka pulang bersama seorng perempuan, dia sangat cantik dan modis, tapi sayang kecantikannya itu ia gunakkan untuk meracuni pikiran kakak, saat itu kakak tengah dalam puncak karirnya, ia baru saja diangkat menjadi seorang manager dikantornya, yah memang sejak kecil kakaku itu nasibnya selalu bagus, ia bersekolah dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dengan beasiswa, itu karena otaknya encer. Setelah lulus kuliah kakak magang di sebuah perusahaan yang lumayan besar di kota kami, sampai akhirnya ia diangkat menjadi seorang manager di kantornya. Awalnya kehidupan kami berjalan dengan baik, sampai kakak kenal dengan perempuan itu. Sikapnya banyak berubah, sering marah-marah dan jarang pulang. Entah racun apa yang perempuan itu berikan pada kakak, sehingga sikapnya berubah menjadi sangat liar seperti itu.
Setelah 1 bulan kakak dirawat oleh ibu, ku kira sikapnya telah berubah. Tapi tidak, dia masih sangat kasar, ketika dia sembuh dia seperti kacang lupa akan kulitnya, ia lupa kalau ibu sudah dengan sabar merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia pergi dari rumah dengan membawa semua uang tabungan ibu, ia pergi dan aku harap dia tidak akan pernah kembali lagi. Aku tak mau anak durhaka itu datang untuk menyakiti kami lagi, sudah cukup penderitaan yang ibu rasakan, meski aku tau… ibu akan selalu memaafkan kakak, tapi aku membencinya, dia sudah terlalu banyak menyakiti ibu, sudah cukup dia menyakiti ibu, dan aku tidak akan membiarkan ibu tersakiti lagi.
Masa lalu yang pahit itu, takan pernah aku lupakan. Akan kujadikan pelajaran berharga dikamus kehidupanku. Arrrggghhh….. kenapa aku malah asik melamun seperti ini, aku kan harus berangkat kerja, bisa-bisa koh ahong memarahiku gara-gara aku telat lagi.


            “Eeeehhhhh…….. nilam, kebiasaan kamu, selelu saja telat. Cepat angkat barang-barang yang disana (menunjuk tumpukan belanjaan dalam mobil).” Baru datang nilam sudah langsung diserang dengan setumpukan pekerjaan. Setiap hari sepulang sekolah nilam memang selalu bekerja di tempatnya koh ahong, warung kelontongan yang cukup besar didaerah tempat tinggalnya. Meski gajinya tak seberapa, setidaknya itu bisa sedikit menambah uang belanja ibunya dan sedikit menabung untuk uang iuran sekolahnya. Koh ahong, meski sikapnya sedikit keras tapi sebenarnya dia baik, hanya dia paling tak suka kalau ada kariyawannya yang telat. Sering kali jika dia sedang memiliki banyak rezeki, nilam pasti kecipratan rezekinya…
            “Huuuuhhhh….. hari ini kok panas banget ya….(nilam menyeka keringatnya).”
            “Kamu minum aja dulu lam, biar barang yang ini aku yang angkat….(ucap, deden sahabatnya sekaligus kariyawan disitu juga).”
            “Gak papa den, tanggung tinggal dikit lagi kok. (sambil meneruskan pekerjaannya).”
            “Nilam selesai merapihkan itu semua kamu ke gudang, ambilkan barang pesanan bu ida kemarin… terus kamu antar segera!!! (ucap koh ahong).”
            “Iya koh. (wajah lemas).”
            Bergegas nilam pergi ke gudang belakang toko, mengambil barang pesanan dan segera mengantarkannya kerumah bu ida. Barang pesanan yang kiranya sedikit biasanya diantar via motor tapi jika barangnya banyak memakai mobil…untungnya pesanan bu ida kali ini tidak sebanyak biasanya, jadi nilam bisa mengantarnya dengan motor saja. Dalam perjalanan nilam melihat kerumunan orang, dia menghentikan motornya sejenak untuk melihat apa yang tengah dikerumuni orang-orang itu. Perasaannya sedikit tak nyaman, dia sedikit terauma. Takut kalau yang orang-orang kerumuni itu ibunya, seperti beberapa waktu lalu ibunya ditabrak lari dan berdarah-darah ditengah jalan. Perasaan itu terus menghantui setiap langkahnya saat mendekati kerumunan itu, was-was, khawatir, takut. Badan mungil remaja berumur 15 tahun itu menyelip diantara kerumunan banyak orang, matanya berusaha menjangkau hal yang menjadi pusat kerumunan itu. Dan yah…. Nilam berhasil menjangkaunya, ia berhasil lepas dari himpitan orang yang tengah berkerumun dan apa yang dia bayangkan tadi dalam pikirannya tidaklah sesuai, semua kehawatirannya lenyap seketika kala ia melihat anak-anak kecil yang tengah menari dengan pakaian adat dengan lucu dan penuh kegembiraan. Hatinya sedikit lega, tapi dia sepertinya melupakan sesuatu yang penting, “ah….. ya ampun aku lupa,,,, aku harus mengantar pesanan bu ida. (nilam bergegas keluar dari kerumunan itu).” Tanpa pikir panjang nilam langsung tancap gas dengan kecepatan 60 km/jam.
            “Hey nilam lama sekali kau ini, dari mana saja, kenapa baru sampai? Pekerjaan masih banyak, ayo cepat selesaikan pekerjaan yang lainnya (teriak koh ahong).“ Waktu merambat siang tak terasa perut-perut sudah berontak minta di isi ulang. Semua lelah bercampur dengan keringat. Saatnya semua pegawai untuk istirahat, makan dan solat. Meski koh ahong ini orang cina tapi ia memiliki sikap toleransi yang tinggi, tidak pernah menghalangi kariyawannya untuk beribadah. Siang itu seperti biasa semua pegawai makan sesuai jatahnya masing-masing. Namun nilam menangkap sebuah keganjalan dari biasanya. “Kenapa deden tidak makan? Biasanya dia selalu paling dulu kalau urusannya makanan (pikirannya penuh tanya).” Sambil memegangi nasi bungkus jatah makannya, nilam menghampiri deden. “Eh den… kok kamu gak makan (Tanya nilam).”
            “Engga lam (jawab deden singkat).”
            “Nah loh…. Tumben, kenapa gak mau makan? Apa kamu puasa den? (Tanya penuh selidik).”
            “E Eng Engga kok…. Aku lagi gak lapar aja lam, ya udah yah aku lanjut kerja lagi (deden bergegas pergi, meninggalkan seribu tanya dibenak nilam).”
            Nilam mengernyitkan keningnya, “tumben-tumbenan si deden, ya sudahlah… (nilam melanjutkan makannya, ia berpikir mungkin deden memang tak lapar).”
            Setelah selesai, semua pegawai melanjutkan pekerjaannya masing-masing. Semburat langit sore mulai terlihat di ufuk barat menghiasi permainan anak-anak kecil di sore hari. Semua pekerja dari berbagai golongan mulai melipat pekerjaannya, menyimpannya untuk esok hari, bergegas meningalkan tempat kerjanya masing-masing. Begitupun dengan nilam, deden dan semua pegawainya koh ahong. Setelah menerima gaji hariannya nilam dan deden bergegas pulang.
            Dalam perjalanan pulang nilam dan deden biasa bercengkrama mengisi waktu luangnya sampai menuju ke rumah, tapi sore ini deden tak seceria biasanya, sikapnya ketika tadi bekerjapun sedikit berbeda, entah mungkin karena terlalu lelah atau ada hal yang membuat deden resah. Tiba-tiba di tengah perjalanan, persis di persimpangan jalan menuju rumah dan jalan menuju kota deden berhenti. “Lam… aku sampai sini, aku gak langsung pulang, kamu duluan aja ya..!!!“
            “Emang kamu mau kemana den?”
            “Aku ada perlu sebentar.”
            “Ke kota? Mau ngapain den? Aku ikut yah?.”
            “Aku juga cuma bentar kok lam… kamu pulang aja yah.”
            “Yah den…. Aku padahal mau ikut banget, udah lama gak ke kota tau (keluh nilam).”
            “Udah lain kali aja yah.. udah sore nih, aku buru-buru, dah nilam…(deden pergi meninggalkan nilam sambil berlari).”
            Nilam pun pulang dengan bibir monyong….. sepanjang jalan menuju rumahnya nilam teringat terus dengan deden, kenapa sikapnya hari ini sangat beda, apa sebenarnya yang terjadi? Semuanya masih penuh tanya.



            Kuk kuruyyuuukkkk…… kuk kuruyyuuukkkkk……… suara alaram penduduk kampung nilam telah berbunyi, alaram yang tanpa perlu di seting terlebih dahulu, setiap pukul 04.00 subuh berbunyi dengan sendirinya. Nilam pun bangun meski matanya masih sangat lengket, mau tidak mau dia harus tetap bangun, ia harus membantu ibunya membuat panganan kue untuk di jual dan di antar ke warung-warung di sekitar rumah setiap harinya. Usaha kecil-kecilan ibunya nilam ini merupakan usaha penopang kehidupan keluarga mereka. Sambil berangkat ke sekolah nilam mengantar kuenya sekalian mengambil uang kue yang kemarinnya.
            “Bu nilam berangkat dulu ya….”
            “Kamu hati-hati bawa kuenya, jangan sampai jatuh.”
            “Iya bu, Assalamu’alaikum…”
            “Wa’alaikumsalam….”
            Satu persatu warung yang biasa dititipi kue ibunya dilewati.
            Nilam celingak celinguk sendiri melihat ujung jalan menuju rumah deden. Biasanya deden sudah menunggunya dipertigaan, tapi kali ini ia tak mendapati deden. Nilam mulai khawatir, ada apa dengan deden. Kemarin dia bersikap aneh ditoko, mendadak pergi ke kota, dan sekarang tak ada. Nilam semakin penasaran, tapi dia harus menyimpan penasarannya dulu dan berangkat sekolah, pikirnya berusaha berpositif mungkin deden berangkat duluan. Bergegas nilam pergi. Sepanjang jam pelajaraan nilam tak bisa berkonsentrasi, pikirannya masih pada dede. Selesai jam sekolah bergegas nilam ke warungnya koh ahong, ia sangat khawatir dengan deden sahabatnya. Sesampainya di warung nilam tak mendapati deden, nilam bertanya pada teman-teman kerja yang lainnya.
            “Mang, ngeliahat deden gak?”
            “Gak tau lam, bukannya biasanya sama kamu?”
            “Deden hari ini gak sekolah mang.”
            “Laaah, tadi si deden ke sini kok pake seragam sekolah, kirain mau terus berangkat. Tapi tumben-tumbenan juga si deden sebelum ke sekolah ke warung dulu, biasanya juga engga. Mungkin dia sedang ada masalah lam, kalo gak salah tadi dia kesini nyariin koh ahong, wajahnya sedikit panik dan tampak pucat.”
            Mendengar penjelasan mang udin nilam semakin khawatir, apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Pikiran nilam sedikit berkecamuk, mungkinkah masalah yang rumit tengah dihadapi deden. Nilam berencana untuk tidak kerja hari ini, dia segera menemui koh ahong, untuk ijin pulang sekaligus bertanya barangkali koh ahong tau apa yang sedang terjadi pada deden.
            “Kenapa nilam?”
            “Koh saya hari ini mau ijin kerja.”
            “Kenapa?”
            “Saya ada hal yang harus diselesaikan, bolehkan koh?”
            “Kenapa kalian sangat kompak.”
            “Kalian? Maksudnya gimana yah koh? Apa soal deden?” nilam memburu pertanyaan.
            “Iya, tadi si deden juga minta ijin kerja dan ngebon gaji kesini, katanya dia sedang butuh uang.”
            “Butuh uang buat apa koh?” nilm penasaran.
            “Dia tidak bilang, tapi wajah memelasnya membuat hati koh ini tak tahan melihatnya, dia tampak begitu mengenaskan.”
            Tanpa berpikir panjang nilam segera pergi tanpa mendengar pesetujuan ijin kerjanya terlebih dulu. Nilam berlari kencang meninggalkan toko, bergegas kerumahnya deden. Sampai nilam didepan rumah deden, rumahnya tampak sepi tak terlihat ada tanda-tanda kehidupan. Nafasnya masih terengah-engah, diketuknya pintu rumah deden. Berkali nilam mengetuk pintu, berkali juga nilam tak mendapati jawaban dari dalam rumah. Pikirannya semakin kacau, ada apa dengan deden.
            “Assalamu’alaikum..... den,,, deden,,,, den,,,,, ini aku nilam. Den......mak, emak..... ini nilam.....” tak ada seorangpun yang menyahut., digedornya pintu dan jendela rumah deden, tak membuahkan hasil.
            Salah seorang tetangga deden melihat nilam yang sedang panik menggedor-gedor pintu, dia datang menghampiri. “Dedennya tidak ada.”
            Nilam terkaget, bergegas mendekati orang yang berbicara padanya. “Deden kemana bu?” nilam penasaran.
            “Emaknya si deden saikt, tadi dibawa warga ke rumah sakit.” Jelas tetangga itu.
            “Sakit apa? Rumah sakit mana?” kambali nilam memburu pertanyaan.
            “Gak tau, tapi katanya parah sampai keluar darah dari mulutnya. Rumah sakit terdekat, tidak tau persisnya dimana.”
            “Bu anterin saya kesana yah, saya mau lihat.” Nilam merajuk minta diantar.
            “Alaaaah nilam, kamu berangkat sendiri saja. Saya sedang repot banyak kerjaan. Kamu masuk saja jalur kota, cari rumah sakit terdekat. Tanya-tanya yah...!!!” bergegas ibu itu pergi meninggalkan nilam.
            “Aku harus bergegas pergi, cari deden dan emaknya.” Nilam berjalan tanpa jeda dan terkadang berlari. Pikirnya bingung, gimana cara dia ke sana. Sudah lama nilam tak ke kota, dia sedikit lupa dengan jalannya. Tapi dia tidak bisa berdiam diri, dilihatnya sekumpulan tukang ojeg dipertigaan jalur ke kota. Pikirannya langsung tertuju pada mereka.
            “Bang, tau rumah sakit yang paling dekat dari sini gak?” tanya nilam pada salah satu tukang ojeg.
            “Iya tau neng, mau dianterin?” tawar tukang ojeg itu.
            Nilam berpikir sejenak “Ongkosnya berapa bang?” nilam cemas.
            “Kira-kira 30.000 neng..” jawab tukang ojeg.
            Nilam kembali berpikir, uangnya tidak cukup untuk naik ojeg. “Bang saya minta maaf, saya gak jadi naik ojeg, uangnya gak cukup.”
            “Ya sudah,,,” tukang ojegnya tampak kecewa.
            “Bang boleh tanya sekali lagi?” nilam berbicara pelan.
            “Apa?” jawab tukang ojeg singkat.
            “Kalo angkot kesana ada gak?”
            “Ada.” Jawabnya tandas.
            “Oh gitu yah,,,, makasih bang.” Nilam berjalan sedikit ke depan untuk menyetop angkot. Matanya memandangi ujung jalan, berharap angkot cepat datang. 5 menit berlalu, angkot masih tak kunjung datang. Nilam semakin panik. Kakinya tak bisa diam, tubuhnya sedikit bergetar, keringat membasahi tubuhnya, terik matahari menyengat sampai ke pori-pori kulit terdalam. Kembali matanya menatap ujung jalan, tak ada lagi. Hanya truk-truk besar yang sedari tadi lewat. Pikirannya semakin berkecamuk, dia khawatir hal yang lebih parah akan terjadi. Nilam tak bisa hanya diam saja menunggu angkot yang seabad sekali baru muncul, ia berjalan meski ia tak tau arah, hanya tekad dan hati yang tulus yang menggiringnya menuju rumah sakit. Nilam sudah berjalan  cukup jauh, keringatnya sudah membasahi pakaiannya. Kakinya sudah mulai lelah dan mulai gontai. Ditengah perjalanan seseorang dengan motor berhenti di depannya. Nilam menghentikan langkahnya. Menatap seseorang didepannya.
            “Nilam..... kamu mau kemana? Kenapa berjalan sendirian disini?” ternyata itu pak RT.
            “Pak RT......” nilam sangat bahagia melihat pak RT ada didepannya.
            “Iya.... Kamu mau kemana? Kenapa berjalan jauh sendirian?”
            “Saya mau melihat deden dan emaknya dirumah sakit, sedari tadi saya nunggu angkot tak kunjung datang, makanya saya berjalan saja.” Nilam berbicara sedikit tersengal.
            “Kebetulan, bapak juga mau kesana. Ayo naik!” mendengar perkataan pak RT nilam serasa bertemu malaikat dalam kepayahan. Hatinya senang dan lega, segera nilam naik ke motor.
            Sampailah dirumah sakit, nilam berjalan dibelakang pak RT..... dari kejauhan sudah terlihat deden tengah duduk sendiri dengan wajah muram dan cemas. Pak RT seperti sudah tahu situasi yang sedang menimpa deden dan emaknya, tanpa bertanya pada deden terlebih dahulu pak RT langsung menemui dokternya. Nilam mendekati deden, menanyakan keadaan emaknya. Tapi dia hanya diam, tak bergeming sedikitpun. Nilam tidak mau memperburuk suasana, dia hanya duduk didekat deden dan menguatkannya. Kata pak RT emaknya nilam harus di operasi, dia terkena radang tenggorokan akut. Selama ini emaknya deden selalu menyembunyikan sakitnya itu. Sampai akhirnya radang itu bertambah parah.  Jika tidak dilakukan operasi maka bisa saja dia mati, karena tak sanggup lagi menahan sakit yang terus menyerang tenggorokannya itu. Mendengar penyakitnya itu membuat nilam tertunduk lemas, dia memegang erat tangan sahabatnya itu.
            Deden bingung darimana dia mendapatkan biaya operasi emaknya, sedangkan biaya operasi itu tidaklah murah.
            “Gimana ini lam, aku gak punya uang untuk mengoperasi emak. Biayanya terlalu mahal. Darimana aku dapat uang 7.000.000 dalam waktu sehari?” deden tampak begitu frustasi.
            Nilampun hanya diam, dia tak bisa berkata apa-apa lagi, uang bukanlah hal yang ia miliki dan bisa didapat dengan mudah. Nilam ikut berpikir bagaimana caranya agar emak deden bisa di operasi. Nilam menghampiri pak RT, ia bertanya bagaimana caranya supaya emak deden bisa di operasi, tapi deden tak mempunyai uang untuk registrasi. Pak RT malah menyimpul senyum mendengar pertanyaan nilam, entah apa makna dari senyuman itu, dia menusap-usap kepala deden dan nilam kemudian memeluknya.
            “Kamu tidak perlu khawatir, emaknya deden akan di operasi.” Pak RT berbicara dengan tenangnya.
            Mendengar perkataan pak RT, deden dan nilam saling bertatapan satu sama lain, mereka sedikit tak percaya tapi sangat senang mendengarnya.
            “Betul itu pak RT?” nilam meyakinkan.
            Pak RT mengangguk, tersenyum dan kembali memeluk mereka berdua. Dedenlah yang paling merasa lega dan senang saat itu, ia khawatir setengah mati dengan keadaan emaknya ditambah harus memikirkan biaya operasi yang sangat banyak jumlahnya.
            Operasinya sudah berjalan selama 2 jam, deden sangat khawatir apakah operasinya berjalan lancar atau tidak. Salah seorang perawat keluar dari ruang operasi, segera mereka menghampirinya, bertanya keadaan emak. Dia hanya berkata “Kami tengah berusaha, mohon keluarga sabar menunggu dan mendoakan yang terbaik.” Perkataan perawat itu menimbulkan banyak persepsi dalam benak mereka, apakanh sesuatu yang buruk terjadi dimeja operasi. Sepanjang operasi deden dan nilam tak henti-hentinya berdoa. Mendoakan yang terbaik untuk operasi emak. Pak RT sesekali menguatkan kedua remaja yang tengah diguncang hati dan pikirannya itu.
            3 jam berlalau akhirnya operasipun selesai dan emak sudah bisa dipindahkan keruang rawat. Operasinya berjalan lancar, meski ditengah-tengah terjadi pendarahan hebat ditenggorokannya, tapi untungnya tidak terlalu parah. Sehingga deden bisa kembali bernafas lega. 7 hari berlalu setelah operasi menegangkan, emak sudah diperbolehkan pulang dan istirahat dirumah. Deden sekarang benar-benar sudah bernafas lega, tapi masih ada yang mengganjal pikirannya. Darimana biya operasi emak, dia takut kalo ini membebankan pak RT, tapi tak sekalipun pak RT tampak kesulita. Dia hanya berkata “Ini hak kamu dan emakmu den, jangan khawatir. Jangan terlalu dipikirkan, rawat saja emakmu baik-baik.”
            Nilam ikut menjemput kepulangan emak, sampailah mereka didepan rumah deden. Tapi mereka menyaksikan pemandangan yang tak biasa, puluhan mata dan senyuman menyambut kedatangan mereka, semua orang menggiring emak dan deden masuk kedalam rumah, dan ternyata dialam juga banyak orang yang tengah bersiap menyambut emak, rupanya ini acara syukuran yang sengaja dibuat pak RT atas sehatanya emak. Deden sedikit heran kenapa orang-orang bersikap sangat baik pada keluarganya. Nilampun berpikiran sama, kenapa dengan orang-orang ini, mereka begitu ramah, padahal kemarin saja waktu nilam minta diantar kerumah sakit, mereka enggan, seperti tak pedui dan tak sekalipun mereka menjenguk emak dirumah sakit. Pak RT menjelaskan kepenasaran deden dan nilam, ternyata dulu bapaknya deden adalah seorang RT yang terkenal paling arif dan bijaksana, meski jabatannya hanya seorang RT tapi beliau tak pernah melupakan kewajibannya sebagai RT yang baik untuk warganya, setiap ada warganya yang kesulitan beliau selalu sigap untuk menolong dan memberi solusi. Perannya sangat besar bagi kampungnya, semua orang tak akan pernah lupa dengan jasa-jasanya, akan selalu terkenang. Tapi seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit rasa terimakasih itu menghilang seolah ikut tertelan zaman. Rasa hormat pada RT bijaksana itupun terkikis, setelah beliau meninggal dan istrinya kemudian hidup menjanda dengan satu orang anak, dulu kehidupan mereka berkecukupan. Tapi inilah kehidupan berputar seperti laju roda kendaraan. Berputar tiada ada ujung. Begitupun dengan pemikiran orang-orang disekitar deden, dulu mereka hormat, tapi sekarang seperti tersesat. Rasa peduli sesama sudah tak diindahkan lagi. Sudah tak peduli sesama dan tetangga. Yang kalian saksikan sekarang adalah semacam penebusan dan ucapan terimakasih yang selama ini tertunda.
            Mendengar cerita itu, nilam tak percaya.... ternyata orang-orang disekitarnya memang kejam. Jangankan orang-orang disekitarnya, orang terdekatnyapun juga sama kejamnya, ayahnya, kakaknya. Tapi dari cerita itu nilam mengambil nilai-nilai positif yang bisa dijadikan bahan referansi kehidupannya dimasa depan. Jangan sampai ia hidup dalam kesalahan dan penyesalan, jangan sampai ia hidup dalam ketenangan tapi orang-orang disekitarnya menderita. Jangan sampai ia hidup hanya untuk membuat orang lain menderita karena ia menyakitinya.
            Deden dan nilam tumbuh menjadi remaja yang mengerti pentingnya menjalani kehidupan dengan baik, pentingya saling menghargai, pentingnya saling menyayangi dan tak saling menyakiti satu sama lain.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net