12.Hati Pendengar

12.Hati Pendengar
Cucu Abdul Karim
“Ini adalah jalan hidupku yang tak harus kalian komentar. karna aku tidak pernah meminta kalian untuk menilai jalan tabir kehidupan ini. Bahkan aku tak pernah membayar kalian untuk menilai setiap gerak-gerik pergerakan daging ini. Apalagi menyuruhku untuk merubah gaya hidup, hendak menuruti semua aturan mereka, berbusana seiring keingina merek. Seakan  menata setiap pijakan diatas alur dan sekenario yang mereka buat. Ingat aku bukanlah sebuah boneka tali yang akan terus meresapi semua ocehan dan cacian nikmat bagi tegukan rongga mulut kalian. Meski terlihat seperti segumpal daging hina saat kalian tatap masa suram peraktik dosa asal diri ini. Tetapi aku takakan pernah menjadi sosok perilaku dari tingkah induk dan jalu asal diriku. Aku memilih menjadi diriku sendiri, bersama sekenario takdir yang siap memangkas habis masa suram dimasa lalu”.
“Masihkah sebuah kalimat akan kalian persembahkan saat suasana membunuh tingkah laku. Ketika kalian melihat kenyataan yang kalian anggap seperti sebuah rekayasa. Meski terlihat seperti sebuah rekayasa, hendaklah terima dengan akal sehat kalian. Kini berawal dari sebuah sair-syair tetangga begitu memuaskan saat mengucapkanya. Kata mereka aku ini adalah anak haram yang tak seharusnya berada dimuka bumi ini. karna ilusi mereka menganggapku adalah sebuah janin yang tumbuh membawa petaka atau musibah bagi mereka dan lingkungannya. Bahkan saat riak-riak bocah sepermainan daging ini dinggap kesialan bila berada dalam kerumunan permainnan. Setiap kali bermain riang germbira, tetaplah diakhiri dengan sebuah petaka yang membuat kawan sepermainan menjadi resah. Kini janin telah dewasa. Rasa Malu, takut, terpojok, hina, menangis, cemoohan, penyisihan, senyum, tawa, sanjung, bahagia, dan kasih sayag akan setersimpan rabih dalam benak jiwa” bersandar pada kayu penyanggah genting bangunan.
Wajah tegap menatap lurus. Kabut mulai pudar melenyapkan dirinya. Jarak pandang mulai leluasa. Dapat disaksikan sajiam alam. Dari kejauhan terpandang kebun teh seakan tersisir rapih. Hewan ternak keluar dari sarangnya. Orang-orang disekitar terlihat begitu ramah. 
“jangan terlalu banyak melamun” ucap kake tua tengah berdiri disampingku. Dengan sedikit terkejut, satu senyuman kuarahkan seolah penjawab seruan kake tua. “ada kalanya kita harus merasa malu pada alam. Kita menikmati kekayaannya tetapi kita salah memanpaatkannya. Merusaknya tanpa ragu” ucap kembai kake tua karna melihatku menatap kembali suasana alam sekitar. Satu senyuman Aku utarakan kembali pada kakek tua.
“siapa namamu na?” kata sapa yang merdu menghampiriku dari sikakek. Berawal dari sebuah pertanyaan, telah melahirkan banyak perbincangan antara kami. Kake Heru namanya. Usianya satu abad minus 45 tahun. Ia merupakan tokoh masyarakat dikampung Pamijahan. Memiliki satu orang anak perempuan membuatnya sangat bahagia. Na’as kebahagiaannya telah diambil kembali oleh sang pemilik. Putrinya meninggal ketika melahirkan bayi pertamaya. Sedangkan menantunya tidak pernah pulang dari perantauanya. diperantauan menantunya bekerja menjadi penggali emas. Pekerjaan beresiko tersebut telang merengun nyawa menantunya. Ia tertimpa tanah longsor saat berada didalam lubang penggalianemas. Mayatnya tidak ditemukan. Satu kebahagaan telah tumbuh kembali, karna kakek heru memiliki satu orang cucu yang tinggal bersamanya. 
Kampung Pamijahan terletak disebelah utara perkotaan. Jarak dari kampung kepusat kota tidak ada yang tahu. Namun apabila diukur dengan waktu, sekitar tujuh jam perjalana untuk sampai kepusat kota. Sekarang aku ingat kalau tadimalam aku salah mengambil arah. Seharusnya kearah barat malah mengambil arah utara, hingga aku terdampar dikampung ini. Tadi malam aku pergi dari rumah halimah Jam 19.15 Wib. Terbaring dikampung ini mungkin jam jam tiga malam. Seketika itu aku tertidur dimesjid ini. Kini Aku dalam posisi duduk dengan kedua kaki terselunjur kedepan. Sedangkan kake heru duduk melipatkan kakinya.
“kenapa na Rio bisa sampai disini?” kutengok wajah kake Heru, seketika kembali menatap lurus ke depan. Pertayaannya membuatku mengingatkan kejadian tadimalam. Mengingatkaku pada Halimah. Membuat hati ini begitu terasa menyesali karna membuatnya bersedih. Tetapi aku harus tetap tegar meski rasaya hatiini begitu sangat sakit. 
“entahlah ke. Tetapi mimpi buruku tadi malam membuatku terbangun ditempat ini” Kini kabut benar-benar telah menghilang. Suasana pagi terasa begitu sejuk.
“sepertinya Aku harus segera pulang. Cucuku pasti hawatir. Marilah manpir kerumahku” Berdiri, dua langkah kedepan dengan mengenakan satu persatu alas kakinya.
“trimakasih atas tawarannya ke. Tetapi sepertinya aku harus kembali, keluargaku pasti hawatir  karna semalaman aku tidak pulang” 
“baiklah na. Barangkali nanti kamu membutuhkan sesuatu, datanglah kerumah kake. Hati hati dijalan” ia kini benar-benar pergi dari tatapanku.
Mengeluarkan handphone dari saku kanan untuk menghubungi Omah. Menekan tombol aktifpasi tetapi tidak ada tanda-tanda akan menyala karna baternya habis. Simerah terparkir diatas rerumputan. Tubuhnya penuh dengan lumpur. memutar kunci setater seakan repleks simerah menyala. Apa mungkin aku akan sampai menuju pusat kota sedngkan bahan bakar simerah dalam jarak beberapa meter akan habis. Meraba saku belakang dipantat clana jinsku. Seakan begitu lengkap penderitan ketia sadar aku tidak membawa dompet. Karna tadimalam terburu-buru menemui paman Heri.
“oh set. Sekarang apa yang harus aku lakuka? handphone mati, bahan bakar simerah habis, dompeet ketinggala” sambil menutup pitu simerah. Sekarang aku akan benar-benar membuat semua orang hawatir.
Satu-satunya orang yang aku kenal dikampung ini adalah kakek Heru. Kebetulan rumahnya  tidak jauh dari lokasi mesjid. Tigaratus meter dengan menyusuri jalan terdapat rumah sederhana terbuat dari anyaman bambu. Pagar munglil saling berdempetan mengelilingi rumah bambunya. Terdapat tempat jemuran disamping rumah. lima puluh meter sebelah utara rumah berdiri satu  bangunan kecil dari kayu tempat hewan ternak berteduh. Dan disebelah selatan rumah, berdampingan dengan tempat jemuaran terdapat gubuk keci. Didalamnya tertumpuk alat-alat teradisional terbuat dari bambu hasil buah tangan. Pintu rumah terbuka lebar. Terdengar percakapan singkat dari dalam rumah. kulanjutkan langkahkaki hingga berada didepan pintu. Melirik kearah kanan kiri.
“aslamualaiku” usai mengucapkan salam, tertengok ikat sepatu terlepas. Merndahkan tubuhku hingga dalam posisi jongkok. Kepala ini tertunduk kebawah. Kedua tangan  menarik tali sepatu dan mengikatkannya kembali.
“waalikumssalam” aku terpaku dibuatnya. sosok seorang gadis datang menyapa dari dalam rumah bambu. Dikenakannya kerudung warna merahmuda, Baju lengan panjang dan Rok hitam aga kusam. Senyumannya sama persis seperti Halimah. Kilauan matanya membuat mataku terasa begitu nyaman. “Halimah” igau ku dengan terperangak bediri. Kuusap wajah terpesona dengan keduatagan. memutar badan hingga membelakanginya. Wanita ini bukan halimah ia tidak nyata. Ini halusinasi.
“siapa?” kakek Heru datang menghampiri.
“aku tidak tahu kek” gumam lembutnya terus mengingatkan Aku pada halimah. memutar kembali tubuh. Sekarang aku yakin ia bukan Halimah. Kedua mata Gadis berparas cantik terpokus melikaht keanehanku. Kini Kakek Heru berada disamingnya.
“eh nak Rio, ayo masuk!”
“ayo mas masuk” gadis cantik menuturi kalimat yang diucapkan kake Heru
Sesegera mungkin masuk kedalam rumah. Dari pintu utama dapat terlihat sebuah dapur super sederhana penuh asap. Terdapat satu kursi kecil dari kayu dalam ruang kosong. Tikar terbuat dari hata menutupi seluruh ruangan. Tiga kamar kecil berukuran tiga kali tiga berbaris sebelah utara rumah. Dinding dari anyaman bambu menjadi pemisah antar kamar. Terdapat satu helai kain terbentang disetiap kamar sebagai pengganti pintu. Satu jendela seperti sel kayu kecil menjadi pentilasi kamar. Satu lampu kuning menggantung ditengah rumah.
Duduk manis dihadapan kakek dan gadis cantik. Menceritakan apa yang tengah terjadi, hingga aku tidak bisa kembali pagi ini. Aku tidak tahu kapan aku aka kembali. Mungkin hari esok , lusa, satu minggu, dua minggu, hingga beberapa bulan.
Kebaikan kake Heru membuatku bisa tinggal dirumahnya lebihlama. Kisah terdampar dikampung terpencil mengajariku untuk hidup sederhana. Bahkan tidak bisa dikatakan sederhana, alias hudup seadanya. Tidak ada kata mewah terungkap dalam keseharian. Tetapi mereka begitu sangat bahagia.
Sudah dua belas hari aku berada dikampung ini. Sekedar menenangkan pikiran. Selama itujuga simerah terdiam ditempatnya. Aku tidak pernah mengabari siapapun. Baik itu omah, ketiga sahabat konyolku, apalagi Halimah. Dia takakan perduli pada kondisiku. Karna tidak banyak yang dapat kulakukan. Desa ini sagat jauh dari perkotaan. Akses kendaranpun sangat sulit. Bahkan penerangan saat malam dikampung ini sangat buruk. Terdapat dua atau tiga lampu disetiap ruma. Terasa begitu sangat sunyi bila malam datang.
Membantu pekerjaan kake mungkin akan sedikit meringankan bebannya. Kake Heru bekerja sebagai pengrajin alat-alat tradisional rumah tangga. Satu-satunya keluarga kake heru adalah wanita berparas cantik yang kini berada dihadapanku. Namaya Humaeroh. Ia berusia delapan belas tahun seusia denganku. Ia haya mampu menempuh pendidikan hingga Sekolah Menegah Pertama. Selanjutnya ia sering membantu kakenya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak dapat melanjukan pendidikanya kejenjag lebih tinggi, dikarnakan biaya sekolah yang mahal, tidak membuat Humaeroh untuk putus asa. Ia tetap tersenyum menyongsong hari esok.
Sekitar lima ratus meter dari rumah kake terdapat ruang belajar untuk mendalami ilmu Agama. Biasaya Humaeroh pergi mengaji sehabis salat magrib hingga usai salat isha. Sudah tiga kali aku ikut mengaji bersamanya. Sering kali aku merasa malu ketika para gadis terus menatapku. Seperti jiwa tidak tahu maluku hilang entah kemana. Rasa GR melambung tinggi dihidungku. Selain itu bayak sekali para pemuda dikampung iri padaku. Dikarnakan aku selalu bersama Humaeroh. Bayak sekali lelaki mendamba-dambakan Humareroh karna kecantikan dan kebaikan hatinya. Kembang Desa atau Mojang Parahiangan menjadi julukannya.
Kalimah kiparatulmajlis menjadi do’a penutup pengajian. Sahalat isya berjamaah menjadi kebiasaan baik dilakukan usai pengajian. Humaeroh telah membereskan alat solatnya begitujuga aku. Kutunggu didepan Musola hingga ia datang. Kamipun segera pergi pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan. Malam ini bulan begitu terang. Seluruh tubuhnya terlihat sangat bulat. Kami berjalan dengan berinteraksi satu sama lain. Hingga Aku utarakan satu pertayaan mengenai diriku yang telah ia ketahui.
“humaeroh, apa kamu tidak malu berjalan bersama dengan sosok jadah di masalalunya?” dengan sedikit menolehnya.
“haruskah kita memandang masalalunya? Masalalu bukanlah hal yang harus di permasalahkan. Biarlah masalalu menjadi sebuah gambaran. Yang penting bagai mana perilaku kita yang sekarang dan bukan masa suramitu!” kedua taganya memegang erat tas kecil berwarna putih berisikan alat solatnya.
“meski kau belum tahu persis orang itu benar-benar baik?” seketika aku terhenti dari langkahku dengan menghadap kearanya. Begitujuga Humaeroh. Tetapi posisinya terus menghadap kedepan. Selama kami pulang besama dari pengajian, ia enggan menatap ku begitu juga orang lain.
“banyak orang yang terlihat suci, tetapi dalam hatinya tertanam dengki. Banyak orang yang merasa dirinya baik sehingga ia tidak mau berdampingan dengan orang yang dianggapnya tidak layak bersamaya. Sering kali kita dibutakan oleh pandangan. Ada orang terlihat biasa atau jahat, tetapi dalam hatinya terdapat kelembutan dan keihlasan kasih sayang!” ia begitu pasih mengatakan kata-katanya. Wanita muslimah ini tidak pernah menyombongkan dirinya. Seperti ia tidak memiliki rasa Khusnudjan dalam pikirannya. Ia anggap semua orang baik sebelum ia melihat benar-benar orang itu berperilaku salah. Kami melanjutkan perjalanan. masih separuh perjalanan lagi untuk sampai kerumah. Kini hanya kami berdua berjalan menyusuri telapak kaki.
Dengan cepat kupalingkan tatapan mata ini kebelakang.
“ada apa Mas” tanya kaget Humairoh dengan tubuhnya yang menyamping menghadap padaku. “Tidak, mari kita lanjutkan perjalananya” Seperi ada orang yang mengikuti kami. Apa mungkin ini haya perasaanku saja. Kami melanjutkan kembali perjalanan meuju rumah. Langkah Humairoh terhenti begitu saja. Begitu juga denganku.  Terlihat dari depan seorang lelaki kira-kira tinggi badan 170 Cm beda tipis dengan tinggi badanku. Aku kira haya dia seorang. Satu orang keluar melompat dari semak seksemak. Dan satu lagi berjalan santai mengarah pada lelaki yang petama kali aku lihat. Diikuti oleh lekaki yang keluar dari semak-semak. Terhenti seketika dengan memperbincangkan sesuatu yang tidak berlangsung lama. Setelah itu ketiga orang itu meuali barjalan mendekati kami. Herannya Humaeroh tidak sedikitpun terlihat takut. Ia malah tersenyum seolah mentertawakan tingkah laku ketiga orang itu. Kini mereka berada didepan kami dengan jarak satu meter. Mereka mulai berpencar. Satu orang seperti bosnya tetap berdiamdiri, satu orang berjalan kearah kiri dan yang satunya lagi berjalan kesebelah kanan. Seperti sebuah rencana pengeroyokan atau seperti sebuah perencanaan pemerkosaan masal. Humairoh masih tersenyum.
“apa kamu mengelan mereka?” sedikit kutelengkan badan ini membisik pada humairoh tanpa jawaban.
“Apa yang sedang kalian lakukan ditempat ini?” tanya berani Humaeroh tetap pada posisinya.  
Lelaki didepan kami tiba tiba menjulurkan tangn kanannya dengan mencolek dagu Humaeroh. Dengan sagat cepat humaeroh menakis tangn lelaki itu hingga mengayun kembali keposisi awalnya.
“dengan sikapmu yang seperti ini, kamu terlihat sangat manis” Ia terlihat begitu bernafsu melihat Humaeroh. Ini sudah terlalu berlebihan. Saat ia berusaha mencolek kembali Humairoh, kepalan tangan kananku mendahului menyentuh mukanya. Badannya tercengan kebelakan. Ia sempoyongan hingga terjatuh. Kini posisi Humairoh berada dibelakangku. Anehnya tidak kulihat kedua temanya menyerangku. Apa mungkin mereka sudah kambur ketakutan. Menengok kebelakang. Humairoh berdiri tegap pada posisinya. Aku sungguh terkaget dengan semua ini. Kedua temanya sudah terbaring kesakitan diatas tanah, sambil memegang pipi mereka masing-masing. Ketiga orang itu bangun dan lari terbirit birit.
“mari Mas. Mungkin kita tengah membuat kakek hawatir” ia berjalan dengan senyuman manisnya. Aku sunggu tidak percaya dengan semua ini.
Sesampainya dirumah kuceritakan kejadian barusan pada kakek yang sedag duduk menyandar dikursi kecil. Bukannya reaksi hawatir karna cucunya hampir celaka, ia malah tertawa terbahak-bahak.
 “Seringkali ia diganggu oleh anak-anak lelaki saat pulang dari pengajian. Tetapi itu tidak membuat kakek hawatir. Karna selama ini kakek telah mengajarkannya ilmu beladiri”. dipeluknya satu dengkul.  
“Pantas saja sikap Humaeroh tadi tidak sedikitpun merasa takut. Ia malah tersenyum manis”. Gumamku dalam hati. Sedikit tersenyum memandang humaeroh sedag mempersiapan makakan malam didapur. Rumah bambu ini terisi oleh tawaku yang terpingkal-pingkal mendengar cerita kakek tentang orang-orang yang berusaha mengganggu Humaeroh. Ujung-ujungnya mereka yang kesakitan, bukannya Humaeroh.
“apa na Rio tidak merindukan keluarga dikota?”
“aku tidak tahu bagaimana aku bisa menghubungi mereka. Handphonku mati total, batrainya habis. sedangkan aku tidak membawa casanya”. Keluhku bersama badan hendak terbaring menatap atap.  “huun” suara hembusan napasku seolah merindukan kelouarga. Kini aku sekarang benar benar merindukan keluargaku. Bagaimana caranya aku bisa sampai kepusat kota. Sedagkan tidak ada uang sepeserpun. Melihat kondisi kakek yang seperti ini membuat ku malu untuk membicarakan uang.
“diBaledesa ada telepon umum, biasa digunakan para warga mengubungi kerabat jauhnya. Mungkin akan sedikit membantu na Rio menghubungi keluarga dikota. Berangkatlah besok pagi. Humaeroh akan mengantarmu!”
“benarkah!” terbagun dari tidur. Mata melotot menanggapi perekataan kakek Heru. 
“apakah kita perlu pergi kebale desa?”. Halimah berdiri dengan kedu dengkulnya. Badannya sedikit condong kedepan. tagankanannya memegang baki, secara otomatis tangan kanan menyimpan makana ditengah tengah kami. perkataannya membuat kami terheran.
“apa mungkin kamu malu berjalan denganku besok kebale desa?” Halimah berusa menghindari tatapanku. Usai menyiapkan semuan makanan ia masuk kedalam kamarnya. Aku dan kake terdiam bengong menlihat sikap ia malam ini. Entah apa yang sedang dilakukannya. selama satu menit di dalam kamar, ia keluar kembali. duduk disampingku penuh pertanyaan. Seedikit tersenyum mengangguk pelan.
“mungkin ini dapat mengurungkan niat mas Rio untuk pergi kebaledesa.” disimpannya dihadapanku casan Handphone dengan ujung kabel sesuai bentuk lubangnya.
“darimna kamu mendapatkannya?” taya senyumku. Mengambil casannya sedikit mengamati bentuk penyanbungnnya.
“cobalah dulu takut tidak pas”
Selama ini halimah memikirkan bagai mana aku bisa menghubungi keluargaku di kota. Ketika membereskan kamarku setiap pagi, Ia melihat henponku selalu tersimpan mati dikamar. Ia perhatikan bentuk lubag pengisi batrainya. Memang sudah lama ia mencari cari diwilayah kampung kepada warga. Tetapi takada yang memilikinya, dikarnakan dikampung ini sangat jarang orang yang memiliki  handhone. Dapat terhitung satu atau dua orang yang memilikinya, itu juga casannya berbeda. Humaeroh sempat putus asa mencari casan yang bentuknya sama dengan pengisi batrai miliku. Kebetulan hari kemarin ada kerabat temanya berkunjung dari kota. Satu kebetulan lagi ia membawa casan mirip dengan bentuk pengisi batrei Henpunku. Ia meminjamkanya untuku. Pantas saja tadi siang ia tidak ada dirumah. Baru tadi sepulang pengajian halimah menerimanya. Sebenarnya ia akan langsung memberikan nya padaku. tetapi karna aku terburu buru mengajaknya pulang ia takada kesempatan untuk mengatakanya. Hingga ia lupa. Kini ia teringat ketika kake mengatakan ada Telepon umum dibaledesa.
Segera kuambil handphone miliku dikamar. Penuh rasa gembira ini sagat cocok. Tidak banyak tingkah segera mengisi batrenya. Kebetulan delu kake menyiapkan satu sikring disamping kursi menempel di kayu penyanggah rumah. Kunyalakan kembali handphone usai sedikit terisi. Sayang takada satupun sinyal. Setelah batrainya penuh aku segera mencai sinyal diluar rumah. Humairoroh melihat tingkahku mencari sinyal dair pintu utama rumah.
“wah ada satu” aga maju kedepan sedikit, terdapat dua hingga tiga sinyal. Memilih daftar kontak. Berderet nama-nama berurutan sesuai abjad. Memilih satu nama, menekannya.
“halo Wil..!” kulambaikan tangan. Humairoh tersenyum manis.   
“Rioooo! dimana kamu sekarang?” nadanya terdengat kaget mendapat telepon dariku. Beginilah kalo orang mendapat telepon dari orang yang sedang dihawatirkan. Takakan berhenti bicara. “Kamu gila mau buat kami semua mati mencari kesana kemari. Rasanya kami sudah putus asa. Kirain kamu sudah tiada. Omahmu sagat hawatir. Ia terus mencarimu siang malam. Nyampe membuat sambera untuk menemukanmu”
“iah maaf deh udah membuat kalian semua hawatir. sekarang aku berada di perkampungan. Daerahnya sangat indah” menatap Humairoh yang penuh keanggunan “alamatnya aku tidak terlalu tahu. Nanti dikirim piasms alamat lengkapnya”
Aku benar-benar membuat semua orang hawatir. Sekarang aku sadar kalau masih banyak orang yang menyayangiku. Kukirimkan alamat lengkap daerah perkampungan Via sms. Aku tidak beritahu Omah lebih dulu karna takut ia akan lagsung menyusulku kekampung ini. Biarlah Omah mengetahui ketika aku sudah berada dirumah.
Menghampiri Humaeroh menanti dipintu masuk.
“gimana mas?”
“sudah. Sudah malam, mungkin aku harus istirahat”
“baiklah, mari”
Tidak kujawab pertayaan humairoh. aku tidak mau membuat ia bersedih karna besok aku akan kembali kekota. Kami segera beristirahat. Hendak berbaring menjulurkan seluruh badan. Meskilah mata terpejam menutup keindahan, kornea hitam ini enggan terpejam. 

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net