Cucu Abdul Karim
“Ini adalah jalan
hidupku yang tak harus kalian komentar. karna aku tidak pernah meminta kalian
untuk menilai jalan tabir kehidupan ini. Bahkan aku tak pernah membayar kalian
untuk menilai setiap gerak-gerik pergerakan daging ini. Apalagi menyuruhku
untuk merubah gaya hidup, hendak menuruti semua aturan mereka, berbusana
seiring keingina merek. Seakan menata
setiap pijakan diatas alur dan sekenario yang mereka buat. Ingat aku bukanlah
sebuah boneka tali yang akan terus meresapi semua ocehan dan cacian nikmat bagi
tegukan rongga mulut kalian. Meski terlihat seperti segumpal daging hina saat
kalian tatap masa suram peraktik dosa asal diri ini. Tetapi aku takakan pernah
menjadi sosok perilaku dari tingkah induk dan jalu asal diriku. Aku memilih
menjadi diriku sendiri, bersama sekenario takdir yang siap memangkas habis masa
suram dimasa lalu”.
“Masihkah sebuah
kalimat akan kalian persembahkan saat suasana membunuh tingkah laku. Ketika
kalian melihat kenyataan yang kalian anggap seperti sebuah rekayasa. Meski
terlihat seperti sebuah rekayasa, hendaklah terima dengan akal sehat kalian.
Kini berawal dari sebuah sair-syair tetangga begitu memuaskan saat
mengucapkanya. Kata mereka aku ini adalah anak haram yang tak seharusnya berada
dimuka bumi ini. karna ilusi mereka menganggapku adalah sebuah janin yang
tumbuh membawa petaka atau musibah bagi mereka dan lingkungannya. Bahkan saat
riak-riak bocah sepermainan daging ini dinggap kesialan bila berada dalam
kerumunan permainnan. Setiap kali bermain riang germbira, tetaplah diakhiri
dengan sebuah petaka yang membuat kawan sepermainan menjadi resah. Kini janin
telah dewasa. Rasa Malu, takut, terpojok, hina, menangis, cemoohan, penyisihan,
senyum, tawa, sanjung, bahagia, dan kasih sayag akan setersimpan rabih dalam
benak jiwa” bersandar pada kayu penyanggah genting bangunan.
Wajah tegap menatap
lurus. Kabut mulai pudar melenyapkan dirinya. Jarak pandang mulai leluasa.
Dapat disaksikan sajiam alam. Dari kejauhan terpandang kebun teh seakan
tersisir rapih. Hewan ternak keluar dari sarangnya. Orang-orang disekitar
terlihat begitu ramah.
“jangan terlalu banyak
melamun” ucap kake tua tengah berdiri disampingku. Dengan sedikit terkejut,
satu senyuman kuarahkan seolah penjawab seruan kake tua. “ada kalanya kita
harus merasa malu pada alam. Kita menikmati kekayaannya tetapi kita salah
memanpaatkannya. Merusaknya tanpa ragu” ucap kembai kake tua karna melihatku
menatap kembali suasana alam sekitar. Satu senyuman Aku utarakan kembali pada
kakek tua.
“siapa namamu na?” kata
sapa yang merdu menghampiriku dari sikakek. Berawal dari sebuah pertanyaan,
telah melahirkan banyak perbincangan antara kami. Kake Heru namanya. Usianya
satu abad minus 45 tahun. Ia merupakan tokoh masyarakat dikampung Pamijahan. Memiliki
satu orang anak perempuan membuatnya sangat bahagia. Na’as kebahagiaannya telah
diambil kembali oleh sang pemilik. Putrinya meninggal ketika melahirkan bayi
pertamaya. Sedangkan menantunya tidak pernah pulang dari perantauanya. diperantauan
menantunya bekerja menjadi penggali emas. Pekerjaan beresiko tersebut telang
merengun nyawa menantunya. Ia tertimpa tanah longsor saat berada didalam lubang
penggalianemas. Mayatnya tidak ditemukan. Satu kebahagaan telah tumbuh kembali,
karna kakek heru memiliki satu orang cucu yang tinggal bersamanya.
Kampung Pamijahan terletak
disebelah utara perkotaan. Jarak dari kampung kepusat kota tidak ada yang tahu.
Namun apabila diukur dengan waktu, sekitar tujuh jam perjalana untuk sampai
kepusat kota. Sekarang aku ingat kalau tadimalam aku salah mengambil arah.
Seharusnya kearah barat malah mengambil arah utara, hingga aku terdampar
dikampung ini. Tadi malam aku pergi dari rumah halimah Jam 19.15 Wib. Terbaring
dikampung ini mungkin jam jam tiga malam. Seketika itu aku tertidur dimesjid
ini. Kini Aku dalam posisi duduk dengan kedua kaki terselunjur kedepan.
Sedangkan kake heru duduk melipatkan kakinya.
“kenapa na Rio bisa
sampai disini?” kutengok wajah kake Heru, seketika kembali menatap lurus ke depan.
Pertayaannya membuatku mengingatkan kejadian tadimalam. Mengingatkaku pada
Halimah. Membuat hati ini begitu terasa menyesali karna membuatnya bersedih. Tetapi
aku harus tetap tegar meski rasaya hatiini begitu sangat sakit.
“entahlah ke. Tetapi mimpi
buruku tadi malam membuatku terbangun ditempat ini” Kini kabut benar-benar
telah menghilang. Suasana pagi terasa begitu sejuk.
“sepertinya Aku harus
segera pulang. Cucuku pasti hawatir. Marilah manpir kerumahku” Berdiri, dua
langkah kedepan dengan mengenakan satu persatu alas kakinya.
“trimakasih atas
tawarannya ke. Tetapi sepertinya aku harus kembali, keluargaku pasti
hawatir karna semalaman aku tidak
pulang”
“baiklah na. Barangkali
nanti kamu membutuhkan sesuatu, datanglah kerumah kake. Hati hati dijalan” ia
kini benar-benar pergi dari tatapanku.
Mengeluarkan handphone
dari saku kanan untuk menghubungi Omah. Menekan tombol aktifpasi tetapi tidak ada
tanda-tanda akan menyala karna baternya habis. Simerah terparkir diatas
rerumputan. Tubuhnya penuh dengan lumpur. memutar kunci setater seakan repleks
simerah menyala. Apa mungkin aku akan sampai menuju pusat kota sedngkan bahan
bakar simerah dalam jarak beberapa meter akan habis. Meraba saku belakang
dipantat clana jinsku. Seakan begitu lengkap penderitan ketia sadar aku tidak
membawa dompet. Karna tadimalam terburu-buru menemui paman Heri.
“oh set. Sekarang apa
yang harus aku lakuka? handphone mati, bahan bakar simerah habis, dompeet
ketinggala” sambil menutup pitu simerah. Sekarang aku akan benar-benar membuat
semua orang hawatir.
Satu-satunya orang yang
aku kenal dikampung ini adalah kakek Heru. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari lokasi mesjid. Tigaratus meter
dengan menyusuri jalan terdapat rumah sederhana terbuat dari anyaman bambu. Pagar
munglil saling berdempetan mengelilingi rumah bambunya. Terdapat tempat jemuran
disamping rumah. lima puluh meter sebelah utara rumah berdiri satu bangunan kecil dari kayu tempat hewan ternak
berteduh. Dan disebelah selatan rumah, berdampingan dengan tempat jemuaran
terdapat gubuk keci. Didalamnya tertumpuk alat-alat teradisional terbuat dari
bambu hasil buah tangan. Pintu rumah terbuka lebar. Terdengar percakapan
singkat dari dalam rumah. kulanjutkan langkahkaki hingga berada didepan pintu.
Melirik kearah kanan kiri.
“aslamualaiku” usai
mengucapkan salam, tertengok ikat sepatu terlepas. Merndahkan tubuhku hingga
dalam posisi jongkok. Kepala ini tertunduk kebawah. Kedua tangan menarik tali sepatu dan mengikatkannya
kembali.
“waalikumssalam” aku
terpaku dibuatnya. sosok seorang gadis datang menyapa dari dalam rumah bambu.
Dikenakannya kerudung warna merahmuda, Baju lengan panjang dan Rok hitam aga
kusam. Senyumannya sama persis seperti Halimah. Kilauan matanya membuat mataku
terasa begitu nyaman. “Halimah” igau ku dengan terperangak bediri. Kuusap wajah
terpesona dengan keduatagan. memutar badan hingga membelakanginya. Wanita ini
bukan halimah ia tidak nyata. Ini halusinasi.
“siapa?” kakek Heru
datang menghampiri.
“aku tidak tahu kek”
gumam lembutnya terus mengingatkan Aku pada halimah. memutar kembali tubuh.
Sekarang aku yakin ia bukan Halimah. Kedua mata Gadis berparas cantik terpokus
melikaht keanehanku. Kini Kakek Heru berada disamingnya.
“eh nak Rio, ayo
masuk!”
“ayo mas masuk” gadis
cantik menuturi kalimat yang diucapkan kake Heru
Sesegera mungkin masuk
kedalam rumah. Dari pintu utama dapat terlihat sebuah dapur super sederhana
penuh asap. Terdapat satu kursi kecil dari kayu dalam ruang kosong. Tikar terbuat
dari hata menutupi seluruh ruangan. Tiga kamar kecil berukuran tiga kali tiga
berbaris sebelah utara rumah. Dinding dari anyaman bambu menjadi pemisah antar
kamar. Terdapat satu helai kain terbentang disetiap kamar sebagai pengganti
pintu. Satu jendela seperti sel kayu kecil menjadi pentilasi kamar. Satu lampu
kuning menggantung ditengah rumah.
Duduk manis dihadapan
kakek dan gadis cantik. Menceritakan apa yang tengah terjadi, hingga aku tidak
bisa kembali pagi ini. Aku tidak tahu kapan aku aka kembali. Mungkin hari esok
, lusa, satu minggu, dua minggu, hingga beberapa bulan.
Kebaikan kake Heru
membuatku bisa tinggal dirumahnya lebihlama. Kisah terdampar dikampung
terpencil mengajariku untuk hidup sederhana. Bahkan tidak bisa dikatakan
sederhana, alias hudup seadanya. Tidak ada kata mewah terungkap dalam
keseharian. Tetapi mereka begitu sangat bahagia.
Sudah dua belas hari
aku berada dikampung ini. Sekedar menenangkan pikiran. Selama itujuga simerah
terdiam ditempatnya. Aku tidak pernah mengabari siapapun. Baik itu omah, ketiga
sahabat konyolku, apalagi Halimah. Dia takakan perduli pada kondisiku. Karna tidak
banyak yang dapat kulakukan. Desa ini sagat jauh dari perkotaan. Akses
kendaranpun sangat sulit. Bahkan penerangan saat malam dikampung ini sangat
buruk. Terdapat dua atau tiga lampu disetiap ruma. Terasa begitu sangat sunyi bila
malam datang.
Membantu pekerjaan kake
mungkin akan sedikit meringankan bebannya. Kake Heru bekerja sebagai pengrajin
alat-alat tradisional rumah tangga. Satu-satunya keluarga kake heru adalah
wanita berparas cantik yang kini berada dihadapanku. Namaya Humaeroh. Ia berusia
delapan belas tahun seusia denganku. Ia haya mampu menempuh pendidikan hingga
Sekolah Menegah Pertama. Selanjutnya ia sering membantu kakenya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Tidak dapat melanjukan pendidikanya kejenjag lebih
tinggi, dikarnakan biaya sekolah yang mahal, tidak membuat Humaeroh untuk putus
asa. Ia tetap tersenyum menyongsong hari esok.
Sekitar lima ratus
meter dari rumah kake terdapat ruang belajar untuk mendalami ilmu Agama.
Biasaya Humaeroh pergi mengaji sehabis salat magrib hingga usai salat isha. Sudah
tiga kali aku ikut mengaji bersamanya. Sering kali aku merasa malu ketika para
gadis terus menatapku. Seperti jiwa tidak tahu maluku hilang entah kemana. Rasa
GR melambung tinggi dihidungku. Selain itu bayak sekali para pemuda dikampung
iri padaku. Dikarnakan aku selalu bersama Humaeroh. Bayak sekali lelaki
mendamba-dambakan Humareroh karna kecantikan dan kebaikan hatinya. Kembang Desa
atau Mojang Parahiangan menjadi julukannya.
Kalimah kiparatulmajlis
menjadi do’a penutup pengajian. Sahalat isya berjamaah menjadi kebiasaan baik
dilakukan usai pengajian. Humaeroh telah membereskan alat solatnya begitujuga
aku. Kutunggu didepan Musola hingga ia datang. Kamipun segera pergi pulang
dengan berjalan kaki menyusuri jalan. Malam ini bulan begitu terang. Seluruh
tubuhnya terlihat sangat bulat. Kami berjalan dengan berinteraksi satu sama
lain. Hingga Aku utarakan satu pertayaan mengenai diriku yang telah ia ketahui.
“humaeroh, apa kamu
tidak malu berjalan bersama dengan sosok jadah di masalalunya?” dengan sedikit
menolehnya.
“haruskah kita
memandang masalalunya? Masalalu bukanlah hal yang harus di permasalahkan.
Biarlah masalalu menjadi sebuah gambaran. Yang penting bagai mana perilaku kita
yang sekarang dan bukan masa suramitu!” kedua taganya memegang erat tas kecil
berwarna putih berisikan alat solatnya.
“meski kau belum tahu
persis orang itu benar-benar baik?” seketika aku terhenti dari langkahku dengan
menghadap kearanya. Begitujuga Humaeroh. Tetapi posisinya terus menghadap
kedepan. Selama kami pulang besama dari pengajian, ia enggan menatap ku begitu
juga orang lain.
“banyak orang yang
terlihat suci, tetapi dalam hatinya tertanam dengki. Banyak orang yang merasa
dirinya baik sehingga ia tidak mau berdampingan dengan orang yang dianggapnya tidak
layak bersamaya. Sering kali kita dibutakan oleh pandangan. Ada orang terlihat
biasa atau jahat, tetapi dalam hatinya terdapat kelembutan dan keihlasan kasih
sayang!” ia begitu pasih mengatakan kata-katanya. Wanita muslimah ini tidak
pernah menyombongkan dirinya. Seperti ia tidak memiliki rasa Khusnudjan dalam
pikirannya. Ia anggap semua orang baik sebelum ia melihat benar-benar orang itu
berperilaku salah. Kami melanjutkan perjalanan. masih separuh perjalanan lagi
untuk sampai kerumah. Kini hanya kami berdua berjalan menyusuri telapak kaki.
Dengan cepat
kupalingkan tatapan mata ini kebelakang.
“ada apa Mas” tanya
kaget Humairoh dengan tubuhnya yang menyamping menghadap padaku. “Tidak, mari
kita lanjutkan perjalananya” Seperi ada orang yang mengikuti kami. Apa mungkin
ini haya perasaanku saja. Kami melanjutkan kembali perjalanan meuju rumah.
Langkah Humairoh terhenti begitu saja. Begitu juga denganku. Terlihat dari depan seorang lelaki kira-kira
tinggi badan 170 Cm beda tipis dengan tinggi badanku. Aku kira haya dia seorang.
Satu orang keluar melompat dari semak seksemak. Dan satu lagi berjalan santai
mengarah pada lelaki yang petama kali aku lihat. Diikuti oleh lekaki yang
keluar dari semak-semak. Terhenti seketika dengan memperbincangkan sesuatu yang
tidak berlangsung lama. Setelah itu ketiga orang itu meuali barjalan mendekati
kami. Herannya Humaeroh tidak sedikitpun terlihat takut. Ia malah tersenyum
seolah mentertawakan tingkah laku ketiga orang itu. Kini mereka berada didepan
kami dengan jarak satu meter. Mereka mulai berpencar. Satu orang seperti bosnya
tetap berdiamdiri, satu orang berjalan kearah kiri dan yang satunya lagi
berjalan kesebelah kanan. Seperti sebuah rencana pengeroyokan atau seperti
sebuah perencanaan pemerkosaan masal. Humairoh masih tersenyum.
“apa kamu mengelan
mereka?” sedikit kutelengkan badan ini membisik pada humairoh tanpa jawaban.
“Apa yang sedang kalian
lakukan ditempat ini?” tanya berani Humaeroh tetap pada posisinya.
Lelaki didepan kami
tiba tiba menjulurkan tangn kanannya dengan mencolek dagu Humaeroh. Dengan
sagat cepat humaeroh menakis tangn lelaki itu hingga mengayun kembali keposisi
awalnya.
“dengan sikapmu yang
seperti ini, kamu terlihat sangat manis” Ia terlihat begitu bernafsu melihat
Humaeroh. Ini sudah terlalu berlebihan. Saat ia berusaha mencolek kembali
Humairoh, kepalan tangan kananku mendahului menyentuh mukanya. Badannya
tercengan kebelakan. Ia sempoyongan hingga terjatuh. Kini posisi Humairoh
berada dibelakangku. Anehnya tidak kulihat kedua temanya menyerangku. Apa
mungkin mereka sudah kambur ketakutan. Menengok kebelakang. Humairoh berdiri
tegap pada posisinya. Aku sungguh terkaget dengan semua ini. Kedua temanya
sudah terbaring kesakitan diatas tanah, sambil memegang pipi mereka
masing-masing. Ketiga orang itu bangun dan lari terbirit birit.
“mari Mas. Mungkin kita
tengah membuat kakek hawatir” ia berjalan dengan senyuman manisnya. Aku sunggu
tidak percaya dengan semua ini.
Sesampainya dirumah
kuceritakan kejadian barusan pada kakek yang sedag duduk menyandar dikursi
kecil. Bukannya reaksi hawatir karna cucunya hampir celaka, ia malah tertawa
terbahak-bahak.
“Seringkali ia diganggu oleh anak-anak lelaki
saat pulang dari pengajian. Tetapi itu tidak membuat kakek hawatir. Karna
selama ini kakek telah mengajarkannya ilmu beladiri”. dipeluknya satu dengkul.
“Pantas saja sikap Humaeroh
tadi tidak sedikitpun merasa takut. Ia malah tersenyum manis”. Gumamku dalam
hati. Sedikit tersenyum memandang humaeroh sedag mempersiapan makakan malam
didapur. Rumah bambu ini terisi oleh tawaku yang terpingkal-pingkal mendengar
cerita kakek tentang orang-orang yang berusaha mengganggu Humaeroh.
Ujung-ujungnya mereka yang kesakitan, bukannya Humaeroh.
“apa na Rio tidak merindukan
keluarga dikota?”
“aku tidak tahu
bagaimana aku bisa menghubungi mereka. Handphonku mati total, batrainya habis.
sedangkan aku tidak membawa casanya”. Keluhku bersama badan hendak terbaring
menatap atap. “huun” suara hembusan
napasku seolah merindukan kelouarga. Kini aku sekarang benar benar merindukan
keluargaku. Bagaimana caranya aku bisa sampai kepusat kota. Sedagkan tidak ada
uang sepeserpun. Melihat kondisi kakek yang seperti ini membuat ku malu untuk
membicarakan uang.
“diBaledesa ada telepon
umum, biasa digunakan para warga mengubungi kerabat jauhnya. Mungkin akan sedikit
membantu na Rio menghubungi keluarga dikota. Berangkatlah besok pagi. Humaeroh
akan mengantarmu!”
“benarkah!” terbagun
dari tidur. Mata melotot menanggapi perekataan kakek Heru.
“apakah kita perlu
pergi kebale desa?”. Halimah berdiri dengan kedu dengkulnya. Badannya sedikit condong
kedepan. tagankanannya memegang baki, secara otomatis tangan kanan menyimpan
makana ditengah tengah kami. perkataannya membuat kami terheran.
“apa mungkin kamu malu
berjalan denganku besok kebale desa?” Halimah berusa menghindari tatapanku.
Usai menyiapkan semuan makanan ia masuk kedalam kamarnya. Aku dan kake terdiam bengong
menlihat sikap ia malam ini. Entah apa yang sedang dilakukannya. selama satu
menit di dalam kamar, ia keluar kembali. duduk disampingku penuh pertanyaan. Seedikit
tersenyum mengangguk pelan.
“mungkin ini dapat
mengurungkan niat mas Rio untuk pergi kebaledesa.” disimpannya dihadapanku
casan Handphone dengan ujung kabel sesuai bentuk lubangnya.
“darimna kamu
mendapatkannya?” taya senyumku. Mengambil casannya sedikit mengamati bentuk
penyanbungnnya.
“cobalah dulu takut
tidak pas”
Selama ini halimah
memikirkan bagai mana aku bisa menghubungi keluargaku di kota. Ketika
membereskan kamarku setiap pagi, Ia melihat henponku selalu tersimpan mati
dikamar. Ia perhatikan bentuk lubag pengisi batrainya. Memang sudah lama ia
mencari cari diwilayah kampung kepada warga. Tetapi takada yang memilikinya,
dikarnakan dikampung ini sangat jarang orang yang memiliki handhone. Dapat terhitung satu atau dua orang
yang memilikinya, itu juga casannya berbeda. Humaeroh sempat putus asa mencari
casan yang bentuknya sama dengan pengisi batrai miliku. Kebetulan hari kemarin
ada kerabat temanya berkunjung dari kota. Satu kebetulan lagi ia membawa casan
mirip dengan bentuk pengisi batrei Henpunku. Ia meminjamkanya untuku. Pantas
saja tadi siang ia tidak ada dirumah. Baru tadi sepulang pengajian halimah
menerimanya. Sebenarnya ia akan langsung memberikan nya padaku. tetapi karna
aku terburu buru mengajaknya pulang ia takada kesempatan untuk mengatakanya.
Hingga ia lupa. Kini ia teringat ketika kake mengatakan ada Telepon umum
dibaledesa.
Segera kuambil
handphone miliku dikamar. Penuh rasa gembira ini sagat cocok. Tidak banyak
tingkah segera mengisi batrenya. Kebetulan delu kake menyiapkan satu sikring
disamping kursi menempel di kayu penyanggah rumah. Kunyalakan kembali handphone
usai sedikit terisi. Sayang takada satupun sinyal. Setelah batrainya penuh aku
segera mencai sinyal diluar rumah. Humairoroh melihat tingkahku mencari sinyal
dair pintu utama rumah.
“wah ada satu” aga maju
kedepan sedikit, terdapat dua hingga tiga sinyal. Memilih daftar kontak.
Berderet nama-nama berurutan sesuai abjad. Memilih satu nama, menekannya.
“halo Wil..!”
kulambaikan tangan. Humairoh tersenyum manis.
“Rioooo! dimana kamu
sekarang?” nadanya terdengat kaget mendapat telepon dariku. Beginilah kalo
orang mendapat telepon dari orang yang sedang dihawatirkan. Takakan berhenti
bicara. “Kamu gila mau buat kami semua mati mencari kesana kemari. Rasanya kami
sudah putus asa. Kirain kamu sudah tiada. Omahmu sagat hawatir. Ia terus mencarimu
siang malam. Nyampe membuat sambera untuk menemukanmu”
“iah maaf deh udah
membuat kalian semua hawatir. sekarang aku berada di perkampungan. Daerahnya
sangat indah” menatap Humairoh yang penuh keanggunan “alamatnya aku tidak
terlalu tahu. Nanti dikirim piasms alamat lengkapnya”
Aku benar-benar membuat
semua orang hawatir. Sekarang aku sadar kalau masih banyak orang yang
menyayangiku. Kukirimkan alamat lengkap daerah perkampungan Via sms. Aku tidak
beritahu Omah lebih dulu karna takut ia akan lagsung menyusulku kekampung ini.
Biarlah Omah mengetahui ketika aku sudah berada dirumah.
Menghampiri Humaeroh
menanti dipintu masuk.
“gimana mas?”
“sudah. Sudah malam,
mungkin aku harus istirahat”
“baiklah, mari”
Tidak kujawab pertayaan
humairoh. aku tidak mau membuat ia bersedih karna besok aku akan kembali
kekota. Kami segera beristirahat. Hendak berbaring menjulurkan seluruh badan.
Meskilah mata terpejam menutup keindahan, kornea hitam ini enggan terpejam.
0 comments:
Post a Comment