Malaikat Bermata Biru (3)

            Seperti biasa, malaikat itu sedang duduk di teras belakang sambil mengerjakan pekerjaan kantornya dengan ditemani secangkir cokelat panas dan biskuit cokelat kesukaannya. Tanpa sungkan akupun memeluknya dari belakang.
“Kau terlalu cape bu, tak usah kau bawa pekerjaan kantor yang menyita waktu istirahatmu” bisikku padanya
Dia hanya tersenyum manis mendengarnya.
“Duduk lah Fai sini” panggilannya untukku yang berasal dari nama asliku Faihatun.
Disamping pekerjaan kantornya yang begirtu menggunung, ia sempatkan untuk bencengkrama dan bersendagurau denganku. Dan tanpa disengaja ia mengatakan bahwa anak keduanya akan pulang dari luar kota.
“Yang benar saja bu? Bukankah saat ini dia sedang sidang skripsi?”
“Upppssss,,ibu keceplosan Fai..“
“Tak apa bu, ayo ceritakan padaku. Kapan dia pulangnya? Mengapa dia pulang kan ia sedang menunggu sidang skripsi?”
“katanya dia ingin refreshing dulu sebelum sidang skripsi. Lagian hampir 6 bulan dia tak pulang-pulang.”
“seperti bang toyib saja ya bu” godaku padanya
“Ah kamu fai bisa saja”
“heee... ini sudah larut malam bu, saatnya ibu tidur. Tinggalkan saja dulu berkas-berkas itu sendiri”
▪▪▪
            Esok harinya ketika mentari mulai menampakkan sinarnya dan daun pun kehilangan embun. Hadir seorang pria yang selama ini ia tunggu. Fazar, ya namanya Fazar kakak angkatku yang kedua. Saat itu aku hanya bersembunyi dipekarangan rumah, tak berani sedetikpun menampakan diri di depannya. Karena, rasa takut tak di anggap menghantuiku. Padahal belum tentu dia seperti yang kubayangkan. Seketika ku menyibukkan diri dengan pekarangan itu meski ibu telah memanggilku beberapa kali.
“Maaf bu, aku takut menemuinya” ucapku dalam hati.
            Di samping itu, ibu yang tersenyum-senyum melihat jagoannya pulang memeluknya sangat erat. Sungguh senang ku melihatnya dari balik pintu rumah. Malaikat itu seolah hidup kembali dengan semangat baru yang menggelegar.
“Malaikatku tersenyum bahagia” ucapku pelan di balik pintu.
Tanpa sengaja ku menyenggol vas bunga di pinggir pintu dan akhirnya mereka menoleh kearahku bersamaan. Tak lama dari itu, ibu menghampiriku dan mengajakku masuk rumah untuk berkenalan dengan Fazar kakak angkatku yang baru ku kenal. Rasa guguppun tak dapat terhindar lagi. Tangan dingin dan gemetar seolah jadi teman akrab saat itu.
“Oh.. kamu Faihatun ya? Ibu sering menceritakan tentangmu” ucapnya lembut dengan senyum gingsul menyapu ketakutanku selama ini.
“Iya kak” jawabku tersipu.
Seketika ibu mencairkan suasana diantara aku dengan kak Fazar.
“Anggaplah Faihatun sebagai adik kandungmu sendiri Zar..”
“Fai,, anggalah dia sebagai kakak kandungmu juga seperti kau menganggapku sebagai ibu kandungmu”
“Iya bu” jawab kita bersamaan sambil menatap satu sama lain.
▪▪▪
Awan putih tersapu angin yang berhembus kencang meniup seluruh kegundahan hatiku. Membius jiwaku dalam lamunan tentang penyesalan yang selalu menghantuiku. Dari balik arah ia menghampriku dengan seribu senyuman yang mampu menghangatkanku. Dengan kepandaiannya bersilat lidah seakan menghipnotisku untuk selalu menatapnya tanpa berkedip sekalipun. Namun seketika ku tersadar. Dia adalah kakak angkatku yang belum ku kenal baik.
Heningpun menemani kami saat itu, hanya duduk saja sambil menatap langit yang berhiaskan bintang di atas sana. Dengan isengnya dia bersiul begitu merdu menghancurkan kesunyian. Aku hanya tersenyum manis menatapnya.
“Aku tak mengerti, kenapa ibu langsung mengangkatku sebagai anaknya. Padahal belum lama ia mengenalku.” Ucapku dengan pelan.
“Ibu tak pernah gegabah dalam mengambil sebuah keputusna.” Ujarnya.
“Keputusan yang ia ambil selalu tepat, maka aku juga percaya kau adalah orang baik yang dikirimkan Tuhan untuk menjaga ibu kalaku jauh darinya”
Sambil tersenyum manis. “Tidakkan kau merasa iba, tiba-tiba datang orang asing dalam kehidupan kalian?”
“Untuk apa iba? Dari dulu ku memang ingin memiliki seorang adik perempuan. Namun, Tuhan baru memberinya sekarang. Hubungan darah tak penting bagiku, asalkan dia bisa membahagiakan ibuku.”
Tapi, bagaimana jika aku tak dapat melakukan hal itu? “
Ibu memilihmu, berarti kau mampu melakukan itu.”
Perbincangan kami berlangsung hingga larut malam dan dilanjutkan esok harinya sambil mengantarku sekolah. Saling tanya tentang kehidupan masing-masing menjadi nuansa keharmonisan bagi kita sepasang saudara yang masih berusaha saling mengenal. Mereka, malaikat bermata biru.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net