Cucu Abdul Karim
Terhalang kehawatiran,
tertawan perasangka. Sebuah hati terdiam dalam secerca harapan. Ambisi telah
lama terpendam akankah tersampaikan. Nada merdu yang bersimpu malu, mampukah
memberanikan diri menyanyikannya dengan sangat lantang. Satu penyesalan tidak
mungkin datang diawal kalimat. Pastilah penyesalan terungkap saat syair telah
terucap. Begitu juga sebuah tindakan telah terpenuhi.
Rasa kecewa mungkin
terus membenak dalam hati Felin. Memag tak seharusnya aku membuat ia menangis.
Aku akan minta maaf setelah ia merasa tenang nanti. Menyuruh kedua sahabat ku,
wil dan Drim untuk mengikuti Felin. Ketakutaku felin berlaku nekad atau terjadi
sesuatu padanya. Aku haya terdiam menyendiri didalam ruangan kelas. Entah apa
yang kupikirkan. Otaku melayang kesana kemari.
Bily teman sekelas
datang tergesa-gesa. Seakan ada sesuatu yang telah terjadi. Berusaha untuk
membuat Bili tenang.
“Ada apa Bily? Apa yang
terjadi?” dengan sangat hawatir aku bertaya.
“Rio. Glen sedang
mengerumuni halimah bersama teman-temannya di lapang basket” tubuh membentuk
sudut 90 %. Ditahannya kedua dengkul dengan kedu atangnnya.
“oh, kirain ada apa”
nada santi. terpikir olehku baru saja Bily mengatakan Halimah “apa Glen
mengganggu Halimah?”. Diriku merasa begitu marah ketika Bily mengatakan kalua
Glen sedang mengerumuni Halimah. Baiklah Glen aku akan buat perhitungan dengan
mu. Meski aku sudah berjanji tidak akan mengulangi kejadian yang sama tetapi
kamu yang memaksa aku untuk mengulangi kejadian tempolalu.
Halimah yang terlihat
anggun berubah menjadi sosok wanita ketakutan. Dikerumuninya cowok-cowok so
keren terlihat haus. Berlari dengan secepat kaki mengayunkan tenaganya. Tanpa menghiraukan
apapun, kudorong tubuh Glen hingga terpental. aku tarik halimah kebelakang
tubuhkuku. Seperti biasa, Glen tidak akan menyerah begitu saja. Sepertinya aku
harus membuatnya benar-benar jera untuk menjadi orang so keren dan sok jagoan
disekolah ini.
Glen terus mencoba
menggapai Halilah dengan gaya hausnya. Tetapi diriku takan membiarkan ia
menyentuh halimah meski hanya seujung jari. Meski nasibku tidak akan sama
seperti waktu itu. Aku rela melakukan apa saja untuk melindungi Halimah.
“jadi Halimah Wanita
yang sagat kamu cintai itu Rio?” sindir Glen padaku “sudahlah yo, bagaimana
kalau kita berdamai untuk membagi wanita manis ini. Tapi apabila kamu tidak mau
berdamai dengan sarat yang ku ajukan. terpaksa teman-temaku akan menghabisimu”
satu pelecehan terucap dari mulut Glen. Temam-teman Glen terlihat beringas,
siap melancarkan kepalan tangan mereka masingmasing. Aku tahu nyali orang-orang
seperti ini. Biasaya orang yang suka berkomplotan akan merasa kuat saat
ketuanya masih terlihat berani. Tetapi setelah peminpinnya lengah mereka akan
melarikan diri terbirit-birit.
“Glen jagan biarkan
dirimu meyesali kejadian kali ini. kau tahu, temantteman mu akan meninggalkanmu
setelah melihat kau lemah” berusaha mengeluarkan kata-kata jantan meski aku aga
ragu dengan ilusiku. Dari kejauhan terlihat dua sahabat tolol berlali mengarah
pada kerumunan kami.
“weeey...” teriak Wil
dan Drim
Terdengar begitu sangat
kencang teriakan kedua sahabat tololku. Sehingga membuat Glen harus memalingkan
wajahnya kearah Drim dan Wil. Tidak akan kulewatkan kesempatan ini. Kini tubuh
Glen dalam Posisi menyamping. Sekarang Ia terlihat lengah dihadapanku. Wajah
beringasnya terasa mulus ketika kepalan tangnku menempel keras dipipinya. “jdeeerrr”
Satu pukulan bertenaga super membuat Glen terbang seperti pesawat jatuh dengan
memuntahkan air liur dari mulutnya. Sungguh membuatkunya begitu malu.
Teman-teman pengecutnya lari begitu saja, tapa memperhatikan Glen terbaring
lemah ditengah lapang. Aku kira Glen mati, tetapi untungnya ia haya terbaring
kesakitan. Seketika ia terbangun dan denga sangat cepat berlari.
“yo aku gak nyangka
tangan mu begitu kuat” puji Wil
“sory yo kami
terlambat”ucap maaf Drim
Kutengok Halimah
terdiam membisu dibelakangku. Meski ia sempat berteriak satukali saat aku
memukul Glen. Baru kali ini aku mendengar teriakan begitu merdu. Wajahnya yang
tertunduk membuatku terlalu hawatir.
“Halimah kamu tidak
apa-apa?” taya kehawatiranku yang tidak ada jawaban. Kutatap ia denga seksama
yang terus terdiam sambil tertunduk.
Keduakalinya aku membuat seorang waita menagis dihadapanku. Satu tetesan ait
mata Haliman terjatuh megurai debu lapangan. Kupegang tangannya, Ia melemparkannya
kembali. Perlahan ia mengankat wajahnya.
“Haruskah kamu memukul
ia? haruskah kamu membuat orang-orang takut melihat perilakumu? Dan haruskah
tingkah konyolmu membuat dirimu celaka?” airmataya berlinai. tiga pertayaan
sekaligus ditujukan halimah padaku.
“aku lakukan ini karna
aku mencintaimu! aku lakukan ini karna aku takut orang yang kucintai akan
terluka! Aku rela terluka demi orang yang kucintai”
“haruskah kamu
mengorbankan kasihsayang sesama muslim untuk memuaskan cintamu, bahkan dengan
melukai saudaramu sendiri? Aku tidak mau nafsu mendahuluimu ketika kamu mencintaiku”
“salahkan aku
mencintaimu atas dasar ikhlas” tanyaku kembali. halimah haya terdiam tak
menjawab “aku tahu berpacaran bukanlah ajaran yang disarankan. Tetapi
Khitbahlah yang diharuskan. Salahkah aku mengatakan aku menyukaimu. Biarkanlan
aku mencintaimu sebelum kata hitbah menghampirimu Halimah” permohonanku pada
haliamh
Halimah menatapku
dengan tangisannya. Ia berkata dengan sangat alon “haruska aku memuaskan
nafsuku dengan mengatakan aku mencintaimu karna aku tahu Agamamu, haruskah aku
mengatakan aku mencintaimu karna aku paham Duniyawimu, haruskah aku mengatakan
aku mencintaimu karna aku kenal wajahmu. Tetapi haruskah aku mengatakan aku
mencintaimu ketika aku tidak paham dengan penciptaan jatidirimu” ucap terang Haliman
sambil menangis tersedu.
“aku tidak paham dengan
ucapanmu Halimah, sungguh aku tidak paham dengan apa yang kau utarakan” Diri
ini terlalu tolol untuk memahami kata-katanya. Halimah pergi dengan melangkah
cepat sambil tertunduk. Diujung lapang Felin berdiri menyaksikan pembicaraan
kami. Halimah yang berjalan kearah Felin seakan takmelihat Felin didepannya.
Seketika itu Felin melampiaskan kemarahaya karna mendengarku mengutarakan cinta
pada Halimah.
Felin menarik jilbab Halimah
dan mendorongnya hingga terjatuh. Dilemparkannya kembali jilbab itu dimuka Halimah.
“dasar wanita so suci.
Busanamu terlihat muslim, tavi hatimu begitu busuk” ujar kemarahan Felin.
Halimah tek henti menangis sambil membetulkan kembali jilbabnya. Segera berlari
menghampiri mereka. Kubantu Halimah kembali berdiri. Kini ia terpaku dengan tangisanya
dihadapanku. ia mulai berjalan perlahan meninggalkan kami. Felin terus saja
mencaci maki halimah. Aku sudah tidak tahan melihat Halimah diperlakukan
seperti ini.
“Hentika semua ini
Felin” Felin terdiam menatapku “ini bukan salahnya. tetapi aku yang bersikeras
mengejar-ngejar halimah. Awalnya aku merasa menyesal tengah membuatmu bersedih.
Tetapi dengan sikapmu yang seperti ini membuat ku harus membencimu” aku
beranjak pergi menyusul Haliman dan meninggalkan Felin sendiri.
“Rio,,,,,, Rio,,,,,” panggil
Felin berkali-kali
Kedua sahabatku haya
terdian menyaksikan semua ini. mereka tak bisa melakukan apa-apa. Karna mereka
tahu sifatku sesungguhnya. Mereka tahu aku akan bisa berpikir baik ketika aku
sudah merasa tenang. Aku terlalu lengah membuat Halimah tetap baeada dalam
pandangaku. Sudah kucari ia kesana kemari, namun tidak kutemukan ia. Seperti
sebuah ilusi yang bisa lenyap begitu saja.
Perkelahian diawali
dengan pukulanku melandas dipipi Glen, membuat kepala sekolah untuk memanggil
Omah dan kedua orang tua Glen. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan
di dalam ruangan kepala sekolah. Aku haya duduk diam diluar ruangan dengan
diawasi oleh Pak Dion wali kelasku. Usai sudah perbincangan antara Omah,
orangtua Glen dan Kepala Sekolah. Orang tua glen keluar lebih awal dan
menghampiriku. Mungkin aku harus bisa menerima apabila ayah atau ibunya Glen
memukulku. Karna aku telah memukul glen satu kali. Kini orengtua Glen berada
dihadapanku. anehnya mereka tida terlihat marah, malah tersenyum sambil mengelus-ngelus
kepalaku. Mereka mengatakan “Rio maafkan atas sikap Glen. Ia selalu ceroboh”.
Aku semakin bingun dengan apa yang terjadi. Tak lam akemudian Omah keluar dari
ruangan Kepala Sekolah. Omah haya berkata “ayo kita pulang” bersama satu
senyuman yang tak biasa.
DEWI
Masihkah engkau menunggu sang dewi, datang menghampiri
redupkan sepi. Memijakan kaki diatas denyut hati. Meski dewi terus bernyanyi,
Tak pernah sudi membagi hati. Membelah jiwa separuh raga. Mengiris kasih lautan
sejaga. Menutup pintu masukan rindu dikalbu.
Dia seng Dewi ratu pujaan. Merontah hati bisikan rasa. Engkau
dewi pujaan raga semata. Dengarkanlah setiap makna detak jantung ini. Berdenyut
kalbu detakan dambaan. Ismi Dewi ismi Dewi ismi Dewi.
Bersihkeraskah dewi campakan rasa. Yang telah menyatu tiada
ada beda. Telah menggumpal memadu satu. Rasa dan hati ini takan terhenti. Memuja
dewi sandaran hati
(07.31 Wib) Kamis, 21 Februari 2013
0 comments:
Post a Comment