Menetes
air mataku ketika membaca sebuah kumpulan puisi. Mata enggan berkedip.
Tunduk mengikuti lembar demi lembar episode hidup. Hanya hati yang berbisik, menggelitik jiwa tuk bergentayang
menembus ruang dimana titik mula puisi-puisi ini tercipta. Sementara itu,
dinding yang tangguh takzim memperhatikan. Jam pun seakan berhenti berdetak mengamini
setiap kata yang kuucap dalam hati. Ku
baca setiap bait dengan seksama.
Terlukis Indah
Ku ungkapkan tidak...
Padahal ya,,,
Ku ungkapkan ya...
Padahal tidak..
Bukannya tak sakit
Hanya saja pisau yang tumpul
tak dapat menyayat hatku
Jarum yang patah tak dapat
menusuk jantungku
Lidah yang tak dapat merobek
hatiku
Namun, kau yang terlukis indah
Kau yang merajai
Kau yang menyempurnakan
Aku, yang mendambamu
Selesai
empat kali kubaca, ku terdiam mencoba menerawang masa itu.
▪▪▪
Enam tahun yang lalu.
Aku
masih berkumpul dikantin sekolah bersama teman-teman.
Bercanda-tawa. Iseng menjahili teman yang lainnya. Menghabiskan waktu
bersama. Ya, walaupun aku bukan anak popular
sekolah, tapi aku memiliki banyak cerita tentang masa sekolah.
22 Desember 2008. Seperti biasa aku
pulang bersama Kodir sahabatku. Aku memanggilnya Kod. Aku suka panggilan itu. Entah apa alasannya.
Orang berperawakan tegap, tipe mahasiswa STPDN. Berkulit sawo matang dengan
senyum yang dihiasi lesung pipi tipis di pipi kanannya. Sesuai postur tubuhnya,
dia bercita-cita menjadi abdi negara. Ya, cita-cita yang cukup menjanjikan.
Maka dari itu, dia selalu menjaga kwalitas fisik dan otaknya agar mampu
bersaing dalam seleksi penerimaan mahasiswa STPDN esok lusa ketika dia lulus.
Dan sebagai sahabatnya, aku sangat
mendukung cita-citanya walau agak khawatir dengan desas-desus tentang aksi
brutal senior STPDN saat OSPEK. Tapi, jikapun terjadi hal semacam itu, aku
yakin dia mampu melewatinya.
“Kod..?”
“Ya...”
“Percepatlah
langkahmu! Entah mengapa aku sangat merindukan rumah.”
“Haaahhh.”
Mendongak kaget. “Tumben?” tanyanya.
“Entahlah.”
“Heem...”
Kami mempercepat
langkah. Dengan terus bercanda aku terus melenggang pulang. Semakin mendekati
rumah, semakin dada ini dagdigdug tak karuan. “Ada apa dengan aku?” Pertanyaan
itu kontak muncul dari hatiku. 400 meter mendekati rumah, rasaku semakin kacau.
300 meter, hatiku seakan berlari mendahului ragaku tuk sampai di rumah. 200
meter, akhirnya aku ikuti hatiku. Berlari. Belokan terakhir gang Anggrek, aku
berhenti. Diam memperhatikan sekitar. Tersadar.
“Kod..?”
“Ya.”
“Kemana
orang-orang?”
“Loh, memang
kenapa?”
“Perhatikanlah”
“Ya, sunyi.”
Kami terpaku
melihat keheningan gang anggrek. Gang yang biasa ramai dengan tingkah polah
warganya, kini sepi. Hingga teriakan itu mengagetkanku.
“Awwwwwaaaaaaaaaaaaaassssssssssss, minggir!
Budak teh kalah cicing di tengah jalan. Teu
terang nuju riweh batur teh” Bapak itu kesal. Menceracao sambil terus
berlari memanggul selang. Aku hanya mengangkat alis. Bingung. Satu sisi yang
kembali membuatku berfikir, mengapa gang ini sangat becek. Padahal bulan ini
masih dalam hitungan musim kemarau.
“Eleuhh, neng. Naha cicing wae di dieu.
Rumah neng. Rumah.” Kang Darman tetangga sebelah rumahku terengah-engah
berusaha menjelaskan sesuatu.
“Rumah? Kenapa dengan
rumah, Kang?” aku bertanya memperjelas.
“Kebakaran!
Rumah neng kebakaran!” jawab kang Darman jelas.
Dengan segera, hatiku
panas. Rasanya api yang berkobar di rumahku merembet membakar hatiku, kini. Aku
segera berlari. Tak perduli apapun. Kacau. Ternyata hatiku yang resah berusaha
menunjukkan kejadian ini.
Sesampainya di
depan rumah, hanya hitam dan merah yang terlihat. Rumah mungil bergaya
minimalis hangus terbakar. Aku lunglai. Nafasku sesak. Otakku panas. Mataku
nanar menyaksikan tarian api itu.
“Ibu...” aku
terperanjat teringat ibu. “Ibu, Kod. Ibu..!”
Kod yang sedari
tadi diam mengelus pundakku, ikut terperanjat. “ ya, ayo kita cari.”
“Ibu dimana,
Kod?” tanyaku.
“Iya, kita cari.
Tenanglah.”
“Bagaimana aku
bisa tenang. Kau tau Kod, dia satu-satunya hidupku. Dan kau lihat Kod, rumah
kami hangus. Tak tersisa. Kau masih menyuruh aku tenang, ketika belum
menemukannya? HAH!” Suaraku meninggi. Mataku menajam mengatakan hal itu.
“ Ya, aku tau.
Tapi bagaimanapun kau harus tenang.”
“Tenang? Kau
kembali menyuruhku tenang? Apa gunanya kau di sini, Kod? Jika hanya mengatakan
hal itu. Tenang. Tenang. Ten.....”
“Dan apa gunanya
kau di sini jika kau hanya menceracau, menyalahkan orang lain, hah?! Bukankah
lebih baik kau bergegas mencari ibumu dari pada hanya mengeluhkan nasibmu. Apakah disini hanya
kau yang merasa kacau, hah? Lihat sekitarmu, semua orang disini merasakan hal
yang sama.” Kod memotong rutukanku,
dengan nada tinggi jua. Pertama kalinya dia mengeraskan suaranya di depanku dan
kepadaku.
Aku terdiam.
Sembunyi-sembunyi mengamini perkataannya. “Kod, dimana ibu?”
“Maka dari itu,
tenanglah. Kita cari ibu. Kau harus tenang.” Perintahnya Kod, halus.
“Ya.” aku
berdiri. kembali menatap sekitar. Guyuran air dari segala sisi terus membasahi
rumahku. Teriakan warga, saut menyaut menyampaikan kekuranga ini itu. Tapi di
tengah kejadian itu, tak sedikitpun, aku melihat sosok ibu. Samar aku melihat
teh Icih. “Teh, Teh Icih..” Teriakku lantang. Yang dipanggil hanya menoleh
kekanan dan kekiri mencari suara yang memanggilnya. “Teh, teh Icih..” teriakku
lagi tak kalah lantang. Kali ini aku kumpulkan seluruh tenaga tuk
menghapirinya. “Teteh..” panggilku sambil melangkah dipapah Kodir. “Teh..”
“Neng..”
akhirnya yang dipanggil menyadari panggilanku.” Ya Alloh, neng. Kemana wae.
Neng teh ditungguin enggak dateng-dateng. Rumah neng, rumah.”
“Ya teh, rumah
habis terbakar. Tapi, yang terpenting ibu dimana teh?” tanyaku langsung.
“Ibu?” jawabnya
terkejut.
“Ya teh, ibu
dimana?” tanyaku lagi.
“Ibu...”
“Dimana teh?”
“Ibumu..”
“Dimana?!” Aku
mulai tak sabar sembari khawatir.
“Ibumu ada di
rumah bu haji.” Jawab teh Icih.
“Ya. Kita harus
kesana Kod. Ayo! Ajakku memaksa.
“Tapi...” teh
Icih kembali berbicara. Namun aku tak sedikitpun perdulikannya. Aku tarik Kod
menuju rumah bu haji yang hanya terpisah
4 rumah dari rumahku. Aku berlari
sekencang yang aku bisa. Kod, terus mengingatkanku
tuk berhati-hati. Ah, siapa yang perduli dengan nasehatnya tentang
berhati-hati. Yang terpenting saat ini adalah aku bertemu ibu. Aku terabas
kerumunan orang yang lalu lalang mengangkut air sambil terus memegangi tangan
Kod. Tiba di depan rumah bu haji, aku kembali heran, mengapa banyak ibu-ibu
yang berkumpul disini. Dan sebagian dari mereka berwajah sembab.
“Assalamualaikum..”
sapaku.
“Wa
alaikumsalam..” jawab mereka serempak.
“Neeennnggggg....”
Bu haji menghampiriku dengan tangisan. “Neng, sing sabar nyak geulis.”
Aku terpaku sesaat.
“Bu haji, kata teh Icih, ibu ada dirumah bu haji? Dimana?”
Mendengar
pertanyaanku bu haji semakin terisak. “Ibu. Ibu. Ada di dalam, Neng.”
“Alhamdulillah.”
Jawabku sedikit lega.
“Tapi...” Bu
haji membuka pembicaraan lagi.
“Tapi? Tapi
kenapa bu?” Tanyaku resah. Tak menunggu lama aku berlari ke dalam. Alunan ayat
Al-Quran yang tak asing, terdengar semakin keras. “Mengapa ada lantunan yasin?” bisikku pada
diri sendiri. Aku semakin melangkah ke dalam. Ke ruang tengah rumah bu haji. Di
mana lantunan Yasin itu berasal. Aku berdiri tercekak. Memandang lingkaran itu.
Mereka pun tertegun melihat kedatanganku. Tiba-tiba hening menyerang. Hanya
desisan angin yang terdengar dari lubang fentilasi.
“Neng....”akhirnya
ibu haji memecah keheningan ini. “Ayo kita ke ibu.”
“Ya.”jawabku
singkat. Aku berjalan mengikuti bu haji. Entah benar atau tidak, aku merasa
setiap langkahku di ikuti oleh mata para pelantun Yasin itu. Aku di ajak ke
salah satu sudut dimana ada hal yang disembunyikan dibalik samping batik warna
coklat. Siapa atau apa dibalik samping itu? Aku semakin resah. Bertanya atas
keadaan ini.
“Neng...”
panggilan bu haji menghamburkan pikiranku.
“Ya, bu..”
jawabku masih singkat.
“Neng, pernahkah
kehilangan sesuatu yang sangat dicintai?”
“Ya, pernah.”
Jawabku semakin tak mengerti mengapa ada pertanyaan itu.
“Bagaimana
rasanya?” Tanya bu
haji lagi.
“Sedih. Marah”
Jawabku.”Mengapa ibu bertanya hal tersebut? Sebenarnya apa yang terjadi?”
tanyaku melepas kecurigaan.
“Jawablah dulu.
Nah, kesedihan dan amarah itu apakah akan bertahan lama?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Selanjutnya apa
yang kau lakukan?”
“Mengikhlaskannya.”
“Nah, benar
sekali. Dan itulah yang sekarang harus kau lakukan, Neng.”
“Maksud ibu?”
tanyaku semakin tak mengerti.
“Ibulah yang
dibalik samping itu, Neng.”
“Apa.....”Rasanya
petir baru saja menyambar tubuhku. Hatiku sesak, serasa tak terisi udara
sedikitpun. Neuron di otakku seakan berhenti menjalar, sehingga hanya hitam dan
putih yang terlihat tanpa ada makna. Mulutku kaku, hanya bisa menumpahkan kata-kata
dengan air mata.”Ibu?”
“Ingatlah
tentang keikhlasan, Neng.” Bu haji mengingatkanku sambil mengulur air mata.
“Ibu..” Hanya kata
itu yang bisa terucap disela tangisanku. Aku berduka.
0 comments:
Post a Comment