Cucu Abdul Karim
Suara lembut pagi
menerpa jiwa yang sempat hilang akan semangat perjalanan. Rengekan-rengekan air
keran terus menjadi sentuhan kesegaran diawal segarnya tubuh menuju rongga
nadi. Seakan hanyut pada air mata keran yang menggenangi tubuh menaruh
kesegaran. Rambatan sinar sang mentari merasuki jendela kaca, terus membelai
kulit menebar hagat merasuk pori-pori. Mata tak berkedip terus memandang langit
dibalik jendela kamar. Hidung terus menghirup segarnya suasana merasuk rongga
jiwa. Bibir terus berhembus melepas kesegaran napas dari lubuk jasad. Telinga
terus tertelang pada setiap syair jiwa, siulan angin, nyanyian burung, dan
percakapan manusia diawal sapa pagi yang indah. Tangan mulai merangkul tas,
tumpukan buku dan sisa-sisa cemilan diatas meja gadang tugas. Kaki mulai
berpijak menata tapak menyusuri satu persatu anak tangga.
Haru terus merambat
pada setiap aliran darah. Langkah kaki terhenti seketika dihujung anak tagga. Mata
terus berbinar saat menatap kulit keriput terus dibentangkan. Warna putih pada rambut
semakin menutupi kepalanya. Seakan wanita tua ini tidak pernah lelah menunggu
cucu kesayangan turun dari kamarnya. Wanita
tua dengan baju kebaya dikenakannya, duduk bersimpu di atas kursi bersama
sarapan yang telah ia persiapkan diatas meja makan. Kursi kursi disampingnya
seakan ikut menemani dengan penuh kesungguhan. Tubuh haru berbalik perlahan
membelakangi searah 180 % dari posisi awal. Kedua tagan dengan sagat cepat
menghapus genangan airmata. menghembuskan napas penuh rasa rilexs, sekedar
menghilangkan keharuan tersimpan pada raut wajah.
“Rio kamu kebiasaan
berdiri di depan tangga, cepat sarapan! Nanti kamu terlambat sekolah” Suruh
Omah dengan suara lantang. Hanya anggukan kepala yang menjadi jawabanku. Seketika
berjalan menghampirinya. Tubuh ini kembali terpaku memandang wanita tua seakan
tidak pernah lelah memanjakan menantu dan cucunya.
“Loh malah berdiri, tidak
baik memandang Omah sampai segitunya, ayo cepat duduk!” dengan perlahan omah
berkata padaku yang terus memandanginya. Diatas meja tertata rapih sarapan
pagi. Tetapi paling membuatku senang yaitu tersajinya kueh berlapis keju.
Menggeserkan satu kursi sedikit kebelakang hingga ku duduki.
“Inikan kueh kesukaan ku ! apa omah membuatnya
?” kedua mata ini tertatap pada wajah yang sedag sibuk membereksan sajian lain
dari simbo.
“Sudah jagan banyak tanya,
buruan makan, jagan lupa diminum susunya sampai habis!” tangn kananya
mengelus-ngelus pundakku
“Omah rasanya enak
sekali ”
“Kamu itu, jagan
cepat-cepat makannya, nanti tersedak”
“ibu dimna ?” kedua
mata ini kembali menatap Omah.
“lagi di kamar ? Mbok
tolong antarkan sarapan buat non Hana!”
“biar aku saja yang
mengantar sarapan buat ibu, sekalian pamit berangkat sekolah” dengan seketika tubuh
ku berdiri tegak.
“ya sudah” senyuman
hanyat terpancar dari bibir Omah
“simbo sini sarapannya.
Biar aku yang nganterin sarapan buat Ibu” kuambil segera sarapan Ibu dari
Simbo.
Mulut penuh dengan kueh,
tangan kiri memegang segelas susu dan tangan kanan memegang sarapan buat ibu
menjadi kebiasaan di pagi hariku. Kudorong perlahan pintu kamar, selalu terbuka
sekitar 5 cm. Seringkali kulihat Ibu duduk di kursi samping ranjang tidurnya,
sambil menatap vigura kosong penuh kenangan diatas meja. Dulu ayah memberikan
vigura poto berbingkai itu ketika diakhir masa kelahiranku. Cerita Omah padaku.
“ibu ini sarapanya!
Seperti biasa disimpan dimeja. Aku berangkat sekolah dulu, ibu baik-baik
dirumah. Assalamualaikum”
Setiap kali berangkat
dan pulang sekolah, Ibu selalu terdiam saat kukecup tangan dan pipi kanannya.
Menutup kembali pintu kamar tak kurapatkan. Berat rasanya harus meninggalkan
ibu dalam keadaan kurang sehat. Meski orang-orang berkata ibuku adalah wanita
gila yang melahirkan janin berdosa dari hasil pergaulannya. Memang dimasa lalu
tingkah laku ayah ibu selalu menjadi sorotan banyak orang. Saat riak-riak
remaja menjadi pemeran utama dalam sebuah kenangan masa muda. Tetapi semuanya
merupakan kehilapan nafsu kendali ayah ibu. Masa lalu tidak seharusnya menjadi
permasalahan. Teapi masa suram itu akan menjadi sebuah gambaran serta tolak
ukur bagi perjalana hidup yang sedang Aku alami.
Wanita cupu berambut
kepang dua di kepalanya dengan kecamata bulat warna kopi yang selalu menutupi
matanya. Baju putih panjang agak longgar bersama rok rempel besar hingg menutupi
mata kakinya, menjadi ciri khas busana ibu yang terus menjadi bahan ejekan dan
gurauan teman-teman sekelasnya. Dimanapun Wanita cupu ini berada, baik di
kelas, di kantin, di perpustakaan sampai di toilet sekolah. Ia selalu menjadi
target pas untuk dijaili dan bahan penyisihan kawan sepermainan.
Arah jarum jam mengarah
pada angka 10.00 WIB. Terlihat anak-anak sudah tidak tahan ingin segera keluar
dari kelas. Tidak lama kemudian bel waktu istirahat berbunyi. Gurauan anak-anak
kelas mulai membisingi telinga. Bahkan celotehan - celotehan mulai menyapa
dengan indahnya. Mungkin salah satu keanaehan dari wanita cupu ini adalah tak
pernah menghiraukan ejekan dan siulan merdu memojokan. Hampir miripnya cuek
kali ? apa seperti angin lalu gitu ? atau dianggapnya tidak penting gitu.
Diperpustakaan wanita
cupu bertemu dengan lelaki yang sangat ia sukai. Lelaki ini menjadi banyak
idaman wanita. Namanya Rendi Sebastian alias ayah ku. Berpura-pura mencari buku
sambil berjalan menyamping kearah kanan. Satu persatu telunjuk kanannya
menyusuri buku. Tetapi matanya terus terfokus memandangi Rendi dengan penuh
penghayatan. Gimana gitu orang yang sedang kasmaran saat memandang seseorang
yang ia sukai. Tak sadar ia menyenggol tumpukan buku.
“gubrag” suara buku
terjatuh. Seluruh pasang mata yang berada di perpustakaan tertuju padanya.
“aduh” lirik kanan-kiri
sambil mengangguk-nganggukan kepala memelas malu. Segera merapihkan buku terjatuh
berantakan.
“boleh aku membantumu ?”
Ia tak menyangka kalau
Rendi akan datang menghampiri dan membantunya membereskan buku.
“oh ia” taman dihatinya mendadak penuh dengan bunga yang
tumbuh dengan seketika. Waran merah dari bunga hatinya terpancar dikedua
pipinya.
Kejadian senggol buku
diperpustakaan menjadi awal baik bagi wanita cupu. Entah apa yang terjadi
selanjutnya, sehingga wanita cupu ini semakin dekat dengan Rendi. Sering
belajar bareng, makan bareng di kantin, pokoknya dan lain lain deh.
Jam terus berputar,
waktu terus berlalu, pagi siang sore malam terus bergantian menyusuri waktu.
Rendi mengetahui kalau sebenarnya wanita cupu sangat menyukainya. Tetapi Rendi
berpura-pura tidak tahu apa-apa. Kini tiba waktunya wanita cupu mengatakan Sebuah benak sanjung terselinap dalam hatinya.
Seuntai rasa sayang menata nyaman saat berdampingan. Seiring merdunya syair
yang terucap menambah semangat pergeraknnya. Dalam sebuah janji pertemuan
ditaman perkotaan dekat kerumuna perumahan. Wanita cupu duduk manis diatas kursi.
Bunga mulai menyembunyikan keangkuhan warna. Namun harum mewangi tengah menebar
aroma pelangi pada warna yang mencolok. Sorotan mentari seolah pamit untuk
beristirahat, telah menyajikan warna kuning tertebar dilangit senja sore hari.
Rasa gugup berpadu bersama kencangnya detak jantung.
“sore hana, maaf aku
terlambat ! sudah lama menunggu ?” dengan tergesa ia datang. Duduk disamping
Hana.
“aku juga baru datag! Rendi aku, aku, aku” nada pelan
gugup, pipi memerah kelapanya menunduk kebawah.
“oh ia Han. Wanita
cantik dan manis waktu di kantin, temen sekelas kamu yah?” wajahnya menatap
lurus kedepan seolah membayangkan apa yang dikatakannya.
“yang mana?” hatinya
terkejut bersama raut muka penuh pertanyaan
“itu waktu di katin”
berpikir keras. Memetik jari tangnnya dengan sebelahmata terpejam saat ia ingat
namaya “kalau gak salah namanyah serlina !”
“oh serlina. iah temen
sekelas aku. Memangnya kenapa dengan serlina?” suara pelan menandakan rasa
patah hati. diapit kedua tagan lemas dengan jari teranyam oleh kedua pahanya.
“apa dia sudah punya
pacar ?” diarahkannya wajah penuh pertanyaan pada raut muka hana yang sedikit
tercengang
“memangnya kenapa ?”
“tidak nanya doang”
dipasanya rasa jual mahal. Kembali duduk menyamping dengan posisi tubuh tegap.
“oh, kalau gak salah
belum punya pacar” jawab polosnya sambil tertunduk lesu
“apa ? belum punya
pacar ! yes yes yes akhirnya aku punya kesempatan” berdiri sanbil lelompat satu
kali dengan diayunkannya kedua tangan terkepal, sikut ditekuk hingga membentuk
75%. “Han. bisa bantu aku untuk bilang pada serlina, Kalau aku sangat
menyukainya!”
Satu persatu kelopak
bunga hatinya berjatuhan. Senja sorehar taidak lagi terlihat indah. “apa kamu
menyukainya ?” begitu polosnya wanita cupu ini menanyakan hal yang meras patut
ia tayakan.
“sudah lama aku
memperhatikanya han!”
Musik melau menjadi
pengiring hati yang sedang galau. Pelangi yang telah lama menyelimuti hati
berubah sekejap menjadi hitam kelabu. Gadis cupu terlalu berharap atas hati menggejolak.
Kasih tak sampai, cinta bertepuk sebelah tangan menjadi tema utama sang pemilik
hati. Lesu terus terasa disetiap persendian. Sore hari yang indah seakan
tenggelam dalam gelapnya malam. Begitu juga dengan malam terus tersingkirkan
oleh efek warna kuning yang merambat dari pusat tata surya timur.
Kokokan ayam selalu
menyapa mentari mengintip bumi dari upuk timur. Kabut pekat renta untuk dilihat
mulai memudar. Ranting ranting menggigil mulai menghangatkan batang tubuhnya
dengan sinar mentari. Bunga-bunga bermekaran ditaman mulai mengangulkan warna
identiknya. Nyanyian burung terus menggericik melompati tangkai dan dahan
pohon. Kokokan ayam, kabut pekat, ranting menggigil, nyanyian burung telah
berpadu dalam suasana pagi tidak lagi terasa segar.
Diatas meja gadang kamar. Disamping rak buku, bersebelahan
dengan tempat pensil berdiri tegak. Jam beker membisikan waktu pukul 06.30 Wib.
Henpon Genggam terus membisingi ruang kamar. Nada dring berkali kali berbunyi seakan
meminta untuk menekan warna hijau tanda jawaban panggilan. Gadis cupu serentak
bangun dari ranjang mimpinya. Kedua kakinya terselunjur kebawah. Cermin besar ukuran
satu kali satu meter berada tepat dihadapanya. Kepala tertunduk lesu menengadah.
terlihat dirinya berada dicermin seperti singga bangun tidur. Berpikir keras, cowok
mana yang mau padanya bila ia terus menjadi sosok wanita cupu. Seketika ia mulai
mengubah semua tentang gaya dirinya. Kepangan rambutnya diuraikan. Kecamata
coklat dilepaskan. Busana nora ia simpan dengan rapih. Mata berlensa, bibir
seksi gemilau lip glos, bulu mata tebal maskara, pelipis mata terulas ailiner.
Cantik sempurna menjadi julukan barunya. Kata bimsalabim seolah mengubah semua takdir
cupu lamanya. Pesonanya menghipnotis beribu-ribu pasang mata. Cerita bebek
buruk rupa seolah menjadi ending kisah sekarang.
Dibawah pohon besar
taman sekolah. Berbaris bunga-bunga tampa sentuhan para pekerja. Daun-daun
kering menjadikan suasana terasa sejuk. Ranting kecil yang berserakan diakar
pohon terlihat menawan. Terbaring kursi panjang terbuat dari bambu. Hana duduk
menyendiri sambil membaca novel yang dipinjamnya dari perpustakaan. Satu persatu
lebar kertas ia buka dengan perlahan.
“hey, Aku cari kamu
kemana-mana tidak ada. ternyata kamu di sini ! lagi ngapain ?” tanya rendi mengagetkan
Hana. Tangn kiri rendi menyampai dipundak sebelah kananny. Seketika Hana
melirik penuh rasa kaget. Perlahan menjawab pertanyaan Rendi.
“aku tadi pergi
keperpustakaan pinjem novel. rasaya ingin membaca di tempat yang sejuk. Jadi
pergi ketaman” wajah nya kembaili menatap buku yang dipegannya
“memang disini
suasananya sejuk ! boleh aku duduk ?” berkata sambil duduk di kursi
“Duduk aja, tidak ada
yang melarang” liriknya pada Rendi bersama senyuman manisnya.
“kamu bisa aja. Han ? eeh,
gimana yah bilangnya” tangn kiri menggaruk dikepalanya.
“bilag apa ?” tanya
replek Hana. Mata tetap terpokus pada buku bacannya
“huh (suara hembusan
napas) nanti malam kamu ada acara ga ?” dihujung kata suaranya semakin pelan. sedikit
aga tahan harga. Badan tegap seperti tidak mengatakan apapun.
“oh. sejak kapan ada
cowok yang mau sama cewe kaya aku. Cewek nora, kampungan lagi. dan sejak kapan
aku punya acara di malam hari ?” ucap merendahkan dirinya dengan tertunduk
“engga mastiin aja!!! Boleh
gak Nanti malam jam 7 aku jemput kamu ? ” kakinya terus diayunkan. Seolah
tampak mau mengatakanya.
“emag mau kemana?” terheran
dengan kata kata rendi
“pokonya kamu siap-siap
aja. Nanti aku jemput Ok” keketika sikapnya begitu tenang
“eeh” berpikir dengan
kepala aga menengak menyamping kekanan
“ayo lah Han, kali ini
aja ” turun dari kursi panjag, jongkok dihadapan hana sambil merangkul tagan
yang sedang memegang novel bacaannya. Memasang raut wajah penuh permohona
“eeh, oke deh”
Saat tangan tak lagi
merangkul harapan hampa, ia menoba merangkul sebuah usaha. saat kasih tak
tersampaikan, ia utarakan dalam bingkisan angin yang membisik. Ketika pandangan
terlalu kuat akan sosok diri, maka raga hendaklah menata diri dalam sebuah
keindahan. cerminan diri telah menata gaya hidupnya. Kasih tak sampai tidak
lagi bertepuk sebelah tangan. Pertemuan malam ini mangungkap sebuah utara hati
yang terlalu lama terdiam dalam sosok cupu lamanya. Lirik mata sang pujaan hati
dulu selalu menatap pujian lain. Tetapi kali ini sang pujaan hati terlalu pokus
memandangi puisi terindah yang lama terabaikan. seperti sebuah ibarat, sekali
mendayung dua pulau terlampaui.
Lama memadu sanjung,
rapat membelai kasih, senada bertindak bersama setiap kali menjalani
keseharian. Dua sejoli ini seringkali menjadi tatapan iri anak-anak sebayanya.
Kebersamaan mereka terus berlanjut seakan tidak mungkin untuk dipisahkan.
Hingga mereka lulus dari sekolah SMA dan masuk keperguruan tinggi.
0 comments:
Post a Comment