Kain Kafanpun Tak Mampu Bercerita

Kain Kafanpun Tak Mampu Bercerita 
Nurhayati

Pagi itu ketika embun menyapa rumput basah bekas hujan semalam, menyampaikan pesan lewat angin. Mengalunkan ­melodi tanpa isyarat. Seolah fajar telah lari dengan segenggam rindu.
Aku terbangun. Rupanya surya telah menunggu di balik jendela. Kulihat jam angry bird yang tergantung di dinding kamar menunjukan 06:00 WIB. Segera bergegas mandi dan siap-siap berangkat sekolah. Terdengar di luar kamar iyot memanggil lantang, “Anung... Anung... cepat sarapan...”. “Iya Yot...’ jawabku sambil teriak. Sementara itu, aku masih sibuk memasang bedak dan lipstik merah muda di bibir sambil kumainkan nakal.
Sarapan sudah siap. Sepertinya iyot menyiapkannya sebelum adzan subuh. Luar biasa. Masakannya memang lezat. Tiada duanya. Memanjakan lidah dengan seribu cinta yang dihidangkan dalam meja makan. Meski kita hanya keluarga kecil.
Iyot, nenek paling tangguh. Hidupnya hanya dihabiskan untuk merawatku. Rambutnyapun sudah memutih dan kulitnya semakin keriput. Usianya tak muda lagi. Sudah banyak makan asam garam kehidupan. 
“Anung, buat apa kau pakai gincu? Mau sekolah apa mau main-main saja?” omelnya sambil mengantarku ke depan pintu. “Ah..Iyot, kan biar terlihat cantik..” jawabku membela diri. “Terserah kau saja,, yang penting belajar yang serius.”
Pagi ini jalan terasa sepi. Handphone pun tak berdering. Hanya sehelai daun yang terlihat di pinggir jalan. Angkotpun tak ada. “Sepertinya, hari ini harus jalan kaki saja. Tapi, kenapa teman-teman tidak kirim sms pagi ini? Aneh sekali.” Menggerutu sepanjang jalan menuju sekolah.
***
Sekolah masih sepi. Belum banyak yang datang. Padahal waktu sudah siang. Meja dan kursi masih berdebu, belum terjamah sedikitpun. Sesekali merasa heran. Pagi ini serasa janggal. Tak ada sms ataupun telepon. Tapi, sudah lah. Lebih baik bersihkan kelas saja. Hari ini giliranku piket kelas.
Masih tersisa goresan spidol di papan tulis white board dan beberapa sampah yang berserakan di lantai. Kusapu dan menghapusnya. Tak lama Tita datang. Namun dia tak bicara sepatah katapun. Aku hanya bergumam.
“Hai Tita.....” Kusapa lembut. Tita hanya tersenyum masam. Seolah marah padaku. “Aku sudah membersihkan ruangan kelas. Papan tulispun sudah bersih. Sampah sudah kubuang.” Sambungku lagi. “Oh.. iya aku melihatnya.” Jawabnya datar.
Pagi ini membuatku tak berdaya. Merajamku tanpa ragu. Hancur berkeping. Andai  kupunya indra keenam. Pasti sekarang tak seperti ini. Ingin rasanya pergi melarikan diri saja.
“Ta, kenapa berangkatnya sendiri? Kemana Eca dan Omah?” tanyaku memberanikan diri. “Mau sendiri aja. Gak tau...” jawabnya ketus.
Kejanggalan semakin membebaniku. Apalagi, Tita sahabat karibku seperti marah. Tapi, apa masalahnya? Hanya mampu menggerutu dalam hati saja. tak mungkin ada api kalau tak ada asap. Positive thinking.
***
Hari sudah sore. Bel sekolah sudah berdering. Semua siswa bergegas pulang. Namun, pintu kelas seketika terkunci dari luar, padahal aku masih di dalam. Ah... ada apa ini? Berusaha teriak agar ada yang berkenan membukanya. Sepertinya semuanya sudah pulang.
Pikiran kalut tak berarah. Sesekali menyeka keringat yang berkucur karena cuaca panas. Makeup sudah luntur. Apalagi baju. Bau kecut. Tapi, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Aku segera mendekati pintu yang terbuka dan terlihat seember air mengguyur seluruh tubuhku. Dua butir telur meletus di atas kepalaku. Tepung terigu juga ikut menghantam. Hari ini ulang tahunku. Rupanya mereka sudah merencanakannya. Terlihat dibalik kerumunan orang, Tita membawa sebuah blackforrest dengan lilin angka 18.
“Maaf, aku tak bermaksud marah padamu. Tapi, sekali-sekali bolehkan seperti ini? Kita ingin membuat pesta kejutan untukmu. Eca dan Omah segaja tak sms, gak serukan kalau kita baik hari ini?” ucap Titat sembari menyodorkan kue. Aku menangis terharu “Kalian, membuatku mati kutu. Rasanya ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku tak bisa kalau berselisih seperti tadi. Jangan ulangi lagi. Meski hanyabercanda.” .
Iya... hari ini ulang tahunku. Aku tak menyadarinya. Usiaku sudah tak muda lagi. Pesta kejutan yang luar biasa. Kupeluk sahabat-sahabatku. Tapi, hatiku masih sedih. Masih ada kabut yang singgah. Entah apa itu.
***
“Assalamualaikum, Yot. Aku pulang.” teriakku sambil membuka pintu. Iyot tak menjawab. Rupanya dia tak ada di rumah.
Segera bergegas mandi membersihkan sisa-sisa telur yang mengotori baju dan tubuhku. Sungguh bau amis. Telur-telur ini membuatku mual.
10 menit sudah sejak aku pulang sekolah. Namun Iyot tak kunjung pulang. Aku pergi mencarinya. menghampiri satu rumah ke rumah lain yang biasa Iyot datangi. Tapi tiada satu orangpun yang melihatnya. Iyot tak datang ke rumah mereka. Ah.... dimana Iyot. Membuatku hawatir.
Handphoneku berdering. Ternyata ada sms.
“Kau dimana? Aku di rumah. Cepatlah pulang”
Itu pesan dari iyot. Aku segera pulang. 5 menit aku tiba di rumah. Iyot sedang duduk di kursi. Menungguku. Tiba-tiba dia berbicara serius. “Cepatlah duduk. Aku ingin bicara denganmu.”. Aku duduk sambil bertanya-tanya dalam hati “Ada apa? perasaanku gak enak.”.
Dia menatap tajam. Membekukan darah yang mengalir dalam tubuhku dan suasana seketika panas. Aku kehausan.
“Kau harus ke pesantren, Anung. Ibumu menyuruhmu belajar ilmu agama. Hidupmu harus seimbang. Jangan hanya mengejar duniawi saja. Sedangkan kau tambah dewasa. Usiamu tak muda lagi. Ibumu takut kau terlibat pergaulan bebas. Ini semua untuk kebaikanmu juga.”
Sekarang, aku merasa seperti tersambar petir disiang bolong. “Yang benar saja, Yot. Apa Iyot kira, aku anak nakal. Bukankah kau tau bagaimana aku, Yot?”
“Jangan salah faham dulu, Nung.” Iyot berusaha menenangkanku.
Aku langsung pergi meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Aku marah dan membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Saat ini, Iyot menjadi musuh dalam hidupku. Dengan rasa kesal, aku menggerutu sendiri dalam kamar. “Harusnya sekarang menjadi hari istimewa untukku. Apa Iyot tak tahu sekarang ulang tahunku? Apalagi Ibu. Jangankan ingat, dia selalu mengingkari janjinya. Katanya, mau pulang tahun ini. Nyatanya di undur lagi. Sudahlah.”
4 jam aku mengurung diri di kamar. Tak sekalipun Iyot datang. Kesal sekali. Lama-lama, aku merasa tak enak badan. Kepalaku terasa berat dan ingin sekali membenturkannya ke dinding. Tubuhku panas seketika. Mungkin, ini efek di guyur tadi siang di kelas. Ah.. benar saja. guyur-mengguyur sudah jadi budaya saat ada yang ulang tahun. Tapi, justru membuatku sakit. Ini bukan pesta kejutan. Tapi siksaan.
Pagipun tiba. Aku masih sakit. Namun Iyot tak mengetahuinya dan tak lama Iyot mengetuk pintu. Namun tak kuhiraukan. “Tok... Tok.. Tok... buka pintunya, Anung. Kau harus sekolah.”.
Sekalipin tak kujawab. Karena aku masih kesal. Badanpun masih demam. Tak ada tenaga yang tersisa. Hanya ingin tidur saja. Meski perut terasa lapar. Iya, sejak kemarin pulang sekolah belum makan. Tak lama, pintu kamar terbuka. Ternyata iyot mencungkil pintunya dari luar. Iyot pun terkejut. Langsung memegang kepalaku.
“Keningmu panas sekali. Badanmu juga panas. Sejak semalam kau demam? Kenapa tak bicara?” Tanyanya menunjukan kasih sayang dan kepeduliannya. Namun, aku bersikeras tak menghiraukannya. “Kau masih marah? Tapi, itu sudah menjadi keputusan ibumu. Kau tak bisa menolaknya. Bahkan, harusnya hari ini kau berangkat ke pesantren. Meski sekarang kau sedang demam, tapi kau harus berangkat. Di sana juga ada dokter pesantren.” Iyot meyakinkanku tuk tetap berangkat ke pesantren.
“Apa Iyot tak melihat keadaanku sekarang? Aku sedang sakit. Aku tak mau ke pesantren.”
Iyot bersikeras membawaku ke pesantren. Aku sungguh kesal.
***
Tubuh menggigil kedinginan dan kepala panas. Demam tinggi. Namun aku tetap ke pesantren. Iyot sungguh kejam. “Kau tetap harus tinggal di sini. Dokter pesantren akan memeriksamu. Aku akan tinggal di sini untuk beberapa hari selama kau masih sakit.” Ucap iyot meyakinkan. Sambil berbaring di kamar pondok “Tak usah. Lebih baik Iyot pulang saja. Biarpun aku mati, aku tak mau bertemu denganmu. Sekarang, tak ada yang kupedulika lagi. Aku hanya akan pergi sekolah. Tak sudi jika harus bergabung apalagi mengaji di sini.” Jawabku marah.
Iyot hanya menangis. Aku menyakiti perasaannya. Tapi, saat ini aku ak peduli. Demam tinggi pun iyot tak kasian padaku. Hari-hariku akan dihabiskan di pesantren ini. Ah... tidak. Aku tak mau bergabung dengan mereka. Aku tak akan keluar kamar.
Hingga hari ketujuh aku tak keluar kamar. Meski kesehatanku telah pulih. Bahkan pimpinan pondok berulangkali mendatangiku. Aku tetap saja diam. Teman sekamarpun merasa sungkan menegur apalagi mengajak ngaji. Aku hanya berangkat sekolah saja. habis itu, ke kamar lagi. Aku tak menghiraukan pesantren ini. Memang aku tak punya perasaan. Rasaku sudah mati sebelum tinggal di sini. Iyot yang membuatku seperti ini.
Sepekan ini, aku menjadi bahan pergunjingan sepesantren. Mungkin, karena aku tak bergaul ataupun mengaji dengan mereka.
***
Waktu bergulir begitu cepat. Memenjarakanku dalam ruang yang tak kuinginkan. Aku tak bisa bernafas. Keadaan ini membuatku tak berdaya. Aku hanya pasrah. Hingga saat inipun hubunganku dan Iyot masih renggang. Semuanya takkan berubah selama aku masih di sini.
Lagi-lagi pimpinan pondok mendatangiku. Kali ini, dia datang dengan ekspresi tak bersemangat dan memperlihatkan kesedihan. Ada apa gerangan?
“Sudah 2 minggu kau di sini. Belum juga bergabung dengan kami. Sebagai pimpinan pondok, aku tak bisa diam saja. banyak santri yang protes. Aku harus berbuat adil. Tapi untuk sekarang ini, kubiarkan kau pulang. segera kemasi barang-barangmu.”. Mendengar perkataannya membuatku bertanya-tanya. Perasaanku tak enak. Mengapa tiba-tiba menyuruhku pulang? “Saya minta maaf. Tapi, mengapa ustadz menyuruhku pulang? Apa saya sudah bebas? Saya tak perlu datang ke pondok lagi?” tanyaku penasaran.
Tak sedikitpun dia memberikan alasan. Segera kukemasi barang-barang dan bergegas pulang. Semua santri memperhatikan setiap langkahku.mereka menatapku tajam. Aku tak peduli.
Perjalanan dari pondok ke rumah tak memakan waktu lama. Hanya satu jam saja. Bus yang kutumpangi berhenti di perempatan jalan. Aku segera berlari menuju rumah.
Namun, ketika sampai rumah banyak orang yang mengenakan baju hitam dan mereka menangis. Sekejap saja mereka langsung melihat ke arahku dengan air mata di pipi. Aku terus berjalan dan ada seorang kerabat yang menghampiri. “Iyotmu meninggal tadi pagi.”
Mendengar ucapannya, tasku terjatuh. Tangan ini tak bertenaga tuk menggenggamnya. Air matapun tak kuasa terjatuh di pipi. Aku segera masuk, ternyata benar. Di ruang tamu itu, terlihat seseorang yang sedang tertidur pulas ditutupi kain panjang dan sudah terbalut kain kafan. Dia Iyotku. Nenek yang 2 minggu ini kubenci. Sungguh tak kusangka. Aku menyesalinya. Mengapa aku harus membencinya. Aku telah mendurhakainya. Apa ini maksudnya? Dia tak mampu merawatku. Karena dia sudah tau akan mati. Apa yang harus kulakukan? Bahkan, kain kafanpun tak mampu bercerita.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net