Setibanya dibekas rumah itu, segeralah
ku masuk ruang bawah tanah. Tanpa sengaja kutemukan buku harian ibu sewaktu
muda. Ku baca setiap lembarannya dan kutemukan fotonya bersama bu Sulastri ibu
angkatku, rahasia ibu sewaktu muda pun mulai terungkap.
▪▪▪
20 tahun
yang lalu.
Aku memiliki seorang sahabat yang
begitu baik, selalu menolongku. Kita memang selalu bersama sejak SMP dan kita
sepakat untuk masuk SMA yang sama. Pokoknya kita selalu bersama. Namun satu hal yang kita
pantangkan yakni menyukai pria yang sama.
Hingga saatnya ku bertemu dengan Fikri
Amirullah. Dia tak pernah membeda-bedakan teman. Dia pun memperlakukanku dengan hormat. Tak seperti yang lainnya,
selalu menghinaku dan menyepelekan. Memang aku ini orang miskin. Tapi dia itu
lain, sepertinya semua kebaikan ada pada dirinya. Layaknya malaikat, tak
sekalipun dia membuatku marah. Namun sayang, sahabatku Sulastri lebih dulu
bertemu dengannya. Sehingga jatuh cinta pada pandangan pertama telah ia rasakan
padanya. Aku terlambat. Sulastri selalu menceritakan Fikri padaku. Sedangkan
aku hanya memendam dalam hati.
Tibalah suatu kesempatan untuk duduk
berdua dengannya, ya hanya berdua. Dia menatap mataku dengan tatapan marah. Aku
merasa heran. Dosa apakah yang telah kuperbuat padanya? Dan saat itu ku tak
mampu berbicara apapun. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutku.
Perasaanku mulai buyar. Hanya menatapku dengan penuh emosi yang dia lakukan
saat itu. Akhirnya ku beranikan untuk bertanya padanya.
“ada apa?” tanyaku gugup.
Dia hanya dian dan menatap mataku tajam.
“Apa suatu hal yang ingin kamu
sampaikan padaku?”
Dia tak menghiraukan ucapanku. Dia
langsung pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya. Aku semakin heran. Apakah
maksud dari tatapannya itu? Apakah dia membenciku? Tapi mengapa dia membenciku?
Esokan harinya kudapatkan dia sedang
bersendagurau di depan kelas dengan Sulastri. Begitu akrab. Diam-diam ku
menguping perbincangan mereka. Mengejutkan sekali, mereka sedang membicarakan
aku. Aku hanya bisa menguping saja.
“Tri, tidakkah
kau merasa aneh pada Fatimah?” tanya Fikri.
“Memangnya
kenapa? Biasa saja kok.”
“Dia
seolah-olah menjauhi kita.”
“bukan kita
tapi kamu, Fik.”
“Maksud kamu?”
“Tidak,,, aku
bercanda.. heheee”
“ah kukira kau
serius..” tanggapnya kesal.
Dibalik dinding, ku menangis tersedu. Ingin
rasanya ku menghampiri mereka dan mengatakan kalau aku mencintai Fikri. Akan
tetapi, ku tak dapat melakukan itu. Sulastri Sahabatku sangat menyukai Fikri.
Biar saja aku yang menjauh dan meleburkan rasa ini.
▪▪▪
Aku sangat terharu membaca buku harian ibu,
dia sangat menyayangi sahabatnya. Ya dia Sulastri ibu angkatku. Mereka
bersahabat sewaktu muda. Bahkan, demi menjaga persahabatannya dia rela
mengorbankan perasaannya sendiri.
Tak terasa hari mulai gelap, senjapun
hadir sembari tersenyum merekah kemerahan. Hujan masih mengguyur kota. Aku
beranjak pergi ditemani sebuah payung yang mampu menjagaku dari guyuran hujan dan
tak lupa kukantongi buku harian itu, karena tak mungkin aku selesaikan
membacanya sekarang, kutakut kemalaman.
Setibanya di rumah kak Fazar telah
menungguku di depan pintu. Dia memasang wajah marah. Namun tak satu patah
katapun yang terucap darinya. aku pun segera lari ke dalam kamar dan
kutinggalkan payung di depannya. Saat teringat tatapannya tadi, ku teringat
cerita ibu saat Fikri menatapnya dengan penuh amarah. Disamping itu, aku tak
mengerti mengapa Kak Fazar terlihat marah padaku. Apa dia masih ingat dengan
kejadian tempo hari? Saat aku pergi meninggalkannya di pekarangan rumah? Entah
lah.
Tibalah saat makan malam, namun aku tak
bergabung dengan ibu dan Kak Fazar. Aku asyik melanjutkan membaca buku harian ibu. Saat asyik membaca
buku, ku dengar ibu berbincang dengan Kak Fazar. Ku buka pintu dan ku duduk di
tangga dekat kamarku untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
“Sepertinya aku akan berangkat besok,
bu” ujar kak Fazar.
“Oh begitu, memangnya sidang sekripsimu
kapan, Zar?”
“Senin depan, bu.”
“Namun, ku harus membereskan
administrasinya sebelum sidang”
“Oh, ya terserah kamu jika itu keputusanmu
untuk berangakat besok.”
“Tapi, sudahkah kamu bicara pada
adikmu? Dia sangat kecewa jika kamu tak bicara padanya terlebih dahulu..”
“Belum, bu”
“Tadinya, aku ingin bicara padanya sekarang. Tapi sepertinya dia kecapean”
“Memangnya seharian ini adikmu pergi kemana? Ibu tak melihatnya.”
“Fazar gak tahu,. Saat aku mau
bertanya, dia langsung lari ke kamar. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan.”
Sambil melihatku yang duduk di tangga, sepertinya sejak awal dia tahu kalau aku
nguping pembicaraan mereka.
Aku hanya diam dan pelan-pelan pergi ke
kamar. Tak ku sadari Kak Fazar membuntuti
dan memanggilku.
“Dek...” panggilnya..
Kumenoleh ke arahnya “Iya Kak.”
Dia menghampiriku dan mengjakku duduk
di kursi samping kamarku.
“Mengapa kau tak ikut makan
malam?” tanyanya ketus.
“Aku gak lapar, Kak”
“oh begitu, memangnya kau habis dari
mana seharian ini?” tanyanya menyelidik.
“Aku,, a..a..aku..” jawabku
terpatah-patah gugup.
“jawab, dek. Jangan bohong.”
“ya, walaupun aku hanya kakak angkatmu,
tidakkah kau sedikitpun menaruh percaya padaku? Bukannya waktu itu kau bilang
akan menceritakannya padaku?”
“Bukan seperti itu, hanya saja aku
belum bisa cerita sekarang. Karena aku saja belum tahu apa yang ku hadapi saat
ini. Tapi aku janji, suatu saat nanti akan bicara padamu. Berikan aku waktu
untuk memecahkannya sendiri, kak”
“Baiklah jika itu keputusanmu. Yang
jelas, besok pagi aku berangkat. Aku harap, kau bisa bangun pagi.”
“Ku usahakan,
Kak”
“Makasih, lekas
istirahat. Sepertinya kau kecapean”
“Iya” sambil ku
anggukkan kepala dan beranjak ke kamar.
Ku lanjutkan kembali membaca buku
harian itu. Ku jamahi setiap lembarnya. Ku temukan pada lembaran-lembaran akhir
cerita tentang seorang pernikahan Ibu Sulastri dan Fikri.
▪▪▪
Selama ini mereka tak mengetahui
perasaanku terhadap Fikri, termasuk dia sendiri. Fikri tak pernah menyadarinya.
Hingga saatnya, mereka berdua menikah setelah lulus sekolah. Aku sangat sakit
hati. Namun, biar kusimpan semua rasa ini. Biarkan semuanya hilang. Kebahagiaan
Sulastri juga kebahagiaanku. Sulastri tak salah. Dia berani mengungkapkan
perasaannya. Sedangkan aku hanya diam dan melihat Fikri dari kejauhan.
Setahun mereka menikah, akhirnya
dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Fania namanya. Sedangkan aku
belum menikah dengan siapapun. Tak ada seorang lelakipun yang dapat memikat
hatiku. Hingga saat inipun tetap Fikri yang menempati hatiku.
Ibu mulai resah dengan tingkahku yang
tak acuh terhadap lelaki. Semua lelaki yang melamar segera ku tolak. Akhirnya
dia menjodohkanku dengan seorang lelaki dewasa yang terpaut 10 tahun di atasku.
Aku pasrah menerima perjodohan itu. Aku tak mampu menolak perintah ibu. rupanya
lelaki tua itu telah mengiming-imingi harta yang melimpah sehingga ibu tergiur.
Kitapun menikah sirih di usiaku yang ke 24.
Pernikahan kami baru berusia 1 tahun
dan aku telah mengandung 7 bulan. Aku
tak menginginkan janin ini. Aku sangat membencinya. Ingin rasanya aku
menggugurkan kandungan ini. Karena janin ini membuatku menderita. Karena janin
ini mengingatkanku pada lelaki bajingan yang meninggalkanku dalam keadaan hamil
muda. Ternyata dia sudah memiliki seorang istri dan anak laki-laki yang sudah
berusia 4 tahun. Dia membodohi keluargaku.
Dari situ penderitaan keluargaku
dimulai. Kini aku harus menunggu bayi ini lahir dan mengurusnya seorang diri.
Karena Jafar, lelaki bajingan itu meninggalkanku tanpa uang sepeserpun.
Bertahun-tahun aku hidup menderita. Ibu jatuh sakit dan meninggal dengan hati
terluka melihat keadaanku.
Menginjak kandungan 8 bulan, Fikri
hadir kembali dalam kehidupanku. Saat itu, kita tak sengaja bertemu. Aku sedang
mengemis di lampu merah. Rupanya dia mengenaliku. Segeralah dia mengajakku
masuk kedalam mobilnya. Ia pun terkaget-kaget melihat keadaanku.
“Mengapa kamu mengemis dijalanan? Bukankah
kau sedang hamil?”
“Aku terpaksa melakukan ini, suamiku
telah meninggalkanku dalam keadaan hamil dan aku tak tahu lagi harus bagaimana
untuk bertahan hidup. Sementara itu ibuku sudah meninggal. Kini ku jatuh miskin
karena lelaki bajingan itu.
Mendengar pernyataanku, dia merasa
kasihan. Hingga keesokan harinya dia menemuiku dijalanan. Dia melamarku dan
menikahiku. Ya walaupun menikah sirih, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menikah
dengannya, meski ku tahu dia menikahiku karena merasa kasihan.
Tak lama dari itu, aku melahirkan
seorang anak perempuan. Ku beri nama Faihatun yang entah apa artinya. Aku tak
peduli. Karena dia telah membuat hidupku sengsara. Terlebih lagi setelah anak
itu lahir, Fikri meninggal dunia saat menuju rumahku. Ya.. dia memberikanku
sebuah rumah kecil yang layak huni. Ketika itu, kebencianku bertambah besar
pada anak itu. Meskipun Fikri sudah meninggal, dia membuatkanku sebuah warung
kecil untuk menyambung hidupku kelak.
▪▪▪
Catatan harian ibu hanya cukup sampai
disitu saja. Tidakkah ibu menuliskan, bahwa ibu menyayangiku? Mengapa aku
menjadi korban? Aku sangat menyayangimu. Sakit rasanya ketika membaca tulisan
itu. Seakan hatiku remuk tergilas setum. Aku diibaratkan kotoran yang begitu
menjijikan sehingga kau tak mau mempedulikanku.
Pantas saja bu, kau mau menikahkanku
dengan lelaki pilihanmu. Kau tak pernah mempedulikan perasaanku. Karena diriku
tak berarti bagimu. Tapi betapapun kau membenciku, aku selalu mendoakan yang
terbaik untukmu. Aku berharap kau diterima disisiNya. Aku berjanji akan mencari
lelaki pilihanmu itu. Semoga saja, dengan aku menikah dengannya kau bisa
menyadari betapa aku menyayangimu. Hidupku pun kan kuberikan untukmu.
Akhirnya jawaban kedua pun telah ku
peroleh. Ayahku seoerang bajingan yang telah membuatmu menderita sehingga kau
membenciku. Mulai serkarang, aku takkan mencarinya lagi. Aku tak mau sakit hati
yang kedua kalinya. Tak ada lagi air mata yang mengharapkannya datang dan aku
akan membuktikan padanya, cukup ini air mata terakhir. Aku bisa hidup tanpa kau
lelaki bajingan.
0 comments:
Post a Comment