Aku
teringat tarian api enam tahun silam. Menghanguskan semua harta bendaku.
Termasuk ibu. Peristiwa itu mengguncang jiwaku. Menelantarkanku. Butuh waktu
lama ntuk bangkit. Karena, kaat itu hujan menghardik dengan keras. Tak pandang
bulu.
Tiba-tiba
aku teringat Kod. Sahabat SMA. Setelah peristiwa itu, kita tak lagi bertemu.
Bagaimana dia sekarang? Masihkah ingat padaku? Enatah lah.
▪▪▪
“Fai, ibu mau ke kantor dulu. Pasti
pulangnya malam.”
“Iya, bu. Lagian, hari ini aku mau
ziarah ke makam ibu. Sekalian mau lihat-lihat bekas peristiwa itu.”
“Ya sudah, minta saja sama pak Maman
tuk mengantar. Biar ibu naik tasi.”
“Gak usah, bu. Fai akan naik mobil umum
dari terminal. Kemungkinan disana nginep, kan perjalanannya jauh. Tujuh jam.”
“oh ya?... terus kapan pulangnya?”
“mungun seminggu disana, bu.”
“Baik lah, nginep saja di hotel. Fai
pegang ATM kan? Ambil saja uang dari sana”
“Iya, bu.”
“Tapi, kakakmu kan pulang besok dari
USA.”
Mendengar kak Zar kan pulang, rasanya
hatiku bahagia. Ternyata aku masih memendam rasa. “Oh.. ya? Mmmmppp..”
“gak apa-apa. Pasti kakakmu ngerti.”
Rindu enam tahun lau masih tersimpan
dalam kedung hatiku. Padahal selama ini bersusah payah tuk melupakannya.
Bahkan, aku selalu menghindar ketika ia pulang.
Untung lah, sekarang aku mau ziarah ke makam ibu. jadi aku tak perlu
mencari-cari alasan tuk menghindar.
Gerimis di luar menderas.
Aku segera berkemas. Tak banyak barang
yang ku bawa. Hanya seperlunya saja. Tak sengaja album foto ibu terjatuh di
lantai dekat pintu kamar. Lekas kuambil. Namun, tak disangka seseorang telah
berada di dekatnya. Ya, kak Zar. Ia mengambilnya.
“Berikan itu padaku, kak.”
Ia tak menjawabnya. Hanya tatapan tajam
yang ia perlihatkan padaku. Seperti ingin marah. Namun, berusaha meredamnya.
“Kak, berikan padaku. Aku buru-buru.”
Desakku pelan.
Dengan memasang wajah masam dan tatapan
tajam ia mengeluarkan keluh kesahnya. “Memangnya kau mau kemana, dek? Apa
sengaja kau menghindariku lagi? Cukup, dek. Berikan kesempatan kakak tuk
bicara.” Sambil menyimpan kopernya di dekat meja belajar, ia melangkah ke
arahku. “dulu kau bilang, kau mengharapkan rinduku. Tapi, belum sempatku
sampaikan padamu, kau selalu menghindar.”
“Setop, kak. Jangan melangkah. Aku
terburu-buru.” Tak menghiraukannya. Aku segera pergi keluar kamar dengan tas
besar ditanganku berisi pakaian ganti tuk disana.
Namun dia mengikutiku. “Aku ikut
denganmu, dek”
“Gak bisa, kak.”
Terus saja dia mengikutiku hingga
beranda rumah. “Tak mungkin kau berangkat sekarang. Hujan sangat deras.”
“tapi, kak”
“Dek, tolong dengarkan kakak. Hujan
sangat deras. Bahaya jika kau berangkat sekarang” Bentaknya.
Aku tak bisa menolaknya. Belum pernah
ia membentakku. Hanya kali ini saja. “Baik lah, kak. Adekmu yang manja ini
gakkan berangkat searang. Sudah jangan marah.”
Godaku tuk meredam amarah kak Zar.
“Kau ini, bisa saja menggodaku.”
Kami segera masuk rumah. Seperti biasa
ia tidur di kamarku tuk merehatkan tubuhnya. Sementara itu, aku sibuk
berselancar di dunia maya.
“Dek, lagi facebookan yah?”
“Iya, kak. Oh yah, nama facebook kakak apa? Biar aku add.”
“Kakak gak punya akun facebook.”
“Ah kakak gak gaul..” ledekku..
“Memangnya gaul harus pakai facebook?”
“enggak sih, tapi kan...” ku tak
melanjutkan kalimatku Karena melihat kak Zar sudah terlelap tidur. “Kebiasaan.”
▪▪▪
Dua belas jam kemudian.
Hujan masih membungkus gedong kami. Kak
Zar masih tertidur pulas. Sesekali ia terbangun tuk pergi ke kamar mandi.
Maklum saja, dia kecapean setelah menempuh perjalanan panjang dari USA.
Sementara itu, aku masih asyik bergelut di jejaring sosial.
Secangkir kopi panas dan biskuit ubi
kesukaanku menemaniku berselancar. Selalu lupa waktu ketika si penemuan Mark Zuckerberg ini hadir di tengah
kehidupanku. Rupanya Seorang
24 tahun dengan harta 13,5 Triliun berhasil menghipnotisku. Jelas saja, dengan menjelajah facebook
aku bisa menemukan teman-teman baru. Seperti yang saat ini aku lakukan.
Dari tadi, aku sibuk chatting
dengan orang yang mengaku Kodir Zaelani. Seperti nama Kod. Aku tak begitu
mempercayainya. Ah, iseng saja.
.
Kodir Zaelani : Serius, aku Kod teman SMA mu dulu di
Cijulang...
Faihatun : Aku gak percaya. Mana buktinya jika kau Kod?
Kodir Zaelani : Oke. Aku akan
membuktikannya jika kita bisa ketemu.
Faihatun : Aku gak mau.
Kodir Zaelani : Kenapa?
Faihatun : Gak percaya, siapa
tau kau orang jahat. Sengaja ingin bertemu
dan nanti kau menculikku. Lalu kau minta tebusan.
Kodir Zaelani: Tega amat sih... L aku bukan orang jahat. Ayo lah ketemu! Boleh
deh kau bawa orang tuk mengantarmu. Itu juga jika kau gak percaya.
Sejenak ku terdiam. Masih tak percaya jika itu Kod.
Kodir Zaelani:hey.. kenapa diam? Ayo lah! Kita kopi darat. Besok jam
sepuluh. Di
alun-alun
Bandung.
Faihatun : Baik lah jika kau
memaksa. Tapi, bagaimana aku mengenalimu?
Kodir Zaelani: Aku pakai kaos berkerah warna putih. Kalau aku, bagaimana
cara
mengenalimu?
Faihatun : Lihat saja besok.
Kuakhiri percakapan dengannya
dan segera log out.
Jam menunjukan pukul sembilan. Hujan di luar sana sudah
reda seiring kedatangan ibu.
“Fai, katanya mau ke Cijulang?”
“Gak jadi, bu. Tak hujan deras. Lagian kak Zar pulang.”
Sambil mencium tangannya.
“Pulang. Katanya besok?” Ibu lekas ke kamar sambil berbincang
denganku. Tak lupa ku bawakan tasnya.
“Entah lah, bu. Aku belum sempat
menanyakannya. Dari siang kak Zar tidur terus. Mungkin kecapean.”
Ibu duduk di atas kasur sambil
merehatkan badannya. Seketika aku mengerti keadaan ibu yang sangat lelah. Lalu
berinisiatif tuk memijatnya. “Sini Fai pijat, bu.”
Sambil menyodorkan pundaknya. “Boleh”
Dari dalam terlihat kak Zar sedang berjalan. Ternyata dia
sudah bangun. Ia sudah ganti baju. Rupanya sudah mandi. Keasyikan memijat, ibu
malah tidur dan segera kubaringkan dia di tempat tidur dengan. Ku copot
sepatunya. Kutarik selimut tuk menghangatkan badannya.
Kak Zar yang sedang duduk di kursi depan televisi dengan
secangkir kopi di tangnnya asyik meyetel film horor dari video
compact disc.
Iseng-iseng ku tepuk pundaknya
dari belakang. Dengan sangat terkejut ia menjerit kegirangan. “Adek.. kakak
kira...”
kupotong kalimatnya “hantu??
Hahhahaaa. Habisnya nonton film horor sih. Bukan kakak banget.”
“Ah kau.. gak lucu tahu..” dia
sedekit marah. Namun, lama-lama senyum kembali. Memang, dia gak bisa lama-lama
marah padaku.
“Dilihat-lihat kakak itu
ganteng ya?” godaku sambil memijat pundaknya.
Seolah mengerti maksudku, ia
langsung menebak “mmmpp.. bilang saja apa yang kau inginkan?”
“ah kakak... mengerti aja... J” jawabku dengan
memperlihatkan senyum manja. Aku segera duduk di sampingnya dengan posisi duduk
ala warteg seperti saat makan pertama kali di tempat ini. Tapi, kak Zar malah
melotot melihatku duduk seperti lelaki. Ia menepuk kakiku. Seperti biasa, dia
mengomeliku. Sikapnya yang disiplin, kadang membuatku sebal. Aku tak bisa
bertindak sesukaku.
Kuturunkan kaki dan duduk
seperti priayi. “iya kak. Fai udah duduk anggun. Kak, besok Fai mau kopi darat
sama temen facebook.”
“Oh.. “ jawabnya datar.
“Kok Cuma oh, sih?” tanyaku
kesal.
“mmmmppp... terus kakak harus
jawab apa?”
“Ah... kakak gak seru. Gini loh
kak, teman facebook Fai itu katanya
Kod. Sahabat SMA dulu. Untuk memastikannya dia mengajak kopi dara. Jadi, kakak
harus mengantar Fai.”
“Wajib?”
“Iya lah, masa kakak tega
membiarkan adikmu yang cantik ini pergi sendirian? Gimana kalau dia orang
jahat?”
“Iya deh... adikku yang cantik.
Tapi, bukannya besok kau mau pergi?” tanyanya heran.
“Gak jadi, kak”
▪▪▪
Alun-alun Bandung. 09:50 WIB.
Aku datang sepuluh menit lebih awal dari waktu yang
disepakati. Dengan balutan sifon polos berwarna hijau lumut menutupi pinggul, lengan
panjang dan terdapat pita hijau mudadengan lebar enam senti, panjang sepuluh
senti di kerah baju bagian tengah yang menutupi dada. Rambut tergerai hingga
punggung dan jeans hitam memperindah penampilanku, serta sabuk kecil berwarna
putih yang mengelilingi perutku
Lima menit sudah kumenunggu. Kak Zar kubiarkan duduk di
kursi yang menjajakan Siomay. Biar dia mengira aku datang sendri. Aku terus
melirik kiri kanan. Tak jua kulihat batang hidungnya.
Tak lama kemudian, dari arah berlawanan kulihat pria
mengenakan kaos berkerah warna putih. Berperawakan tegap. Berkulit sawo matang menghampiriku.
Pada saat itu memang hanya aku yang berada disana. Tepat dipinggir jalan sambil
membelakangi jalanan.
Pria itu menyapaku. “Hey.. Fai..”
Pria itu mengenaliku. Entah mengapa hatiku dag dig dug
saat berhadapan dengannya. Dia berdiri satu meter di hadapanku. “Kod?”
“Ternyata kau langsung mengenaliku.” Ujar Kod. Ia
tersenyum manis melihatku.
Sementara itu, kak Zar masih duduk di tukang somay dan
memperhatikan kami dari kejauhan.
“Kau tetap terlihat cantik.” Puji Kod padaku.
Aku jadi salah tingkah dan tanganku bergegas menyibak
rambut kebelakang. “Makasaih. Kau tetap sama seperti dulu.”
“Kau juga tetap sama. Tak pernah pakai jilbab.”
Aku menundukkan kepala. Seketika wajahku memerah. Malu,
ketika Kod menyinggungku masalah jilbab. Selama ini, tak ada yang menyuruhku
mengenakan jilbab. Termasuk kak Zar. Meski dia orang yang disiplin, kalau
masalah penampilan tak pernah mempermasalahkan. Asal aku tahu diri.
“Kau datang sendiri?”
Sekejap ku melihat ke arah kak Zar dan Kod mengikutinya.
“Pacarmu?” tanyanya datar.
“Kakakku, Kod.”
“oh... Kalau begitu, kenalkan aku padanya...”
Kami berjalan menghampiri kak Zar. Akhirnya, kita saling
berbincang sambil memakan siomay. Tak butuh waktu lama untuk mengakrabkan
mereka.
“Jadi, ini yang namanya Kod, dek?”
“Iya, Kak.”
Satu jam melesat cepat. Kita asyik bercerita masa lalu.
Betapa isengnya menjail teman-teman saat di kantin sekolah. Sedangkan kak Zar,
berusaha terlibat dalam percakapan kami. Dia cepat beradabtasi.
“Seperti apa Fai sewaktu di Cijulang? Pasti jelek banget
yah?” ledek kak zar.
“Aku cantik tahu... iya kan, kod?”
Suasana saat itu sangat menggembirakan. Kebahagiaan
nampak dari raut wajahnya.
▪▪▪
“Makasih yah kak, udah nemenin Fai.”
“Iya,, apa sih yang enggak buat adekku ini. ^_^”
Kutersipu malu. Lagi-lagi kak Zar menggodaku. “Ah.. bisa
aja.”
Kak Zar terkaget-kaget. Pintu kamarnya sedikit terbuka.
Padahal sebelum pergi, kamarnya ditutup. Namun, lupa menguncinya. Diam-diam
kami mendekat dan membuka pintu lebih lebar. Seorang wanita telah duduk
membelakangi pintu. Sehingga punggungnya saja yang terlihat. Tak asing lagi,
dia Ibu.
“Ibu...” sapa kak Zar.
Ibu menoleh kebelakang. Pipinya dibasahi air mata.
Suaranya tersendat-sendat. Sepertinya ia sudah lama menangis. Sebuah album foto
dipegangnya. Itu milikku. Teaptnya milik ibu kandungku sewaktu muda.
“Apa maksud semua ini, Fai” sambil menangis di pelukanku.
“Dia ibumu?”
Tak tahan melihat ibu menangis. Aku juga ikut menangis
“ia, bu. Memangnya ada apa? Kenapa ibu menangis?”
Kak Zar mendekati kami. Ia duduk di samping kami. “Ada
apa, bu? Mengapa ibu menangis?”
Ibu melepaskan pelukannya. “Kau jelas tahu, Zar. Mengapa
ibu menangis. Begitu juga dengan kau, Fai.”
Kak Zar tambah tak mengerti dengan ucapan ibu. “Maksud
ibu?”
“Baiklah, jika kau tak menegrti. Ibu akan jelaskan.”
Aku hanya menunduk mendengarkan penjelasan ibu.
“wanita dalam foto itu sahabatku. Fikri Amirullah
suamiku. Ayahmu Zar. Beberapa tahun lalu, ibu bercerita padamu tentang sebuah
foto. Wanita dalam foto itu adalah Fatimah.”
aku menggeleng-geleng kepala sambil menangis. “Gak
mungkin, bu.”
“Itulah kenyataannya. Sekarang aku tahu. Ibumu juga
mencintai suamiku. Buktinya dia menyimpan foto jepretan Fikri. Jelas itu
pemberian dari Fikri. dia juga memberiku album foto yang sama dengan foto yang
berbeda. Kau ingat, Fai? Album foto yang ibu pegang dulu? Itu sama persis dengan
punya ibumu.”
Kak Zar ikut menangis. Dia memegang tanganku erat.
Sementara aku makin tersedu-sedu. “Sudah bu, jang ibu lanjutkan.”
“Tidak, Fai. Kalian harus tahu. Aku tak pernah menyesal
mengangkat Fai sebagai anakku. Tapi, ibu tak mengerti. Mengapa kau
menyembunyikan ini dariku?”
“Cukup bu...” bentak kak Zar sambil berdiri menghadap ibu
yang duduk di sampingku.
“Kau sudah tahu Zar? Mengapa kau membelanya?” tanya ibu
heran.
“Bu, ini salahku....” ujarku sambil tersedu-sedu.
“Fai, waktu itu ibu bohong bahwa ibu gak tau wanita yang
ayahmu nikahi. Ibu sengaja menyembunyikannya darimu. Waktu itu, ibu pikir kau
tak perlu mengetahuinya. Tapi, sekarang kau harus tahu. Maduku itu ibumu, Fai.”
Mendengar ibu berbicara tentang ibu kandungku, aku segera
berlutut dihadapannya. Aku menangis. Aku meraih tangannya. Sedangkan Kak Zar
berdiri tegak membelakangi kami sambil menghadap ke jendela. “Bu, maafakn
aku...”
“Fai, jangan bilang kau adalah anak dari suamiku??”
“Bu... maafkan aku!!!”
Hatiku sungguh hancur. Rahasia yang selama ini ku simpan
telah terungkap. Benar pepatah bilang, sepandai-pandainya tupai berlari akan
terjatuh juga.
Ibu melihat ke arah kak Zar “Zar, mengapa kau tak
terkejut? Apa kau sudah tahu? jawab Zar?”
Kak Zar hanya diam. Tak berbicara sepatah katapun.
“Ibu,, jangan salahkan kak Zar. Bu, sejak pertama kali
kau mengangkatku sebagai anak, saat itu pula aku berjanji akan berbakti padamu.
Kan kupatuhi apapun perintahmu. Sekarang, janji itu kan kupenuhi. Aku terima
apapun keputusanmu. Asal, ibu tak melibatkan kak Zar dalam masalah ini.”
“Fai, kau jelas mengerti bagaimana perasaan ibu saat ini?
hati ibu sakit Fai. Ibu mengerti. Meengapa dulu dia bilang tentang nama,
ternyata yang ia maksud adalah menyamakan nama kalian. Agar kalian saling
mengenal. Iyakan? Pertama, kakakmu Zar. Diberi nama Farhan. Kedua kau sendiri.
Fazar. Terakhir, mungkin dia berinama kau Fai. Faihatun.
Kak Zar merangkulku. Dia membawaku ke luar kamar. “Ayo
dek.. lebih baik sekarang tenangkan dirimu. Ibu juga harus menenangkan diri.”
Aku mengikuti saran kak Zar.
“Dek, pergilah ketempat yang dapat menenangkan hatimu.
Jangan disini. Suasananya lagi tegang.”
“Kau tahu, kak. Hanya dirimu yang pandai merayuku. Aku
tak tahu harus pergi kemana. Di dunia ini, kalian lah satu-satunya keluargaku.”
“Kakak tahu, dek. Baiklah, sementara waktu kau tinggal di
rumah Bi Ijah.”
“Siapa dia, kak?”
“Saudara jauh keluarga kita. Orangnya baik. Sementara kau
tinggal disana dan disini kakak kan berusaha menenangkan ibu.”
Dengan perasaan yang masih kalut dan air mata yang tak
henti-hentinya menetes kuikuti saran kak Zar.
▪▪▪
Dua jam perjalanan yang kami tempuh tuk
sampai di Bogor tempat tinggal Bi Ijah.
Tok tok tok. Kak Zar mengetuk pintu rumah Bi Ijah. Dari
dalam terdengar suara langkah kaki mendekati pintu.
“Eh... Ujang....” wanita itu langsung
menyapa kak Zar dengan ramah. “Ada apa atuh, kok tumben datang kesini? Sok..
atuh masuk. Bibi buatkan teh hangat, nya??” Bi ijah nampak ramah dengan logat
sundanya yang khas.
Kak Zar meraih tanganku. Dia menarikku
ke dalam rumah bi Ijah.
Bi Ijah yang ramah itu mempersilahkan
kami duduk dengan menyuguhkan teh hangat khas Bogor. “Sok atuh duduk, Jang...
Neng. Anggaplah rumah sendiri.”
“Maaf bi, kami merepotkan” ujar kak Zar.
“Teu nanaon atuh, Jang. Siga kasaha wae
ari ujang teh. Sok aya naon, bicara ka bibi. Pastina datang jauh-jauh kesini teh ada tujuan, kan?”
“Iya, bi. Kenalin ini adik saya...”
Bi Ijah mengulurkan tangannya dan
kusambut dengan hangat “Faihatun, bi”
“Mani geulis kieu, kabogoh jang Fazar
nya?”
“bukan bi, kan tadi saya bilang. Dia
adik saya.”
“oh iya.. bibi lupa”
“Bi,, langsung saja yah bi??”
“nya sok... carita ka bibi” jawabnya
antusias.
“Boleh gak adikku tinggal disini tuk
sementara waktu?”
“boleh pisan ujang. Bibi mah malah
seneng aya eneng geulis didieu..”
Bi Ijah mengijinkanku tuk tinggal
sementara waktu dengannya. Kak Zar merasa lega. “Makasih yah bi?”
“Iya.. sama-sama. Bibi ke dapur dulu. Tadi bibi lagi
menggoreng pisang.”
“Iya, bi”
Hanya berdua kami disana. Kak Zar
menasehatiku panjang lebar agar sabar menghadapi masalah ini. Ia tak
menyalahkanku.
“Dek, jangan masukan ke hati
pembicaraan ucapan ibu tadi, yah?”
“Iya,, kak.”
▪▪▪
Dua minggu kemudian.
Hatiku berangsur membaik. Bi Ijah
melayaniku dengan ramah. Dia hanya tinggal seorang diri. Ketiga anaknya telah
menikah dan ikut dengan suaminya. Sedangkan suami Bi Ijah telah lama meninggal.
Di usia 50, ia berharap anak-anaknya
bisa tinggal dengannya. Tapi sayang, itu tidak mungkin. Dia tak muda lagi.
Tapi, rambutnya yang beruban tertutupi oleh jilbab yang sudah ia kenakan sejak
kecil.
Melihat Bi Ijah mengenakan jilbab, aku
teringat ucapan Kod. Secara tidak langsung, ia memintaku tuk berjilbab. “Bi...”
panggilku pelan pada Bi Ijah yang tengah sibuk menyapu halaman.
“Aya naon atuh neng geulis?”
“bi, bisa ajari Fai berjilbab?”
Bi ijah tersandung batu dan hapir saja
terjatuh. Ia terkejut mendengar ucapanku. “Bisa atuh neng, mengapa tidak? Nanti
kita ke pasar, yuk? Kita beli jilbab.”
“Gak usah, bi. Aku pake punya bibi aja
dulu!”
“Ah.. punya bibi udah jelek-jelek. Gak
pantas di pakai oleh neng.”
“Terserah bibi deh...”
▪▪▪
Tiga hari sudah aku mengenakan jilbab.
Rasanya nyaman dan merasa tenang. Pastinya aku sudah bisa menerima kenyataan.
Meski akhirnya ibu tak memaafkanku.Ini hidayah dari Allah. Dia amat
menyayangiku.
Seiring berjalannya waktu, kumulai
berbenah diri. Kubersihkan hati dari segala iri dan dengki. Aku belajar jadi
wanita muslimah. Disini, bi Ijah selalu mengajakku mengaji. Akupun tak pernah
meninggalkan shalat. Sungguh nikmat yang luar biasa. Aku percaya padaMu. Kau
tak pernah melupakanku.
Waktu berjalan begitu cepat. Aku merasa
semuanya sudah membaik. Semua ini berkat Kak Zar dan Bi Ijah. Di belakang rumah,
kulihat bi Ijah sedang menjemur Teh yang ia petik beberapa hari yang lalu. Aku
segera menghampirinya. “Bi, boleh aku
bantu?”.
“Gak usah neng. nanti eneng kepanasan
loh?”
“Gak apa-apa, bi.”
Pekerjaan Bi Ijah telah ku ambil alih.
Ia segera masuk rumah. Kebiasaannya di siang hari, ia selalu menyuguhkan teh
hangat dan sepiring pisang goreng. Aku menyukainya.
Tiba-tiba, kudengar suara mobil
menggerung di depan rumah. Namun, kutak menghiraukannya. Soalnya ada Bi Ijah di
dalam rumah. Aku asyik saja menjemur teh.
Tak lama kemudian, Bi Ijah memanggilku
sambil lari tergesa-gesa dari ruang tengah. “Neng geuli.. Neng geulis... Neng
geulis????”
“Ada apa, bi? Jangan lari. Nanti jatuh
loh...”
“Di depan ada Jang Zar.”
“Oh.. ya? Serius bi.?” Tanyaku
kegirangan sambil berlari ke ke dalam rumah.
Hatiku dag dig dug tak menentu. Selangkah
lagi kusampai di depan rumah. Terlihat dari jendela, dua orang pria tengah
duduk di teras rumah. Ya.. kak Zar dan Kod.
“Asslamualaiku...”
Mereka serempak berbalik kearahku dan
birdiri takzim melihatku mengenakan jilbab. Mereka terdiam sangat lama. Terus
menatapku dengan sejuta pertanyaan yang terlihat dari bola mataka keduanya.
“Subhanallah...” ujar mereka serempak.
“Ini dirimu, dek?” tanya kak Zar tak
percaya.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar
pertanyaan kak Zar.
“Kau terlihat lebih cantik jika
mengenakan jilbab.” Ujar Kod takjub.
Tiba-tiba kak Zar menundukkan kepala. namun
tak kugubris.
Dari dalam rumah, suara bi Ijah
membuyarkan suasana pertemuan kami. “Ajak mereka ke dalam neng.. bibi sudah
sediakan teh hangat dan pisang goreng...”
“ayo kak Zar masuk..”
“Masa kak Zar aja sih yang di ajak?”
gerutu Kod.
“Ayo,, Kod.. kamu juga masuk.. ada
pisang goreng loh...” godaku pada Kod.
Sambil makan pisang goreng, kita asik
bercanda ria. “oh.. ya.. ada apa kalian datang kemari? Fai udah betah disini,
kak!”
“Biarkan Fai tinggal disini, Jang. Biar
temani bibi..” Sambung Bi Ijah.
“Ibu ingin bertemu denganmu, Dek.
Keadaan rumah sudah membaik. Lebih baik, Adek temui ibu dulu di rumah.”
“Serius, Kak?”
“Jadi, aku di cuekin nih??” timbrung
Kod.
“Kod.. “
“Upppsss.. maaf. Lanjutin deh..”
Aku ikut pulang dengan Kak Zar dan Kod.
Tapi, aku gak tega meninggalkan Bi Ijah. Mesi hanya dua minggu tinggal
dengannya. Tapi perlakuan baik selalu ia berikan padaku. Sehingga kumerasa
tinggal dengan ibu sendiri. Disisi lain, aku harus menyelesaikan masalahku
dengan ibu. wanita yang amat kucintai.
Aku duduk di belakang. Sepanjang jalan
Kod bercerita tiada henti. Tak ayal banyolan-banyolan selalu ia lontarkan dan
membuat kami tertawa.
▪▪▪
Kami telah tiba di depan rumah. Seperti
biasa yang ia lakukan ketika aku pulang sekolah dulu, ia menyambut kami di
depan pintu. Dia mengecup keningku. Aku langsung memeluknya erat. “Maafkan Fai,
bu.”
Air mata terjatuh dari mata bundarnya.
“lupakan yang telah lalu. Kita mulai lembaran baru.”
Kak Zar nampak senang melihat aku dan
ibu telah baikkan. “Ini yang selalu Zar harapkan, bu. Tidak terpecah belah.
Sehingga Zar bisa ke USA dengan tenang.”
Kak Zar memeluk kami berdua.
Kod pun ikut merasakan kebahagiaan
kami. Ia bersalaman dengan ibu. seperti kebiasaannya, dia sok akrab dengan ibu.
“Fai, kau terlihat anggun dengan jilbab
biru dongker ini.” puji ibu padaku sambil berjalan menuju meja makan. “Ayooo
kita makan... ibu sudah hidangkan makananan yang enak-enak beberapa menit yang
lalu.”
Usai makan, Kod pulang. Akupun
mengantarnya hingga depan rumah. “Fai, aku harap kita bisa bertemu lagi besok.”
“lebih baik jangan, Kod.”
Ia terkejut, “Loh... mengapa? Kita
hanya sekedar minum secangkir kopi. Tak lebih dari itu.”
“Kod, kita sudah dewasa. Gak bisa seperti dulu lagi. Mengerti lah..”
“Baik lah. Tapi, bolehkan aku minta
kontakmu?”
Kita saling bertukar nomor handphone. “Aku kan telepon kamu nanti.”
Ujarnya sambil masuk dalam mobil.
▪▪▪
Jam 07:30. Di ruang keluarga.
Aku duduk di samping ibu sambil menyandarkan
kepala di pundaknya. Kak Zar duduk di kursi yang berbeda. “Dek, besok kakak kan
berangkat ke USA.”
Aku langsung duduk tegap. “Kok baru
ngasih tau sih?”
“Maaf. Tiketnya udah dipesan.”
“Yah.. kakak.” Aku segera lari ke
kamar. Aku kecewa sama kak Zar karena tak memberitahuku sejak awal.
“Kejar adikmu, dia marah...”
Aku berhenti melangkah ketika sudah di
depan pintu. Kak Zar mengejarku. “Dek, dengar penjelasan kakak.”
“Jelaskan apa yang ingin kakak
jelaskan. Tapi disini saja jangan masuk kamar.”
“Kenapa Dek?”
“Kita sudah dewasa kak. Tak baik
berdua-duaan....”
Kak Zar memotong pembicaraanku. “Jika
bukan muhrim? Iyakan? Bukanan kita saudara kandung?”
Aku terdiam sejenak. “Iya, tapi tetap
saja gak boleh.”
“Baik lah terserah kamu. Awalnya kakak
ingin bicarakan dulu usai menemui Kod di alun-alun. Tapi keadaannya tida
mendukung dan menurut kakak ini lah saat yang tepat.”
“Jika itu alasannya, Fai terima kak.
Maafkan Fai telah egois.”
“gak apa-apa.”
“Tinggalkan Fai sendiri. Fai janji
besok kan mengantar kakak ke airport.
0 comments:
Post a Comment