Jilbab Biru Dongker (7)

             Enam tahun melesat cepat, usiaku sekarang dua puluh dua.
Aku teringat tarian api enam tahun silam. Menghanguskan semua harta bendaku. Termasuk ibu. Peristiwa itu mengguncang jiwaku. Menelantarkanku. Butuh waktu lama ntuk bangkit. Karena, kaat itu hujan menghardik dengan keras. Tak pandang bulu.
Tiba-tiba aku teringat Kod. Sahabat SMA. Setelah peristiwa itu, kita tak lagi bertemu. Bagaimana dia sekarang? Masihkah ingat padaku? Enatah lah.
▪▪▪
“Fai, ibu mau ke kantor dulu. Pasti pulangnya malam.”
“Iya, bu. Lagian, hari ini aku mau ziarah ke makam ibu. Sekalian mau lihat-lihat bekas peristiwa itu.”
“Ya sudah, minta saja sama pak Maman tuk mengantar. Biar ibu naik tasi.”
“Gak usah, bu. Fai akan naik mobil umum dari terminal. Kemungkinan disana nginep, kan perjalanannya jauh. Tujuh jam.”
“oh ya?... terus kapan pulangnya?”
“mungun seminggu disana, bu.”
“Baik lah, nginep saja di hotel. Fai pegang ATM kan? Ambil saja uang dari sana”
“Iya, bu.”
“Tapi, kakakmu kan pulang besok dari USA.”
Mendengar kak Zar kan pulang, rasanya hatiku bahagia. Ternyata aku masih memendam rasa. “Oh.. ya? Mmmmppp..”
“gak apa-apa. Pasti kakakmu ngerti.”
Rindu enam tahun lau masih tersimpan dalam kedung hatiku. Padahal selama ini bersusah payah tuk melupakannya. Bahkan, aku selalu menghindar ketika ia pulang.  Untung lah, sekarang aku mau ziarah ke makam ibu. jadi aku tak perlu mencari-cari alasan tuk menghindar.
Gerimis di luar menderas.
Aku segera berkemas. Tak banyak barang yang ku bawa. Hanya seperlunya saja. Tak sengaja album foto ibu terjatuh di lantai dekat pintu kamar. Lekas kuambil. Namun, tak disangka seseorang telah berada di dekatnya. Ya, kak Zar. Ia mengambilnya.
“Berikan itu padaku, kak.”
Ia tak menjawabnya. Hanya tatapan tajam yang ia perlihatkan padaku. Seperti ingin marah. Namun, berusaha meredamnya.
“Kak, berikan padaku. Aku buru-buru.” Desakku pelan.
Dengan memasang wajah masam dan tatapan tajam ia mengeluarkan keluh kesahnya. “Memangnya kau mau kemana, dek? Apa sengaja kau menghindariku lagi? Cukup, dek. Berikan kesempatan kakak tuk bicara.” Sambil menyimpan kopernya di dekat meja belajar, ia melangkah ke arahku. “dulu kau bilang, kau mengharapkan rinduku. Tapi, belum sempatku sampaikan padamu, kau selalu menghindar.”
“Setop, kak. Jangan melangkah. Aku terburu-buru.” Tak menghiraukannya. Aku segera pergi keluar kamar dengan tas besar ditanganku berisi pakaian ganti tuk disana.
Namun dia mengikutiku. “Aku ikut denganmu, dek”
“Gak bisa, kak.”
Terus saja dia mengikutiku hingga beranda rumah. “Tak mungkin kau berangkat sekarang. Hujan sangat deras.”
“tapi, kak”
“Dek, tolong dengarkan kakak. Hujan sangat deras. Bahaya jika kau berangkat sekarang” Bentaknya.
Aku tak bisa menolaknya. Belum pernah ia membentakku. Hanya kali ini saja. “Baik lah, kak. Adekmu yang manja ini gakkan berangkat searang. Sudah jangan marah.”  Godaku tuk meredam amarah kak Zar.
“Kau ini, bisa saja menggodaku.”
Kami segera masuk rumah. Seperti biasa ia tidur di kamarku tuk merehatkan tubuhnya. Sementara itu, aku sibuk berselancar di dunia maya.
“Dek, lagi facebookan yah?”
“Iya, kak. Oh yah, nama facebook kakak apa? Biar aku add.
“Kakak gak punya akun facebook.”
“Ah kakak gak gaul..” ledekku..
“Memangnya gaul harus pakai facebook?”
“enggak sih, tapi kan...” ku tak melanjutkan kalimatku Karena melihat kak Zar sudah terlelap tidur. “Kebiasaan.”
▪▪▪
Dua belas jam kemudian.
Hujan masih membungkus gedong kami. Kak Zar masih tertidur pulas. Sesekali ia terbangun tuk pergi ke kamar mandi. Maklum saja, dia kecapean setelah menempuh perjalanan panjang dari USA. Sementara itu, aku masih asyik bergelut di jejaring sosial.
Secangkir kopi panas dan biskuit ubi kesukaanku menemaniku berselancar. Selalu lupa waktu ketika si penemuan Mark Zuckerberg ini hadir di tengah kehidupanku. Rupanya Seorang 24 tahun dengan harta 13,5 Triliun berhasil menghipnotisku. Jelas saja, dengan menjelajah  facebook aku bisa menemukan teman-teman baru. Seperti yang saat ini aku lakukan.
Dari tadi, aku sibuk chatting dengan orang yang mengaku Kodir Zaelani. Seperti nama Kod. Aku tak begitu mempercayainya. Ah, iseng saja.
.
Kodir Zaelani  : Serius, aku Kod teman SMA mu dulu di Cijulang...
Faihatun          : Aku gak percaya. Mana buktinya jika kau Kod?
Kodir Zaelani : Oke. Aku akan membuktikannya jika kita bisa ketemu.
Faihatun          : Aku gak mau.
Kodir Zaelani : Kenapa?
Faihatun          : Gak percaya, siapa tau kau orang jahat. Sengaja ingin bertemu
dan nanti kau menculikku. Lalu kau minta tebusan.
Kodir Zaelani: Tega amat sih... L aku bukan orang jahat. Ayo lah ketemu! Boleh
deh kau bawa orang tuk mengantarmu. Itu juga jika kau gak percaya.
Sejenak ku terdiam. Masih tak percaya jika itu Kod.
Kodir Zaelani:hey.. kenapa diam? Ayo lah! Kita kopi darat. Besok jam sepuluh. Di
alun-alun Bandung.
Faihatun          : Baik lah jika kau memaksa. Tapi, bagaimana aku mengenalimu?
Kodir Zaelani: Aku pakai kaos berkerah warna putih. Kalau aku, bagaimana cara
mengenalimu?
Faihatun          : Lihat saja besok.
Kuakhiri percakapan dengannya dan  segera log out.
Jam menunjukan pukul sembilan. Hujan di luar sana sudah reda seiring kedatangan ibu.
“Fai, katanya mau ke Cijulang?”
“Gak jadi, bu. Tak hujan deras. Lagian kak Zar pulang.” Sambil mencium tangannya.
“Pulang. Katanya besok?” Ibu lekas ke kamar sambil berbincang denganku. Tak lupa ku bawakan tasnya.
“Entah lah, bu. Aku belum sempat menanyakannya. Dari siang kak Zar tidur terus. Mungkin kecapean.”
Ibu duduk di atas kasur sambil merehatkan badannya. Seketika aku mengerti keadaan ibu yang sangat lelah. Lalu berinisiatif tuk memijatnya. “Sini Fai pijat, bu.”
Sambil menyodorkan pundaknya. “Boleh”
Dari dalam terlihat kak Zar sedang berjalan. Ternyata dia sudah bangun. Ia sudah ganti baju. Rupanya sudah mandi. Keasyikan memijat, ibu malah tidur dan segera kubaringkan dia di tempat tidur dengan. Ku copot sepatunya. Kutarik selimut tuk menghangatkan badannya.
Kak Zar yang sedang duduk di kursi depan televisi dengan secangkir kopi di tangnnya asyik meyetel film horor dari video compact disc.
Iseng-iseng ku tepuk pundaknya dari belakang. Dengan sangat terkejut ia menjerit kegirangan. “Adek.. kakak kira...”
kupotong kalimatnya “hantu?? Hahhahaaa. Habisnya nonton film horor sih. Bukan kakak banget.”
“Ah kau.. gak lucu tahu..” dia sedekit marah. Namun, lama-lama senyum kembali. Memang, dia gak bisa lama-lama marah padaku.
“Dilihat-lihat kakak itu ganteng ya?” godaku sambil memijat pundaknya.
Seolah mengerti maksudku, ia langsung menebak “mmmpp.. bilang saja apa yang kau inginkan?”
“ah kakak... mengerti aja... J” jawabku dengan memperlihatkan senyum manja. Aku segera duduk di sampingnya dengan posisi duduk ala warteg seperti saat makan pertama kali di tempat ini. Tapi, kak Zar malah melotot melihatku duduk seperti lelaki. Ia menepuk kakiku. Seperti biasa, dia mengomeliku. Sikapnya yang disiplin, kadang membuatku sebal. Aku tak bisa bertindak sesukaku.
Kuturunkan kaki dan duduk seperti priayi. “iya kak. Fai udah duduk anggun. Kak, besok Fai mau kopi darat sama temen facebook.”
“Oh.. “ jawabnya datar.
“Kok Cuma oh, sih?” tanyaku kesal.
“mmmmppp... terus kakak harus jawab apa?”
“Ah... kakak gak seru. Gini loh kak, teman facebook Fai itu katanya Kod. Sahabat SMA dulu. Untuk memastikannya dia mengajak kopi dara. Jadi, kakak harus mengantar Fai.”
“Wajib?”
“Iya lah, masa kakak tega membiarkan adikmu yang cantik ini pergi sendirian? Gimana kalau dia orang jahat?”
“Iya deh... adikku yang cantik. Tapi, bukannya besok kau mau  pergi?”  tanyanya heran.
“Gak jadi, kak”
▪▪▪
Alun-alun Bandung. 09:50 WIB.
Aku datang sepuluh menit lebih awal dari waktu yang disepakati. Dengan balutan sifon polos berwarna hijau lumut menutupi pinggul, lengan panjang dan terdapat pita hijau mudadengan lebar enam senti, panjang sepuluh senti di kerah baju bagian tengah yang menutupi dada. Rambut tergerai hingga punggung dan jeans hitam memperindah penampilanku, serta sabuk kecil berwarna putih yang mengelilingi perutku
Lima menit sudah kumenunggu. Kak Zar kubiarkan duduk di kursi yang menjajakan Siomay. Biar dia mengira aku datang sendri. Aku terus melirik kiri kanan. Tak jua kulihat batang hidungnya.
Tak lama kemudian, dari arah berlawanan kulihat pria mengenakan kaos berkerah warna putih. Berperawakan tegap. Berkulit sawo matang menghampiriku. Pada saat itu memang hanya aku yang berada disana. Tepat dipinggir jalan sambil membelakangi jalanan.
Pria itu menyapaku. “Hey.. Fai..”
Pria itu mengenaliku. Entah mengapa hatiku dag dig dug saat berhadapan dengannya. Dia berdiri satu meter di hadapanku. “Kod?”
“Ternyata kau langsung mengenaliku.” Ujar Kod. Ia tersenyum manis melihatku.
Sementara itu, kak Zar masih duduk di tukang somay dan memperhatikan kami dari kejauhan.
“Kau tetap terlihat cantik.” Puji Kod padaku.
Aku jadi salah tingkah dan tanganku bergegas menyibak rambut kebelakang. “Makasaih. Kau tetap sama seperti dulu.”
“Kau juga tetap sama. Tak pernah pakai jilbab.”
Aku menundukkan kepala. Seketika wajahku memerah. Malu, ketika Kod menyinggungku masalah jilbab. Selama ini, tak ada yang menyuruhku mengenakan jilbab. Termasuk kak Zar. Meski dia orang yang disiplin, kalau masalah penampilan tak pernah mempermasalahkan. Asal aku tahu diri.
“Kau datang sendiri?”
Sekejap ku melihat ke arah kak Zar dan Kod mengikutinya.
“Pacarmu?” tanyanya datar.
“Kakakku, Kod.”
“oh... Kalau begitu, kenalkan aku padanya...”
Kami berjalan menghampiri kak Zar. Akhirnya, kita saling berbincang sambil memakan siomay. Tak butuh waktu lama untuk mengakrabkan mereka.
“Jadi, ini yang namanya Kod, dek?”
“Iya, Kak.”
Satu jam melesat cepat. Kita asyik bercerita masa lalu. Betapa isengnya menjail teman-teman saat di kantin sekolah. Sedangkan kak Zar, berusaha terlibat dalam percakapan kami. Dia cepat beradabtasi.
“Seperti apa Fai sewaktu di Cijulang? Pasti jelek banget yah?” ledek kak zar.
“Aku cantik tahu... iya kan, kod?”
Suasana saat itu sangat menggembirakan. Kebahagiaan nampak dari raut wajahnya.
▪▪▪
“Makasih yah kak, udah nemenin Fai.”
“Iya,, apa sih yang enggak buat adekku ini. ^_^”
Kutersipu malu. Lagi-lagi kak Zar menggodaku. “Ah.. bisa aja.”
Kak Zar terkaget-kaget. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Padahal sebelum pergi, kamarnya ditutup. Namun, lupa menguncinya. Diam-diam kami mendekat dan membuka pintu lebih lebar. Seorang wanita telah duduk membelakangi pintu. Sehingga punggungnya saja yang terlihat. Tak asing lagi, dia Ibu.
“Ibu...” sapa kak Zar.
Ibu menoleh kebelakang. Pipinya dibasahi air mata. Suaranya tersendat-sendat. Sepertinya ia sudah lama menangis. Sebuah album foto dipegangnya. Itu milikku. Teaptnya milik ibu kandungku sewaktu muda.
“Apa maksud semua ini, Fai” sambil menangis di pelukanku. “Dia ibumu?”
Tak tahan melihat ibu menangis. Aku juga ikut menangis “ia, bu. Memangnya ada apa? Kenapa ibu menangis?”
Kak Zar mendekati kami. Ia duduk di samping kami. “Ada apa, bu? Mengapa ibu menangis?”
Ibu melepaskan pelukannya. “Kau jelas tahu, Zar. Mengapa ibu menangis. Begitu juga dengan kau, Fai.” 
Kak Zar tambah tak mengerti dengan ucapan ibu. “Maksud ibu?”
“Baiklah, jika kau tak menegrti. Ibu akan jelaskan.”
Aku hanya menunduk mendengarkan penjelasan ibu.
“wanita dalam foto itu sahabatku. Fikri Amirullah suamiku. Ayahmu Zar. Beberapa tahun lalu, ibu bercerita padamu tentang sebuah foto. Wanita dalam foto itu adalah Fatimah.”
aku menggeleng-geleng kepala sambil menangis. “Gak mungkin, bu.”
“Itulah kenyataannya. Sekarang aku tahu. Ibumu juga mencintai suamiku. Buktinya dia menyimpan foto jepretan Fikri. Jelas itu pemberian dari Fikri. dia juga memberiku album foto yang sama dengan foto yang berbeda. Kau ingat, Fai? Album foto yang ibu pegang dulu? Itu sama persis dengan punya ibumu.”
Kak Zar ikut menangis. Dia memegang tanganku erat. Sementara aku makin tersedu-sedu. “Sudah bu, jang ibu lanjutkan.”
“Tidak, Fai. Kalian harus tahu. Aku tak pernah menyesal mengangkat Fai sebagai anakku. Tapi, ibu tak mengerti. Mengapa kau menyembunyikan ini dariku?”
“Cukup bu...” bentak kak Zar sambil berdiri menghadap ibu yang duduk di sampingku.
“Kau sudah tahu Zar? Mengapa kau membelanya?” tanya ibu heran.
“Bu, ini salahku....” ujarku sambil tersedu-sedu.
“Fai, waktu itu ibu bohong bahwa ibu gak tau wanita yang ayahmu nikahi. Ibu sengaja menyembunyikannya darimu. Waktu itu, ibu pikir kau tak perlu mengetahuinya. Tapi, sekarang kau harus tahu. Maduku itu ibumu, Fai.”
Mendengar ibu berbicara tentang ibu kandungku, aku segera berlutut dihadapannya. Aku menangis. Aku meraih tangannya. Sedangkan Kak Zar berdiri tegak membelakangi kami sambil menghadap ke jendela. “Bu, maafakn aku...”
“Fai, jangan bilang kau adalah anak dari suamiku??”
“Bu... maafkan aku!!!”
Hatiku sungguh hancur. Rahasia yang selama ini ku simpan telah terungkap. Benar pepatah bilang, sepandai-pandainya tupai berlari akan terjatuh juga.
Ibu melihat ke arah kak Zar “Zar, mengapa kau tak terkejut? Apa kau sudah tahu? jawab Zar?”
Kak Zar hanya diam. Tak berbicara sepatah katapun.
“Ibu,, jangan salahkan kak Zar. Bu, sejak pertama kali kau mengangkatku sebagai anak, saat itu pula aku berjanji akan berbakti padamu. Kan kupatuhi apapun perintahmu. Sekarang, janji itu kan kupenuhi. Aku terima apapun keputusanmu. Asal, ibu tak melibatkan kak Zar dalam masalah ini.”
“Fai, kau jelas mengerti bagaimana perasaan ibu saat ini? hati ibu sakit Fai. Ibu mengerti. Meengapa dulu dia bilang tentang nama, ternyata yang ia maksud adalah menyamakan nama kalian. Agar kalian saling mengenal. Iyakan? Pertama, kakakmu Zar. Diberi nama Farhan. Kedua kau sendiri. Fazar. Terakhir, mungkin dia berinama kau Fai. Faihatun.
Kak Zar merangkulku. Dia membawaku ke luar kamar. “Ayo dek.. lebih baik sekarang tenangkan dirimu. Ibu juga harus menenangkan diri.”
Aku mengikuti saran kak Zar.
“Dek, pergilah ketempat yang dapat menenangkan hatimu. Jangan disini. Suasananya lagi tegang.
“Kau tahu, kak. Hanya dirimu yang pandai merayuku. Aku tak tahu harus pergi kemana. Di dunia ini, kalian lah satu-satunya keluargaku.”
“Kakak tahu, dek. Baiklah, sementara waktu kau tinggal di rumah Bi Ijah.”
“Siapa dia, kak?”
“Saudara jauh keluarga kita. Orangnya baik. Sementara kau tinggal disana dan disini kakak kan berusaha menenangkan ibu.”
Dengan perasaan yang masih kalut dan air mata yang tak henti-hentinya menetes kuikuti saran kak Zar.
▪▪▪
Dua jam perjalanan yang kami tempuh tuk sampai di Bogor tempat tinggal Bi Ijah.
Tok tok tok.  Kak Zar mengetuk pintu rumah Bi Ijah. Dari dalam terdengar suara langkah kaki mendekati pintu.
“Eh... Ujang....” wanita itu langsung menyapa kak Zar dengan ramah. “Ada apa atuh, kok tumben datang kesini? Sok.. atuh masuk. Bibi buatkan teh hangat, nya??” Bi ijah nampak ramah dengan logat sundanya yang khas.
Kak Zar meraih tanganku. Dia menarikku ke dalam rumah bi Ijah.
Bi Ijah yang ramah itu mempersilahkan kami duduk dengan menyuguhkan teh hangat khas Bogor. “Sok atuh duduk, Jang... Neng. Anggaplah rumah sendiri.”
“Maaf bi, kami merepotkan” ujar kak Zar.
“Teu nanaon atuh, Jang. Siga kasaha wae ari ujang teh. Sok aya naon, bicara ka bibi. Pastina datang  jauh-jauh kesini teh ada tujuan, kan?”
“Iya, bi. Kenalin ini adik saya...”
Bi Ijah mengulurkan tangannya dan kusambut dengan hangat “Faihatun, bi”
“Mani geulis kieu, kabogoh jang Fazar nya?”
“bukan bi, kan tadi saya bilang. Dia adik saya.”
“oh iya.. bibi lupa”
“Bi,, langsung saja yah bi??”
“nya sok... carita ka bibi” jawabnya antusias.
“Boleh gak adikku tinggal disini tuk sementara waktu?”
“boleh pisan ujang. Bibi mah malah seneng aya eneng geulis didieu..”
Bi Ijah mengijinkanku tuk tinggal sementara waktu dengannya. Kak Zar merasa lega. “Makasih yah bi?”
“Iya.. sama-sama. Bibi ke dapur dulu. Tadi bibi lagi menggoreng pisang.”
“Iya, bi”
Hanya berdua kami disana. Kak Zar menasehatiku panjang lebar agar sabar menghadapi masalah ini. Ia tak menyalahkanku.
“Dek, jangan masukan ke hati pembicaraan ucapan ibu tadi, yah?”
“Iya,, kak.”
▪▪▪
Dua minggu kemudian.
Hatiku berangsur membaik. Bi Ijah melayaniku dengan ramah. Dia hanya tinggal seorang diri. Ketiga anaknya telah menikah dan ikut dengan suaminya. Sedangkan suami Bi Ijah telah lama meninggal.
Di usia 50, ia berharap anak-anaknya bisa tinggal dengannya. Tapi sayang, itu tidak mungkin. Dia tak muda lagi. Tapi, rambutnya yang beruban tertutupi oleh jilbab yang sudah ia kenakan sejak kecil.
Melihat Bi Ijah mengenakan jilbab, aku teringat ucapan Kod. Secara tidak langsung, ia memintaku tuk berjilbab. “Bi...” panggilku pelan pada Bi Ijah yang tengah sibuk menyapu halaman.
“Aya naon atuh neng geulis?”
“bi, bisa ajari Fai berjilbab?”
Bi ijah tersandung batu dan hapir saja terjatuh. Ia terkejut mendengar ucapanku. “Bisa atuh neng, mengapa tidak? Nanti kita ke pasar, yuk? Kita beli jilbab.”
“Gak usah, bi. Aku pake punya bibi aja dulu!”
“Ah.. punya bibi udah jelek-jelek. Gak pantas di pakai oleh neng.”
“Terserah bibi deh...”
▪▪▪
Tiga hari sudah aku mengenakan jilbab. Rasanya nyaman dan merasa tenang. Pastinya aku sudah bisa menerima kenyataan. Meski akhirnya ibu tak memaafkanku.Ini hidayah dari Allah. Dia amat menyayangiku.
Seiring berjalannya waktu, kumulai berbenah diri. Kubersihkan hati dari segala iri dan dengki. Aku belajar jadi wanita muslimah. Disini, bi Ijah selalu mengajakku mengaji. Akupun tak pernah meninggalkan shalat. Sungguh nikmat yang luar biasa. Aku percaya padaMu. Kau tak pernah melupakanku.
Waktu berjalan begitu cepat. Aku merasa semuanya sudah membaik. Semua ini berkat Kak Zar dan Bi Ijah. Di belakang rumah, kulihat bi Ijah sedang menjemur Teh yang ia petik beberapa hari yang lalu. Aku segera menghampirinya.  “Bi, boleh aku bantu?”.
“Gak usah neng. nanti eneng kepanasan loh?”
“Gak apa-apa, bi.”
Pekerjaan Bi Ijah telah ku ambil alih. Ia segera masuk rumah. Kebiasaannya di siang hari, ia selalu menyuguhkan teh hangat dan sepiring pisang goreng. Aku menyukainya.
Tiba-tiba, kudengar suara mobil menggerung di depan rumah. Namun, kutak menghiraukannya. Soalnya ada Bi Ijah di dalam rumah. Aku asyik saja menjemur teh.
Tak lama kemudian, Bi Ijah memanggilku sambil lari tergesa-gesa dari ruang tengah. “Neng geuli.. Neng geulis... Neng geulis????”
“Ada apa, bi? Jangan lari. Nanti jatuh loh...”
“Di depan ada Jang Zar.”
“Oh.. ya? Serius bi.?” Tanyaku kegirangan sambil berlari ke ke dalam rumah.
Hatiku dag dig dug tak menentu. Selangkah lagi kusampai di depan rumah. Terlihat dari jendela, dua orang pria tengah duduk di teras rumah. Ya.. kak Zar dan Kod.
“Asslamualaiku...”
Mereka serempak berbalik kearahku dan birdiri takzim melihatku mengenakan jilbab. Mereka terdiam sangat lama. Terus menatapku dengan sejuta pertanyaan yang terlihat dari bola mataka keduanya.
“Subhanallah...” ujar mereka serempak.
“Ini dirimu, dek?” tanya kak Zar tak percaya.
Aku hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan kak Zar.
“Kau terlihat lebih cantik jika mengenakan jilbab.” Ujar Kod takjub.
Tiba-tiba kak Zar menundukkan kepala. namun tak kugubris.
Dari dalam rumah, suara bi Ijah membuyarkan suasana pertemuan kami. “Ajak mereka ke dalam neng.. bibi sudah sediakan teh hangat dan pisang goreng...”
“ayo kak Zar masuk..”
“Masa kak Zar aja sih yang di ajak?” gerutu Kod.
“Ayo,, Kod.. kamu juga masuk.. ada pisang goreng loh...” godaku pada Kod.
Sambil makan pisang goreng, kita asik bercanda ria. “oh.. ya.. ada apa kalian datang kemari? Fai udah betah disini, kak!”
“Biarkan Fai tinggal disini, Jang. Biar temani bibi..” Sambung Bi Ijah.
“Ibu ingin bertemu denganmu, Dek. Keadaan rumah sudah membaik. Lebih baik, Adek temui ibu dulu di rumah.”
“Serius, Kak?”
“Jadi, aku di cuekin nih??” timbrung Kod.
“Kod.. “
“Upppsss.. maaf. Lanjutin deh..”
Aku ikut pulang dengan Kak Zar dan Kod. Tapi, aku gak tega meninggalkan Bi Ijah. Mesi hanya dua minggu tinggal dengannya. Tapi perlakuan baik selalu ia berikan padaku. Sehingga kumerasa tinggal dengan ibu sendiri. Disisi lain, aku harus menyelesaikan masalahku dengan ibu. wanita yang amat kucintai.
Aku duduk di belakang. Sepanjang jalan Kod bercerita tiada henti. Tak ayal banyolan-banyolan selalu ia lontarkan dan membuat kami tertawa.
▪▪▪
Kami telah tiba di depan rumah. Seperti biasa yang ia lakukan ketika aku pulang sekolah dulu, ia menyambut kami di depan pintu. Dia mengecup keningku. Aku langsung memeluknya erat. “Maafkan Fai, bu.”
Air mata terjatuh dari mata bundarnya. “lupakan yang telah lalu. Kita mulai lembaran baru.”
Kak Zar nampak senang melihat aku dan ibu telah baikkan. “Ini yang selalu Zar harapkan, bu. Tidak terpecah belah. Sehingga Zar bisa ke USA dengan tenang.”  Kak Zar memeluk kami berdua.
Kod pun ikut merasakan kebahagiaan kami. Ia bersalaman dengan ibu. seperti kebiasaannya, dia sok akrab dengan ibu.
“Fai, kau terlihat anggun dengan jilbab biru dongker ini.” puji ibu padaku sambil berjalan menuju meja makan. “Ayooo kita makan... ibu sudah hidangkan makananan yang enak-enak beberapa menit yang lalu.”
Usai makan, Kod pulang. Akupun mengantarnya hingga depan rumah. “Fai, aku harap kita bisa bertemu lagi besok.”
“lebih baik jangan, Kod.”
Ia terkejut, “Loh... mengapa? Kita hanya sekedar minum secangkir kopi. Tak lebih dari itu.”
“Kod, kita sudah dewasa. Gak  bisa seperti dulu lagi. Mengerti lah..”
“Baik lah. Tapi, bolehkan aku minta kontakmu?”
Kita saling bertukar nomor handphone. “Aku kan telepon kamu nanti.” Ujarnya sambil masuk dalam mobil.
▪▪▪
Jam 07:30. Di ruang keluarga.
Aku duduk di samping ibu sambil menyandarkan kepala di pundaknya. Kak Zar duduk di kursi yang berbeda. “Dek, besok kakak kan berangkat ke USA.”
Aku langsung duduk tegap. “Kok baru ngasih tau sih?”
“Maaf. Tiketnya udah dipesan.”
“Yah.. kakak.” Aku segera lari ke kamar. Aku kecewa sama kak Zar karena tak memberitahuku sejak awal.
“Kejar adikmu, dia marah...”
Aku berhenti melangkah ketika sudah di depan pintu. Kak Zar mengejarku. “Dek, dengar penjelasan kakak.”
“Jelaskan apa yang ingin kakak jelaskan. Tapi disini saja jangan masuk kamar.”
“Kenapa Dek?”
“Kita sudah dewasa kak. Tak baik berdua-duaan....”
Kak Zar memotong pembicaraanku. “Jika bukan muhrim? Iyakan? Bukanan kita saudara kandung?”
Aku terdiam sejenak. “Iya, tapi tetap saja gak boleh.”
“Baik lah terserah kamu. Awalnya kakak ingin bicarakan dulu usai menemui Kod di alun-alun. Tapi keadaannya tida mendukung dan menurut kakak ini lah saat yang tepat.”
“Jika itu alasannya, Fai terima kak. Maafkan Fai telah egois.”
“gak apa-apa.”
“Tinggalkan Fai sendiri. Fai janji besok kan mengantar kakak ke airport.

0 comments:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net