Cucu Abdul Karim
Burung-burung
enggan keluar dari sarangnya, mereka takmampu bernyanyi sambil melompati rating
dan dahan. Karna ranting yang menggigil semalaman kedinginan, kini semakin
membeku. Sinar mentari terlalu malu mengatakan pagi akan terang. Tanda-tanda
kehidupan lenyap begitu saja. Hujan rintik-rintik terlalu ambisius membasahi
tanah kering.
Sebelum
berangkat sekolah pastilah kamarku akan tetap berantakan. Dikarnakan simbo
selalu membereskannya setelah aku berangkat. Terkecuali dihari libur. Mengambil
Seragam sekolah yang telah disiapkan simbo didalam lemari tergantung rapih. Sembari
memakai seragam, terlihat dari cermin buku-buku berantakan diatas meja gadang.
Pensil berhamburan seperti takpunya tempat untuk bersinggah. Handphone menyanyikan
nada panggilan entah dimana. Terbingung mencari dimana Handphone berbunyi.
akhirnya aku temukan handphonku disamping tong sampah bersebelahan dengan meja
gadang. Satu panggilan masuk dari ibunya Wil yaitu tante Serly. Sesegera
kujawab.
“slamat panggi tante!
Ada apa ? ” handphone tercapit telinga dan bahu kakan. Tangn terus merapihkan
seragam. Dimasukan setiap ujung baju kesekeliling celana.
“Rio hari ini wilda
tidak bisa masuk sekolah”
“kenapa tante?” terkejut.
cepat mengambil hanedphone yang terapit. Posisi wajah lurus.
Satu
teman konyolku panas tinggi. Tetapi tak apalah, nanti sepulang sekolah bersama
Drim akan menengoknya. Sarapan pagi tidak pernah aku lewatkan. Nenek yang
sangat aku sayangi selalu menemani.
“Rio, Sepertinya hujan
akan berlangsung lama. Jadi kamu
berangkat sekolah diantar mang Ujang. setelah selesei sekolah mangujang akan
menjemputmu kembali” keduatangnnya disibukan dengn garpu dan pisau yang
memotong dan menekan roti diatas piring.
“tavi omah akukan bisa
bawa sihitam” mengkentikan tangn memptong roti dengan menatap omah.
“Omah tidak ijinkan hari
ini kamu bawa mobil, meski itu sihitam” tetap
terpokus pada sarapannya
“ah omah” elaku
“tidak ada kata ah”
sambil menatap ku
“baiklah” raut wajang
aga cemberut dengan senyuman menyamping kearah kanan sedikit kugoyagkan. Omah
tidak pernah menceritakannya padaku alasa kenapa ia tidak pernah mengijinkan
aku membawa mobol saat hujan turu. Kutahu dari embok Rias kalau kakek dulu meninggal
akibat tabrakan saat hujan turun.
Sehabis sarapan Aku segera
pamitan pada omah. Diam-diam kembali kekamar karna lupa mengambil kunci
sihitam. Anehnya kunci sihitan tidak ada ditempat biasa aku menyimpan. Apa
mungkin aku lupa menympannya. Aku conba cari dalam lemari kuci mobil keluarga, tetap saja tidak Aku
temukan.
“Rio kamu cari apa?”
Terkaget omah datang
menghampiriku diruang keluarga.
“tidak Omah aku haya...
aku mencari ini!” mengambil majalah. didekat penyimpanan kunci terdapat
tumpukan majalah.
“apa ini yang kamu cari
?” Oma mengangtat tangan kananya sambil memegang kunci sihitam.
“loh kok kunci sihitam
ada pada omah” sambil berusaha merayu omah untuk dapat membawa sihitam. Tetapi
sia-sia usahaku. Omah tetap bersikeras tidak mengijinkanku mengendarai mobil
saat hujan turun. Akhirnya aku mengalah. Omah membuntuti hingga aku masuk mobil
yang siap mengantar hingga kesekolah. Tetavi aku tidak kehabisan akal. Menghubungi
Drim untuk membawa kendaraan pribadinya. Kusuruh mang Ujang menghentikan
mobilnya didepan rumah Drim.
“mang ujang tunggu dulu
disini, aku panggi dulu Drim”
Seringkali aku
membodohi mang Ujang. Alasannya hendak panggil Drim untuk mengajak berangkat
baerng kesekolah. Nyataya aku pergi bersama Drim lewat gerbang belakang.
Biarsaja mang ujang nanti di marahin omah, karna teledor mengawasiku. Begitu
juga aku, pasi omah akan marah besar gara-gara membodohi mang Ujang dan tidak
mematuhi perintahnya.
Sesampainya diparkiran sekolah hujam belum
juga reda. Jam menujukan pukul 07.30 Wib. Terlambat 15 menit akibat memutar
balik arah, karna gak mau ketahuan mang Ujang. Hukuman apa lagi yang akan
diberikan guru pada kami. Hampir semua hukuman telah kami jalani. Dari mulai
membersihkan toilet, lari mengelilingi lapang, berdiri di depan kelas sambil
mengangkat kaki kiri dengan menjewer kedua telinga, menghormat bendera di
tengah lapang, Membawa kursi sampil lompat-lompat di depan kelas, bahkan
dimarahin habis-habisan oleh kepala sekolah karna tingkah laku kami tidak pernah
henti membuat jengkel para Guru. Sekarang
apa lagi hukumannya?.
Berlari menuju
ruangkelas ditingkat dua. Sambil canda gurau tentang hukuman yang akan
diberikan guru pada kami berdua. Ruangan kelas dengan desain bangunan memanjang
membuat kedua mata ini dapat melihat tempelan diatas pintu bertuliskan angka 12
diikuti dengan hurup G kapital. langkah kaki kami terhenti sesetika. Pak Dion
walikelas kami keluar dari ruangan 12 G. Dengan sangat repleks kami bersembunyi.
Satu kekonyolan telah kami lakukan. Karna terkaget melihat pak Dion keluar dari
kelas. kami salah bersembunyi, masuk keruangan kelas lain.
“sedang apa kalin”
suara seorang wanita berusia 35 bertanya pada kami
Memutar balik badan
kami sedikit demi sedikit. Semua pasang mata yang ada diruangan tertuju pada
kami.
“oh set, maaf bu kami
salah masuk” serentak kami keluar. Untungnya setelah kami keluar kelas lain pak
Dion sudah turun lewat tangga depan. sekarag kami tepat berdiri dihadapan ruang
12 G. Mengetuk pintu tiga kali berulang-ulang. Memninta izin masuk. Semua
pikiran negatif kami tentang hukukuman tidak ada satupun yang tepat. Guru
membiarkan kami masuk begitu saja.
“maaf bu kami
terlambat”
“ibu sudah tahu kalian
terlambat, cepat duduk”
Apa mungkin mereka sudah
kehabisan akal menghadapi tingkah laku kami. Entahlah! yang penting sekarang
kami tidak dapat hukuman.
Apakah ini mimip? Tidak
ini tidak mimpi. Ini nyata. Dari hasil informasi tadimalam, kalau ia akan
belajar diruang 12 F. Ternyata itu semua tidak benar. Ketiga kaliya aku
dikagetkan dengan sosok wanita halte. saat ini aku sungguh melihatnya berada
dihadapanku. Tepat dihadapanku, sungguh satu kelas denganku. Lagu-lagu kasmaran
seolah berdendang begitu saja. Langkah kaki ini begitu perlahan seakan melayang
diudara. Terkesima dengan Mata indahnya tertatap padaku. Senyuman manisnya
tersaji untuku. Berusaha membalas kembali senyuman manisnya.
“Halimah yo, halimah”
bisik Drim disampiku
“Rio, Drim duduk
dikursi kalian” teriak bu Dini yang melihat kami terus berdiri menatap Halimah.
Drim telah duduk di kursinya. Tetapi aku tidak mampu duduk. Terus terkesima,
terhipnotis bayangan dirinya. Kedua pasang mata Ibu Dini terpokus memandangiku.
Tetapi badanku tidak sedikitpun goyah.
“yo, yo. Rio ayo duduk” ucap Drim sambil menarik-narik
tangan kananku dari tempat duduknya.
“Riooooo” satu geraman
macan seakan menerkam nama Rio memadati telingaku.
“apa Bu” Terkaget bu
Dini berada disampiku.
“Duuduuk” tangan kiri dengan
satu telunju bu Dini terselujur mengarah pada kursi yang biasa aku duduki.
“iah bu ” menganggukan kepala. Semua siswa tertawa
melihatku. Termasuk Halimah, ia begitu terlihat manis.
Membuatku bosan menatap
teori yang tidak pernah menoleh untuk mempersiapkan bekal ruang abadi. Saat ini
aku menemukan gantinya. Biarlah mereka berbicara didepan seperti orang gila.
Tidak perduli teori tidak dapat kurangkul. Yang terpenting sekarang aku bisa
menatapnya seharian. Lensa ini tidak akan pernah bosan membayangkan halimah.
Tidak terasa dua mata pelajaran usai begitu saja. Bel istirahat meulai membisingi
seluruh ruangan sekolah. Kenapa hati ini tidak seperti biasaya. Merasa enggan
untuk berulah konyol, jail, dan memuaskan tawanya. Seakan semuanya sirna berada
didekatnya. Aku harus memberanikan diri berkenalan langsung denganya.
Setelah semua pelajaran
usai. Halimah membereskan buku mata pelajarannya. Satu buku warna merah muda
terjatuh dari atas meja, karna tagannya terlalu lembut memasukan beberapa buku
sekaligus kedalam tas. Halimah berusaha menggapai buku warna merah muda
sesegera aku mengambilnya. Mungkin kata orang saatnya momen tatap-tatapan
seperti di filem romantis gitu. setelah itu mereka akan mulai dekat dan saling
mencintai. Tetapi berbeda dengan ceritaku.
“ini bukumu!” ujarku
sambil memberikan buku Halimah
“Makasih!” jawanya
penuh dengan senyuman manis
“Aku Rio Sebastian”
Berniat berkenalan dengannya, Ku ulurkan tangan kanan. Tatapannya begitu indah seakan mau merespon
uluran tanganku. Tetapi kok berbeda. Ia haya merapatkan kedua tangannya dengan
serentak menekuk kedua dengkul kaki sambil menyebutkan namanya.
“Halimah” seakan senyuman tidak pernah lenyap dari
wajahnya
Salting adalah akronim
dari salah tingkah. Begitulah yang sekarang Aku alami. Secara sepontan Aku
angkat uluran tangan kanan mengarah pada kepala sambil menggaruk garuk. Tampak
tertulis kata malu dalam raut wajah. Mungkin ini pertamakalinya aku merasa malu
dihadapan wanita manis nan cantik.
“eh”
Saat aku mau bilang
“sekarag kamu mau kemana? Boleh aku temani? Dan sebagainya” tiba-tiba Felina
menarik tangan kanan yang berpura-pura menggaruk gatal di kepala, hingga tubuh
terseret mengikuti arah kemana ia membawaku. Berusaha berpamitan pada Halimah
dengan melambaikan tangan kiri.
“Sayang ayo kita makan dikantin”
Felin Agreani adalah
salah satu wanita tercantik yang ada disekolah. Banyak sekali para pasang mata
keranjang mengincar, haya sekedar untuk menjadi pacarnya. Kata orang Felin
manis. Tapi menerutku ia didak manis. Kalo tidak percaya coba aja jilat.
Paling-paling pas dijilat rasa yang ada asem. Kata orang Felin harum. Tetapi
menurutku ia tidak sedikitpun harum. Coba saja hirup keteknya. tetap aja yang
ada bau, bau dan bau. Anehnya saat orang bilang kalau Felin terlihat anggun
dengan ucapannya. Menurutku dia tidak anggun. Malah yang ada rewel, bawel,
sangat menyebalkan. Buktinya saat bersamaku mulutnya tidak pernah diam, bilang
ini bilang itu. Huh kayanya kepala ku akan pecah bila terus bersananya. Lebih
sebelnya lagi kalau ia sudah panggil diriku dengan kata “Sayang” “Embeb” “Hany”
“Bayby” sekalian aja babi gitu panggilnya. Harus kutegaskan berapakali kalau
Aku punya nama. Nama terkeren yang pernah ada yaitu “RIO SEBASTIAN” bukannya Bayby atau yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment