This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tarian Api Enam Tahun Silam (1)

Menetes air mataku ketika membaca sebuah kumpulan puisi. Mata enggan berkedip. Tunduk mengikuti lembar demi lembar episode hidup. Hanya hati yang berbisik, menggelitik jiwa tuk bergentayang menembus ruang dimana titik mula puisi-puisi ini tercipta. Sementara itu, dinding yang tangguh takzim memperhatikan. Jam pun seakan berhenti berdetak mengamini setiap kata yang kuucap dalam hati. Ku baca setiap bait dengan seksama.

Terlukis Indah
Ku ungkapkan tidak...
Padahal ya,,,
Ku ungkapkan ya...
Padahal tidak..           

Bukannya tak sakit     
Hanya saja pisau yang tumpul tak dapat menyayat hatku
Jarum yang patah tak dapat menusuk jantungku
Lidah yang tak dapat merobek hatiku

Namun, kau yang terlukis indah
Kau yang merajai
Kau yang menyempurnakan
Aku, yang  mendambamu

Selesai empat kali kubaca, ku terdiam mencoba menerawang masa itu.
▪▪▪
Enam tahun  yang lalu.
Aku masih berkumpul dikantin sekolah bersama teman-teman. Bercanda-tawa.  Iseng menjahili teman yang lainnya. Menghabiskan waktu bersama. Ya, walaupun aku bukan anak popular sekolah, tapi aku memiliki banyak cerita tentang masa sekolah.
22 Desember 2008. Seperti biasa aku pulang bersama Kodir sahabatku. Aku memanggilnya Kod. Aku suka panggilan itu. Entah apa alasannya. Orang berperawakan tegap, tipe mahasiswa STPDN. Berkulit sawo matang dengan senyum yang dihiasi lesung pipi tipis di pipi kanannya. Sesuai postur tubuhnya, dia bercita-cita menjadi abdi negara. Ya, cita-cita yang cukup menjanjikan. Maka dari itu, dia selalu menjaga kwalitas fisik dan otaknya agar mampu bersaing dalam seleksi penerimaan mahasiswa STPDN esok lusa ketika dia lulus. Dan sebagai sahabatnya, aku  sangat mendukung cita-citanya walau agak khawatir dengan desas-desus tentang aksi brutal senior STPDN saat OSPEK. Tapi, jikapun terjadi hal semacam itu, aku yakin dia mampu melewatinya.
“Kod..?”
“Ya...”
“Percepatlah langkahmu! Entah mengapa aku sangat merindukan rumah.”
“Haaahhh.” Mendongak kaget. “Tumben?” tanyanya.
“Entahlah.”
“Heem...”
Kami mempercepat langkah. Dengan terus bercanda aku terus melenggang pulang. Semakin mendekati rumah, semakin dada ini dagdigdug tak karuan. “Ada apa dengan aku?” Pertanyaan itu kontak muncul dari hatiku. 400 meter mendekati rumah, rasaku semakin kacau. 300 meter, hatiku seakan berlari mendahului ragaku tuk sampai di rumah. 200 meter, akhirnya aku ikuti hatiku. Berlari. Belokan terakhir gang Anggrek, aku berhenti. Diam memperhatikan sekitar. Tersadar.
“Kod..?”
“Ya.”
“Kemana orang-orang?”
“Loh, memang kenapa?”
“Perhatikanlah”
“Ya, sunyi.”
Kami terpaku melihat keheningan gang anggrek. Gang yang biasa ramai dengan tingkah polah warganya, kini sepi. Hingga teriakan itu mengagetkanku.
Awwwwwaaaaaaaaaaaaaassssssssssss, minggir! Budak teh kalah cicing di tengah jalan. Teu terang nuju riweh batur teh” Bapak itu kesal. Menceracao sambil terus berlari memanggul selang. Aku hanya mengangkat alis. Bingung. Satu sisi yang kembali membuatku berfikir, mengapa gang ini sangat becek. Padahal bulan ini masih dalam hitungan musim kemarau.
Eleuhh, neng. Naha cicing wae di dieu. Rumah neng. Rumah.” Kang Darman tetangga sebelah rumahku terengah-engah berusaha menjelaskan sesuatu.
“Rumah? Kenapa dengan rumah, Kang?” aku bertanya memperjelas.
“Kebakaran! Rumah neng kebakaran!” jawab kang Darman jelas.
Dengan segera, hatiku panas. Rasanya api yang berkobar di rumahku merembet membakar hatiku, kini. Aku segera berlari. Tak perduli apapun. Kacau. Ternyata hatiku yang resah berusaha menunjukkan kejadian ini.
Sesampainya di depan rumah, hanya hitam dan merah yang terlihat. Rumah mungil bergaya minimalis hangus terbakar. Aku lunglai. Nafasku sesak. Otakku panas. Mataku nanar menyaksikan tarian api itu.
“Ibu...” aku terperanjat teringat ibu. “Ibu, Kod. Ibu..!”
Kod yang sedari tadi diam mengelus pundakku, ikut terperanjat. “ ya, ayo kita cari.”
“Ibu dimana, Kod?” tanyaku.
“Iya, kita cari. Tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang. Kau tau Kod, dia satu-satunya hidupku. Dan kau lihat Kod, rumah kami hangus. Tak tersisa. Kau masih menyuruh aku tenang, ketika belum menemukannya? HAH!” Suaraku meninggi. Mataku menajam mengatakan hal itu.
“ Ya, aku tau. Tapi bagaimanapun kau harus tenang.”
“Tenang? Kau kembali menyuruhku tenang? Apa gunanya kau di sini, Kod? Jika hanya mengatakan hal itu. Tenang. Tenang. Ten.....”
“Dan apa gunanya kau di sini jika kau hanya menceracau, menyalahkan orang lain, hah?! Bukankah lebih baik kau bergegas mencari ibumu dari pada hanya mengeluhkan nasibmu. Apakah disini hanya kau yang merasa kacau, hah? Lihat sekitarmu, semua orang disini merasakan hal yang sama.” Kod memotong  rutukanku, dengan nada tinggi jua. Pertama kalinya dia mengeraskan suaranya di depanku dan kepadaku.
Aku terdiam. Sembunyi-sembunyi mengamini perkataannya. “Kod, dimana ibu?”
“Maka dari itu, tenanglah. Kita cari ibu. Kau harus tenang.” Perintahnya Kod, halus.
“Ya.” aku berdiri. kembali menatap sekitar. Guyuran air dari segala sisi terus membasahi rumahku. Teriakan warga, saut menyaut menyampaikan kekuranga ini itu. Tapi di tengah kejadian itu, tak sedikitpun, aku melihat sosok ibu. Samar aku melihat teh Icih. “Teh, Teh Icih..” Teriakku lantang. Yang dipanggil hanya menoleh kekanan dan kekiri mencari suara yang memanggilnya. “Teh, teh Icih..” teriakku lagi tak kalah lantang. Kali ini aku kumpulkan seluruh tenaga tuk menghapirinya. “Teteh..” panggilku sambil melangkah dipapah Kodir. “Teh..”
“Neng..” akhirnya yang dipanggil menyadari panggilanku.” Ya Alloh, neng. Kemana wae. Neng teh ditungguin enggak dateng-dateng. Rumah neng, rumah.”
“Ya teh, rumah habis terbakar. Tapi, yang terpenting ibu dimana teh?” tanyaku langsung.
“Ibu?” jawabnya terkejut.
“Ya teh, ibu dimana?” tanyaku lagi.
“Ibu...”
“Dimana teh?”
“Ibumu..”
“Dimana?!” Aku mulai tak sabar sembari khawatir.
“Ibumu ada di rumah bu haji.” Jawab teh Icih.
“Ya. Kita harus kesana Kod. Ayo! Ajakku memaksa.
“Tapi...” teh Icih kembali berbicara. Namun aku tak sedikitpun perdulikannya. Aku tarik Kod menuju rumah bu haji yang hanya terpisah  4 rumah dari rumahku. Aku berlari sekencang yang aku bisa. Kod, terus mengingatkanku tuk berhati-hati. Ah, siapa yang perduli dengan nasehatnya tentang berhati-hati. Yang terpenting saat ini adalah aku bertemu ibu. Aku terabas kerumunan orang yang lalu lalang mengangkut air sambil terus memegangi tangan Kod. Tiba di depan rumah bu haji, aku kembali heran, mengapa banyak ibu-ibu yang berkumpul disini. Dan sebagian dari mereka berwajah sembab.
“Assalamualaikum..” sapaku.
“Wa alaikumsalam..” jawab mereka serempak.
“Neeennnggggg....” Bu haji menghampiriku dengan tangisan. “Neng, sing sabar nyak geulis.”
Aku terpaku sesaat. “Bu haji, kata teh Icih, ibu ada dirumah bu haji? Dimana?”
Mendengar pertanyaanku bu haji semakin terisak. “Ibu. Ibu. Ada di dalam, Neng.”
“Alhamdulillah.” Jawabku sedikit lega.
“Tapi...” Bu haji membuka pembicaraan lagi.
“Tapi? Tapi kenapa bu?” Tanyaku resah. Tak menunggu lama aku berlari ke dalam. Alunan ayat Al-Quran yang tak asing, terdengar semakin keras. “Mengapa ada lantunan yasin?” bisikku pada diri sendiri. Aku semakin melangkah ke dalam. Ke ruang tengah rumah bu haji. Di mana lantunan Yasin itu berasal. Aku berdiri tercekak. Memandang lingkaran itu. Mereka pun tertegun melihat kedatanganku. Tiba-tiba hening menyerang. Hanya desisan angin yang terdengar dari lubang fentilasi.
“Neng....”akhirnya ibu haji memecah keheningan ini. “Ayo kita ke ibu.”
“Ya.”jawabku singkat. Aku berjalan mengikuti bu haji. Entah benar atau tidak, aku merasa setiap langkahku di ikuti oleh mata para pelantun Yasin itu. Aku di ajak ke salah satu sudut dimana ada hal yang disembunyikan dibalik samping batik warna coklat. Siapa atau apa dibalik samping itu? Aku semakin resah. Bertanya atas keadaan ini.
“Neng...” panggilan bu haji menghamburkan pikiranku.
“Ya, bu..” jawabku masih singkat.
“Neng, pernahkah kehilangan sesuatu yang sangat dicintai?”
“Ya, pernah.” Jawabku semakin tak mengerti mengapa ada pertanyaan itu.
“Bagaimana rasanya?” Tanya bu haji lagi.
“Sedih. Marah” Jawabku.”Mengapa ibu bertanya hal tersebut? Sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku melepas kecurigaan.
“Jawablah dulu. Nah, kesedihan dan amarah itu apakah akan bertahan lama?” tanyanya lagi.
“Tidak.”
“Selanjutnya apa yang kau lakukan?”
“Mengikhlaskannya.”
“Nah, benar sekali. Dan itulah yang sekarang harus kau lakukan, Neng.”
“Maksud ibu?” tanyaku semakin tak mengerti.
“Ibulah yang dibalik samping itu, Neng.”
“Apa.....”Rasanya petir baru saja menyambar tubuhku. Hatiku sesak, serasa tak terisi udara sedikitpun. Neuron di otakku seakan berhenti menjalar, sehingga hanya hitam dan putih yang terlihat tanpa ada makna. Mulutku kaku, hanya bisa menumpahkan kata-kata dengan air mata.”Ibu?”
“Ingatlah tentang keikhlasan, Neng.” Bu haji mengingatkanku sambil mengulur air mata.
“Ibu..” Hanya kata itu yang bisa terucap disela tangisanku. Aku berduka.

13. Rayuan Rembulan


Karya: Cucu Abdul Karim
Rupa berharap kekasihnya akan datang menghampiri. Meski Ia enggan mencari tahu sosok diriku telah merindukannya. Hati pilu terus bersembunyi dalam kesakitan. Ia paham atas kekagumanku. ia begitu paham atas rasanya. Mengagumi hati yang berusaha mengingkari semuanya, telah memberi harapan hampa. Hingga kehampaan ini sedikit terisi oleh sosok yang benar-benar menerimanya.  
Sunyi tertahan dalam suasana. Serangga malam terus menyanyikan lagu sepi. Tubuh bersandar pada kursi panjang dari bambu yang terbaring menempel erat didepan rumah. Sinar rembulan membuat jarak pandang remang-remang disekeliling. Rindu mulai datang menyentuh pikiran. Seakan rembulan membisik untuk menegoknya lebih dekat. Tubuh ku terperingak menatap sag rembulan. Lima puluh meter dari depan rumah, raga ini berdiri tegak menghadap. Aku tidak mengerti kenapa tiba tiba halimah berada disini. Ia keluar dari dalam rumah bambu. berjalan kearahku meski terlihat samar-samar.
“Bagai mana kabarmu Halimah? Masikah engkau teguh dengan keputusanmu? Adakah cara untuk membuatmu luluh? Jangan pernah katakan aku harus melupakanmu?”. Gumam dalam hati.
Ia kini berdiam diri. Lisannya tersenyum melebar. Apakah aku benar-benar sedang melihat Halimah?. Senyumannya bukanlah senyuman Halimah. Tentu tidak, aku tidak melihat Halimah. Tetapi aku melihat Humaeroh. Yang kulihat bukan Halimah tetapi Humaeroh. apa mungkin Humaeroh. kenapa dengan otak dan diriku ini? ada apa dengan semuanya?. Dia bukan Halimah, tetapi dia adalah Humaeroh. Menundukan kepala sedikit menyamping kesebelah kanan. Jantung berdetak semakin kencang. Berulangkali menghela napas.
“apakah rembulan malam ini membuat mas berada diluar?” di anyamnya kedua tangan. Tidak mampu menjawab dalam kondisi ku seperti ini. “mas sakit?” nadanya terdengar hawatir. Jari tangannya memegang lenganku. Memakai kaos lengan pendek membuat telapak tangan Humairoh menyentuh langsung kulit lenganku. Begitu terasa sangat hangat. Detak jantung semakin kencang. Mulut seakan terkunci rapat. “mas sakit? katakan sesuatu Mas!” nada suaranya semakin hawatir. Sekarang telapak tagan kananya menempel didahiku. Aku dibuatnya mati kutu. Terjebak dengan keadaan dan perasan. Sepertinya aku harus segera mengakhiri gejolak didada. Meraih kedua telapak tangannya yang merekat erat dilengan dan dahi dengan kedua tangnku. Melepaskannya kembali pegangan tangan.
Diriku masih terdiam membisu. Mengangkat wajah terarah padanya. Berusaha menghindari tatapan mata indahnya, aku tak mampu. Saling bertatapan, tengah membunuh seluruh tingkah. Begitu mudahkah hati menaruh rasa?. Mungkin rasa ini hanya kesalahan semata. Humaeroh memutar balik badan dengan tiga langkah kedepan.  
“esok aku harus bangun pagi-pagi” melanjutkan kembali langkah kakinya.
“Haruskah hari esok menjadi alasan untuk mengingkari semuanya?” ia kembali berhenti “jangn biarkan kita menipu diri kita sendiri”
“mas tidak melihat diriku. Tetapi mas melihat sosok lain dalam diriku” tubuhnya membelakangi.
“sejak kapan kamu bisa membaca pikiran orang lain?... Atau hanya sebuah pendapat. Sayang pendapatmu telah keliru. Aku tidak melihat sosok lain dalam dirimu. Aku benar-benar melihatmu. Memang  kisah lama masih aku ingat. Sebuah penantian terus kutunggu. Tetapi itu bukanlah kisah sesungguhnya. Karna kisah sesungguhnya adalah kisah bersamamu. Penantian yang kutunggu bukanlah penantian penuh kepiluan. Tetapi penantiaku sesungguhnya adalah menantikan dirimu, menantikan keikhlasan hatimu menerimaku dalam sosok jadahnya”.
“besok aku akan kembali kekota, ”
Tak ada sebuah kalimat kembali terucap diantara kami. Humaeroh enggan merespon utara hatiku. Ia melajutkan kembali langkah kaki yang sempat terhenti mendengarkanku. Meski memag awalnya akumelihat Humairoh seperti melihat Halimah. Sekarag bayangan itu telah lenyap. Humairoh berbeda dengan Halimah. Sosok baik, ramah, penyayang, perhatian, terpenting ia bisa menerima seseorag apa adanya.
Sudah sangat larut malam. pintu masih terbuka. Empat bambu terbaring rapat didepan rumah, menjadi sandaran punggung kasmara. Betis merapat dengan paha. Dengkul menjadi penyanggah lengan. Wajah kagum terukir dalam kerutan kening. Kornea hitam tertahan keatas. Aku masih menunggu rembulan mengatatakan jawaban kebaikannya. Mungkin ia begitu malu.
Suasana rembulan dalam malam terlalu mudah untuk berlalu. Singkat kisah malam telah pergi tampa sebuah janji ikatan.

12.Hati Pendengar

12.Hati Pendengar
Cucu Abdul Karim
“Ini adalah jalan hidupku yang tak harus kalian komentar. karna aku tidak pernah meminta kalian untuk menilai jalan tabir kehidupan ini. Bahkan aku tak pernah membayar kalian untuk menilai setiap gerak-gerik pergerakan daging ini. Apalagi menyuruhku untuk merubah gaya hidup, hendak menuruti semua aturan mereka, berbusana seiring keingina merek. Seakan  menata setiap pijakan diatas alur dan sekenario yang mereka buat. Ingat aku bukanlah sebuah boneka tali yang akan terus meresapi semua ocehan dan cacian nikmat bagi tegukan rongga mulut kalian. Meski terlihat seperti segumpal daging hina saat kalian tatap masa suram peraktik dosa asal diri ini. Tetapi aku takakan pernah menjadi sosok perilaku dari tingkah induk dan jalu asal diriku. Aku memilih menjadi diriku sendiri, bersama sekenario takdir yang siap memangkas habis masa suram dimasa lalu”.
“Masihkah sebuah kalimat akan kalian persembahkan saat suasana membunuh tingkah laku. Ketika kalian melihat kenyataan yang kalian anggap seperti sebuah rekayasa. Meski terlihat seperti sebuah rekayasa, hendaklah terima dengan akal sehat kalian. Kini berawal dari sebuah sair-syair tetangga begitu memuaskan saat mengucapkanya. Kata mereka aku ini adalah anak haram yang tak seharusnya berada dimuka bumi ini. karna ilusi mereka menganggapku adalah sebuah janin yang tumbuh membawa petaka atau musibah bagi mereka dan lingkungannya. Bahkan saat riak-riak bocah sepermainan daging ini dinggap kesialan bila berada dalam kerumunan permainnan. Setiap kali bermain riang germbira, tetaplah diakhiri dengan sebuah petaka yang membuat kawan sepermainan menjadi resah. Kini janin telah dewasa. Rasa Malu, takut, terpojok, hina, menangis, cemoohan, penyisihan, senyum, tawa, sanjung, bahagia, dan kasih sayag akan setersimpan rabih dalam benak jiwa” bersandar pada kayu penyanggah genting bangunan.
Wajah tegap menatap lurus. Kabut mulai pudar melenyapkan dirinya. Jarak pandang mulai leluasa. Dapat disaksikan sajiam alam. Dari kejauhan terpandang kebun teh seakan tersisir rapih. Hewan ternak keluar dari sarangnya. Orang-orang disekitar terlihat begitu ramah. 
“jangan terlalu banyak melamun” ucap kake tua tengah berdiri disampingku. Dengan sedikit terkejut, satu senyuman kuarahkan seolah penjawab seruan kake tua. “ada kalanya kita harus merasa malu pada alam. Kita menikmati kekayaannya tetapi kita salah memanpaatkannya. Merusaknya tanpa ragu” ucap kembai kake tua karna melihatku menatap kembali suasana alam sekitar. Satu senyuman Aku utarakan kembali pada kakek tua.
“siapa namamu na?” kata sapa yang merdu menghampiriku dari sikakek. Berawal dari sebuah pertanyaan, telah melahirkan banyak perbincangan antara kami. Kake Heru namanya. Usianya satu abad minus 45 tahun. Ia merupakan tokoh masyarakat dikampung Pamijahan. Memiliki satu orang anak perempuan membuatnya sangat bahagia. Na’as kebahagiaannya telah diambil kembali oleh sang pemilik. Putrinya meninggal ketika melahirkan bayi pertamaya. Sedangkan menantunya tidak pernah pulang dari perantauanya. diperantauan menantunya bekerja menjadi penggali emas. Pekerjaan beresiko tersebut telang merengun nyawa menantunya. Ia tertimpa tanah longsor saat berada didalam lubang penggalianemas. Mayatnya tidak ditemukan. Satu kebahagaan telah tumbuh kembali, karna kakek heru memiliki satu orang cucu yang tinggal bersamanya. 
Kampung Pamijahan terletak disebelah utara perkotaan. Jarak dari kampung kepusat kota tidak ada yang tahu. Namun apabila diukur dengan waktu, sekitar tujuh jam perjalana untuk sampai kepusat kota. Sekarang aku ingat kalau tadimalam aku salah mengambil arah. Seharusnya kearah barat malah mengambil arah utara, hingga aku terdampar dikampung ini. Tadi malam aku pergi dari rumah halimah Jam 19.15 Wib. Terbaring dikampung ini mungkin jam jam tiga malam. Seketika itu aku tertidur dimesjid ini. Kini Aku dalam posisi duduk dengan kedua kaki terselunjur kedepan. Sedangkan kake heru duduk melipatkan kakinya.
“kenapa na Rio bisa sampai disini?” kutengok wajah kake Heru, seketika kembali menatap lurus ke depan. Pertayaannya membuatku mengingatkan kejadian tadimalam. Mengingatkaku pada Halimah. Membuat hati ini begitu terasa menyesali karna membuatnya bersedih. Tetapi aku harus tetap tegar meski rasaya hatiini begitu sangat sakit. 
“entahlah ke. Tetapi mimpi buruku tadi malam membuatku terbangun ditempat ini” Kini kabut benar-benar telah menghilang. Suasana pagi terasa begitu sejuk.
“sepertinya Aku harus segera pulang. Cucuku pasti hawatir. Marilah manpir kerumahku” Berdiri, dua langkah kedepan dengan mengenakan satu persatu alas kakinya.
“trimakasih atas tawarannya ke. Tetapi sepertinya aku harus kembali, keluargaku pasti hawatir  karna semalaman aku tidak pulang” 
“baiklah na. Barangkali nanti kamu membutuhkan sesuatu, datanglah kerumah kake. Hati hati dijalan” ia kini benar-benar pergi dari tatapanku.
Mengeluarkan handphone dari saku kanan untuk menghubungi Omah. Menekan tombol aktifpasi tetapi tidak ada tanda-tanda akan menyala karna baternya habis. Simerah terparkir diatas rerumputan. Tubuhnya penuh dengan lumpur. memutar kunci setater seakan repleks simerah menyala. Apa mungkin aku akan sampai menuju pusat kota sedngkan bahan bakar simerah dalam jarak beberapa meter akan habis. Meraba saku belakang dipantat clana jinsku. Seakan begitu lengkap penderitan ketia sadar aku tidak membawa dompet. Karna tadimalam terburu-buru menemui paman Heri.
“oh set. Sekarang apa yang harus aku lakuka? handphone mati, bahan bakar simerah habis, dompeet ketinggala” sambil menutup pitu simerah. Sekarang aku akan benar-benar membuat semua orang hawatir.
Satu-satunya orang yang aku kenal dikampung ini adalah kakek Heru. Kebetulan rumahnya  tidak jauh dari lokasi mesjid. Tigaratus meter dengan menyusuri jalan terdapat rumah sederhana terbuat dari anyaman bambu. Pagar munglil saling berdempetan mengelilingi rumah bambunya. Terdapat tempat jemuran disamping rumah. lima puluh meter sebelah utara rumah berdiri satu  bangunan kecil dari kayu tempat hewan ternak berteduh. Dan disebelah selatan rumah, berdampingan dengan tempat jemuaran terdapat gubuk keci. Didalamnya tertumpuk alat-alat teradisional terbuat dari bambu hasil buah tangan. Pintu rumah terbuka lebar. Terdengar percakapan singkat dari dalam rumah. kulanjutkan langkahkaki hingga berada didepan pintu. Melirik kearah kanan kiri.
“aslamualaiku” usai mengucapkan salam, tertengok ikat sepatu terlepas. Merndahkan tubuhku hingga dalam posisi jongkok. Kepala ini tertunduk kebawah. Kedua tangan  menarik tali sepatu dan mengikatkannya kembali.
“waalikumssalam” aku terpaku dibuatnya. sosok seorang gadis datang menyapa dari dalam rumah bambu. Dikenakannya kerudung warna merahmuda, Baju lengan panjang dan Rok hitam aga kusam. Senyumannya sama persis seperti Halimah. Kilauan matanya membuat mataku terasa begitu nyaman. “Halimah” igau ku dengan terperangak bediri. Kuusap wajah terpesona dengan keduatagan. memutar badan hingga membelakanginya. Wanita ini bukan halimah ia tidak nyata. Ini halusinasi.
“siapa?” kakek Heru datang menghampiri.
“aku tidak tahu kek” gumam lembutnya terus mengingatkan Aku pada halimah. memutar kembali tubuh. Sekarang aku yakin ia bukan Halimah. Kedua mata Gadis berparas cantik terpokus melikaht keanehanku. Kini Kakek Heru berada disamingnya.
“eh nak Rio, ayo masuk!”
“ayo mas masuk” gadis cantik menuturi kalimat yang diucapkan kake Heru
Sesegera mungkin masuk kedalam rumah. Dari pintu utama dapat terlihat sebuah dapur super sederhana penuh asap. Terdapat satu kursi kecil dari kayu dalam ruang kosong. Tikar terbuat dari hata menutupi seluruh ruangan. Tiga kamar kecil berukuran tiga kali tiga berbaris sebelah utara rumah. Dinding dari anyaman bambu menjadi pemisah antar kamar. Terdapat satu helai kain terbentang disetiap kamar sebagai pengganti pintu. Satu jendela seperti sel kayu kecil menjadi pentilasi kamar. Satu lampu kuning menggantung ditengah rumah.
Duduk manis dihadapan kakek dan gadis cantik. Menceritakan apa yang tengah terjadi, hingga aku tidak bisa kembali pagi ini. Aku tidak tahu kapan aku aka kembali. Mungkin hari esok , lusa, satu minggu, dua minggu, hingga beberapa bulan.
Kebaikan kake Heru membuatku bisa tinggal dirumahnya lebihlama. Kisah terdampar dikampung terpencil mengajariku untuk hidup sederhana. Bahkan tidak bisa dikatakan sederhana, alias hudup seadanya. Tidak ada kata mewah terungkap dalam keseharian. Tetapi mereka begitu sangat bahagia.
Sudah dua belas hari aku berada dikampung ini. Sekedar menenangkan pikiran. Selama itujuga simerah terdiam ditempatnya. Aku tidak pernah mengabari siapapun. Baik itu omah, ketiga sahabat konyolku, apalagi Halimah. Dia takakan perduli pada kondisiku. Karna tidak banyak yang dapat kulakukan. Desa ini sagat jauh dari perkotaan. Akses kendaranpun sangat sulit. Bahkan penerangan saat malam dikampung ini sangat buruk. Terdapat dua atau tiga lampu disetiap ruma. Terasa begitu sangat sunyi bila malam datang.
Membantu pekerjaan kake mungkin akan sedikit meringankan bebannya. Kake Heru bekerja sebagai pengrajin alat-alat tradisional rumah tangga. Satu-satunya keluarga kake heru adalah wanita berparas cantik yang kini berada dihadapanku. Namaya Humaeroh. Ia berusia delapan belas tahun seusia denganku. Ia haya mampu menempuh pendidikan hingga Sekolah Menegah Pertama. Selanjutnya ia sering membantu kakenya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak dapat melanjukan pendidikanya kejenjag lebih tinggi, dikarnakan biaya sekolah yang mahal, tidak membuat Humaeroh untuk putus asa. Ia tetap tersenyum menyongsong hari esok.
Sekitar lima ratus meter dari rumah kake terdapat ruang belajar untuk mendalami ilmu Agama. Biasaya Humaeroh pergi mengaji sehabis salat magrib hingga usai salat isha. Sudah tiga kali aku ikut mengaji bersamanya. Sering kali aku merasa malu ketika para gadis terus menatapku. Seperti jiwa tidak tahu maluku hilang entah kemana. Rasa GR melambung tinggi dihidungku. Selain itu bayak sekali para pemuda dikampung iri padaku. Dikarnakan aku selalu bersama Humaeroh. Bayak sekali lelaki mendamba-dambakan Humareroh karna kecantikan dan kebaikan hatinya. Kembang Desa atau Mojang Parahiangan menjadi julukannya.
Kalimah kiparatulmajlis menjadi do’a penutup pengajian. Sahalat isya berjamaah menjadi kebiasaan baik dilakukan usai pengajian. Humaeroh telah membereskan alat solatnya begitujuga aku. Kutunggu didepan Musola hingga ia datang. Kamipun segera pergi pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan. Malam ini bulan begitu terang. Seluruh tubuhnya terlihat sangat bulat. Kami berjalan dengan berinteraksi satu sama lain. Hingga Aku utarakan satu pertayaan mengenai diriku yang telah ia ketahui.
“humaeroh, apa kamu tidak malu berjalan bersama dengan sosok jadah di masalalunya?” dengan sedikit menolehnya.
“haruskah kita memandang masalalunya? Masalalu bukanlah hal yang harus di permasalahkan. Biarlah masalalu menjadi sebuah gambaran. Yang penting bagai mana perilaku kita yang sekarang dan bukan masa suramitu!” kedua taganya memegang erat tas kecil berwarna putih berisikan alat solatnya.
“meski kau belum tahu persis orang itu benar-benar baik?” seketika aku terhenti dari langkahku dengan menghadap kearanya. Begitujuga Humaeroh. Tetapi posisinya terus menghadap kedepan. Selama kami pulang besama dari pengajian, ia enggan menatap ku begitu juga orang lain.
“banyak orang yang terlihat suci, tetapi dalam hatinya tertanam dengki. Banyak orang yang merasa dirinya baik sehingga ia tidak mau berdampingan dengan orang yang dianggapnya tidak layak bersamaya. Sering kali kita dibutakan oleh pandangan. Ada orang terlihat biasa atau jahat, tetapi dalam hatinya terdapat kelembutan dan keihlasan kasih sayang!” ia begitu pasih mengatakan kata-katanya. Wanita muslimah ini tidak pernah menyombongkan dirinya. Seperti ia tidak memiliki rasa Khusnudjan dalam pikirannya. Ia anggap semua orang baik sebelum ia melihat benar-benar orang itu berperilaku salah. Kami melanjutkan perjalanan. masih separuh perjalanan lagi untuk sampai kerumah. Kini hanya kami berdua berjalan menyusuri telapak kaki.
Dengan cepat kupalingkan tatapan mata ini kebelakang.
“ada apa Mas” tanya kaget Humairoh dengan tubuhnya yang menyamping menghadap padaku. “Tidak, mari kita lanjutkan perjalananya” Seperi ada orang yang mengikuti kami. Apa mungkin ini haya perasaanku saja. Kami melanjutkan kembali perjalanan meuju rumah. Langkah Humairoh terhenti begitu saja. Begitu juga denganku.  Terlihat dari depan seorang lelaki kira-kira tinggi badan 170 Cm beda tipis dengan tinggi badanku. Aku kira haya dia seorang. Satu orang keluar melompat dari semak seksemak. Dan satu lagi berjalan santai mengarah pada lelaki yang petama kali aku lihat. Diikuti oleh lekaki yang keluar dari semak-semak. Terhenti seketika dengan memperbincangkan sesuatu yang tidak berlangsung lama. Setelah itu ketiga orang itu meuali barjalan mendekati kami. Herannya Humaeroh tidak sedikitpun terlihat takut. Ia malah tersenyum seolah mentertawakan tingkah laku ketiga orang itu. Kini mereka berada didepan kami dengan jarak satu meter. Mereka mulai berpencar. Satu orang seperti bosnya tetap berdiamdiri, satu orang berjalan kearah kiri dan yang satunya lagi berjalan kesebelah kanan. Seperti sebuah rencana pengeroyokan atau seperti sebuah perencanaan pemerkosaan masal. Humairoh masih tersenyum.
“apa kamu mengelan mereka?” sedikit kutelengkan badan ini membisik pada humairoh tanpa jawaban.
“Apa yang sedang kalian lakukan ditempat ini?” tanya berani Humaeroh tetap pada posisinya.  
Lelaki didepan kami tiba tiba menjulurkan tangn kanannya dengan mencolek dagu Humaeroh. Dengan sagat cepat humaeroh menakis tangn lelaki itu hingga mengayun kembali keposisi awalnya.
“dengan sikapmu yang seperti ini, kamu terlihat sangat manis” Ia terlihat begitu bernafsu melihat Humaeroh. Ini sudah terlalu berlebihan. Saat ia berusaha mencolek kembali Humairoh, kepalan tangan kananku mendahului menyentuh mukanya. Badannya tercengan kebelakan. Ia sempoyongan hingga terjatuh. Kini posisi Humairoh berada dibelakangku. Anehnya tidak kulihat kedua temanya menyerangku. Apa mungkin mereka sudah kambur ketakutan. Menengok kebelakang. Humairoh berdiri tegap pada posisinya. Aku sungguh terkaget dengan semua ini. Kedua temanya sudah terbaring kesakitan diatas tanah, sambil memegang pipi mereka masing-masing. Ketiga orang itu bangun dan lari terbirit birit.
“mari Mas. Mungkin kita tengah membuat kakek hawatir” ia berjalan dengan senyuman manisnya. Aku sunggu tidak percaya dengan semua ini.
Sesampainya dirumah kuceritakan kejadian barusan pada kakek yang sedag duduk menyandar dikursi kecil. Bukannya reaksi hawatir karna cucunya hampir celaka, ia malah tertawa terbahak-bahak.
 “Seringkali ia diganggu oleh anak-anak lelaki saat pulang dari pengajian. Tetapi itu tidak membuat kakek hawatir. Karna selama ini kakek telah mengajarkannya ilmu beladiri”. dipeluknya satu dengkul.  
“Pantas saja sikap Humaeroh tadi tidak sedikitpun merasa takut. Ia malah tersenyum manis”. Gumamku dalam hati. Sedikit tersenyum memandang humaeroh sedag mempersiapan makakan malam didapur. Rumah bambu ini terisi oleh tawaku yang terpingkal-pingkal mendengar cerita kakek tentang orang-orang yang berusaha mengganggu Humaeroh. Ujung-ujungnya mereka yang kesakitan, bukannya Humaeroh.
“apa na Rio tidak merindukan keluarga dikota?”
“aku tidak tahu bagaimana aku bisa menghubungi mereka. Handphonku mati total, batrainya habis. sedangkan aku tidak membawa casanya”. Keluhku bersama badan hendak terbaring menatap atap.  “huun” suara hembusan napasku seolah merindukan kelouarga. Kini aku sekarang benar benar merindukan keluargaku. Bagaimana caranya aku bisa sampai kepusat kota. Sedagkan tidak ada uang sepeserpun. Melihat kondisi kakek yang seperti ini membuat ku malu untuk membicarakan uang.
“diBaledesa ada telepon umum, biasa digunakan para warga mengubungi kerabat jauhnya. Mungkin akan sedikit membantu na Rio menghubungi keluarga dikota. Berangkatlah besok pagi. Humaeroh akan mengantarmu!”
“benarkah!” terbagun dari tidur. Mata melotot menanggapi perekataan kakek Heru. 
“apakah kita perlu pergi kebale desa?”. Halimah berdiri dengan kedu dengkulnya. Badannya sedikit condong kedepan. tagankanannya memegang baki, secara otomatis tangan kanan menyimpan makana ditengah tengah kami. perkataannya membuat kami terheran.
“apa mungkin kamu malu berjalan denganku besok kebale desa?” Halimah berusa menghindari tatapanku. Usai menyiapkan semuan makanan ia masuk kedalam kamarnya. Aku dan kake terdiam bengong menlihat sikap ia malam ini. Entah apa yang sedang dilakukannya. selama satu menit di dalam kamar, ia keluar kembali. duduk disampingku penuh pertanyaan. Seedikit tersenyum mengangguk pelan.
“mungkin ini dapat mengurungkan niat mas Rio untuk pergi kebaledesa.” disimpannya dihadapanku casan Handphone dengan ujung kabel sesuai bentuk lubangnya.
“darimna kamu mendapatkannya?” taya senyumku. Mengambil casannya sedikit mengamati bentuk penyanbungnnya.
“cobalah dulu takut tidak pas”
Selama ini halimah memikirkan bagai mana aku bisa menghubungi keluargaku di kota. Ketika membereskan kamarku setiap pagi, Ia melihat henponku selalu tersimpan mati dikamar. Ia perhatikan bentuk lubag pengisi batrainya. Memang sudah lama ia mencari cari diwilayah kampung kepada warga. Tetapi takada yang memilikinya, dikarnakan dikampung ini sangat jarang orang yang memiliki  handhone. Dapat terhitung satu atau dua orang yang memilikinya, itu juga casannya berbeda. Humaeroh sempat putus asa mencari casan yang bentuknya sama dengan pengisi batrai miliku. Kebetulan hari kemarin ada kerabat temanya berkunjung dari kota. Satu kebetulan lagi ia membawa casan mirip dengan bentuk pengisi batrei Henpunku. Ia meminjamkanya untuku. Pantas saja tadi siang ia tidak ada dirumah. Baru tadi sepulang pengajian halimah menerimanya. Sebenarnya ia akan langsung memberikan nya padaku. tetapi karna aku terburu buru mengajaknya pulang ia takada kesempatan untuk mengatakanya. Hingga ia lupa. Kini ia teringat ketika kake mengatakan ada Telepon umum dibaledesa.
Segera kuambil handphone miliku dikamar. Penuh rasa gembira ini sagat cocok. Tidak banyak tingkah segera mengisi batrenya. Kebetulan delu kake menyiapkan satu sikring disamping kursi menempel di kayu penyanggah rumah. Kunyalakan kembali handphone usai sedikit terisi. Sayang takada satupun sinyal. Setelah batrainya penuh aku segera mencai sinyal diluar rumah. Humairoroh melihat tingkahku mencari sinyal dair pintu utama rumah.
“wah ada satu” aga maju kedepan sedikit, terdapat dua hingga tiga sinyal. Memilih daftar kontak. Berderet nama-nama berurutan sesuai abjad. Memilih satu nama, menekannya.
“halo Wil..!” kulambaikan tangan. Humairoh tersenyum manis.   
“Rioooo! dimana kamu sekarang?” nadanya terdengat kaget mendapat telepon dariku. Beginilah kalo orang mendapat telepon dari orang yang sedang dihawatirkan. Takakan berhenti bicara. “Kamu gila mau buat kami semua mati mencari kesana kemari. Rasanya kami sudah putus asa. Kirain kamu sudah tiada. Omahmu sagat hawatir. Ia terus mencarimu siang malam. Nyampe membuat sambera untuk menemukanmu”
“iah maaf deh udah membuat kalian semua hawatir. sekarang aku berada di perkampungan. Daerahnya sangat indah” menatap Humairoh yang penuh keanggunan “alamatnya aku tidak terlalu tahu. Nanti dikirim piasms alamat lengkapnya”
Aku benar-benar membuat semua orang hawatir. Sekarang aku sadar kalau masih banyak orang yang menyayangiku. Kukirimkan alamat lengkap daerah perkampungan Via sms. Aku tidak beritahu Omah lebih dulu karna takut ia akan lagsung menyusulku kekampung ini. Biarlah Omah mengetahui ketika aku sudah berada dirumah.
Menghampiri Humaeroh menanti dipintu masuk.
“gimana mas?”
“sudah. Sudah malam, mungkin aku harus istirahat”
“baiklah, mari”
Tidak kujawab pertayaan humairoh. aku tidak mau membuat ia bersedih karna besok aku akan kembali kekota. Kami segera beristirahat. Hendak berbaring menjulurkan seluruh badan. Meskilah mata terpejam menutup keindahan, kornea hitam ini enggan terpejam. 

11. Kalimat Mahabah

11.      Kalimat Mahabah
Cucu Abdul Karim
Lama tak jumpa membuat rasa rindu terus bertumpuk. Rasa bersalah pastilah akan sedikit membenak didalam hati. suasana kelas terbiasa ramai dengan kebisingan suara Felin. Kini ruangan kelas begitu terasa sepi. Mata yang biasa menatap lebihlama senyuman manis wanita halte seakan lenyap begitusaja. selama empat hari berturut-turut setelah kejadian perkelahian ku dengan Glen, Halimah dan Felin tidak masuk sekolah. Informasi yang aku dafatkan mereka Sakit. Aku coba berkunjung kerumah Felin untuk menegoknya sekalian mau minta maaf, Felin takmau menemuku. Tetapi apa yang harus kulakukan untuk bisa melihat keadaan Halimah. Alamat rumahnya aku tidak tahu, bahkan nomor hendponnya pun aku tidak punya. Dikarnakan halimah selalu menghindar dariku. Mencoba bertaya kesana kemari, semua orang berkata aku tidak punya. Hingga aku bertany pada Guru di sekolah mereka menjawab tidak adak kontak persen yang dapat dihubungi. Memberanikan diri untuk meminta langsuk kepada pak Dion wali kelas. akhirnya aku dapatkan sederet angka entah nomor siapa? Yang jelas ini adalah nomor yang bisa menghubungi Halimah atau keluarganya.  Berkali-kali menghubungi nomor tersebut tetapi tidak pernah nyambung.
Merasa lelah seharian mencari dan menghubungi nomer tidak pernah nyambung. Kantin sekolah menjadi satu tampat nimbruk bersama kedua sahabat karbku. kuangkat kedua tangan sambil mengutak ngatik Handpon terasa sia-sia.
“yo ada Glen berjalan kemari” ucap risau Wil begitujuga Drim “iah yo Glen menuju kemari, tavi ia sekarang haya sendiri”
Tida seperti biasanya, Glen datag dengan gaya barunya. Rasa angkuh nan jagoan tidak tampak lagi dalam dirinya.
“mau apa lo” Drim berdiri serentak dengan nada sinisnya. Tetapi kali ini Glen datang tidak bermaksud untuk mengajak kami ribut. Ia mengakui kalu selama ini ia selalu membuat gara-gara. sekarang ia meminta maaf pada kami. Layaknya seorang manusia aku terima permintaan maaf Glen. Dihari ini Glen menawarkan diri ingin berteman dengan kami. Dengan hati terbuka aku, Drim dan Wil menerima dengan hati terbuka sebuah persahabatan. Glen hanya sendiri. Kawan-kawan pengecut meninggalkannya. Satu pelajaran mengenai persahabatan. Bahwa dalam sebuah persahabatan tidak ada yang namanya ketua, bawahan atau anak buah semuannya sama. Semuanya adalah teman (Amigos).
“bagaimana hubunganmu dengan Halimah” sambil meminum miniman milik Wil
“eh itu minumaku” dengan replek drim tercengang sambil menepuk dahinya dengan tangan kanan.
“entahlah aku tidak tahu” jawabku dengan singkat. Kini aku ingat halimah pernah mengatakan kalimat yang membuatku terus bingung “Tetapi haruskah aku mengatakan aku mencintaimu ketika aku tidak paham dengan penciptaan jatidirimu” kalimat terakhir yang dikatakan halimah. Kini aku mengerti Halimah dan sangat mngerti. Tetapi apakah kamu akan melihat asal jati diriku bukannya aku yang sekarang ini.
“wey” ketiga sahabat konyolku mengagetkanku dengan memukul bangku “lagi lagi terbengong, mau sampai kapan kamu akan seperti ini yo” sindir wil sambil merangkulku dengan tangn kirinya yang kini duduk disampingku.
“apa kalian sudah selesi. Sudah sore nih ayo kita pulang” beranjak pergi meninggalkan tempat kami duduk dikantim “glen kamu mau pulang bareng kita” tayaku
“aku bawa kendaran sendiri ko” terang glen sambil mengangkat kunci sepeda mitor dengan tangan kanannya.   
“oke, sampe ketemu besok” salam pamit dari Wil
  Tidak ada lagi aktivitas yang harus aku lakukan. Selain mencari tahu bagai mana kabarmu Halimah. Selesei mengantar kedua sahabat konyol aku mampir ketempat pengisian bahanbakar simerah. Selekas itu aku langsung pulang. Didepan gerbag kubunyikan klakson mobil tigakali. Seketika gerbag terbuka karna ditarik Pak Hilman.
“selamat sore Den” sapa pak hilman yang menutup kembali gerbang
“sore”
Setelah memasukan simerah keparkitan, langsung membuka dua helai kayu bercorak pahatan dimana aku bisa melihat Omah dan ibu yang aku sayangi. Begitu pintu terbuka aku langsung masuk sambil memagil Omah.
“Oamh, Omah ” pangilku sambil melihat omah ada dimana
“Rio Omah di ruang tamu, kemarilah” teriak omah dari arah sebelah kanan ruang tamu. Mencoba menghampiri omah. Terlihat pelin sedang bercengkrama dengan Omah.
“Felin” dengan  kaget aku berkata hingga aku terdiam
“nah Rio udah datang. Felin Omah tinggal dulu”
Omah pergi meninggalkan kami berdua diruang tamu. Sikap Felin yang centil nan manja seakan sirna begitu saja. Kini aku duduk berhadapan dengan felin pada Posisi Kursi yang melingkar dengan satu meja ditengahnya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut. Aku haya menatap Felin dengan penuh pertayaan ada apa ia datang kerumahku. Sebelumnya aku menjenguknya ia tidak mau menemuiku. Hingga akhirnya Felin berdiri. Tiba tiba pelin melangkah kearahku ia memeluku sambil menagis. Beginilah sikap seorang lelaki sedikit jual mahal. Aku masih terdiam dengan posisi muka tetap lurus pada posisi awal. 
“Rio, aku minta Maaf. Aku telah salah memperlakukanmu. Aku telah salah membuatmu jauh dari Halimah” wajah nya tersandar didadku sambil menagis tersedu. Mencoba melepaskan pelukan eratnya dengan keduatangan yang memegang kedua bahu sambing tubuh Felin. 
“sudahlah jangan menyesali yang telah terjadi. Ini semua bukan salahmu” kuhapus airmata yang berlinai dari mata felin.
Felin akhirnya mengerti baha cinta tidak dapat dipaksakan. Pelin sadar kalau ia telah salah bersikap bodoh pada Halimah. Tetapi Felin mengajukan satu permintaan untuk mengijinkan ia tetap mencintaiku.
“tidak ada persaratan dalam cinta. Kau tak harus mencintaiku dengan syarat aku harus mencintaimu. apabila engkau memang mencintai ku, aku tidak dapat mencegahnya. karna itu adalah hakmu. Tetapi maaf apabila aku tak mampu membalas cintamu padaku” Akan aku biaarkan Felin dengan rasa cintanya, hingga ia benar-benar lupa kalau ia pernah mencintaiku. Daka kalanya aku harus membuat satu keputusa bijak. Tetapi ada kalanya kita harus berkorban atas nama cinta. Felin pamin pulang pada ku dan Omah setelah semuanya terselesaikan.
Keringat telah kembali mengering, wajah terlihat kusam, bau badan taklagi segar bla dirasakan`. Usai membersihkan tubuh ini segera meunaikan satu kewajiban sebagai seorang umat.  Bersama seuntai do’a selalu ku panjatkan. Takdir masalalu takmungkin bisa diubah. tetapi berubahan akan dapat diperbaiki ketika takdir sedang kita jalani.
Menatap langit bada magrib dari balkon merupakan detik-detik terakhir awan kuning bergganti hitam. “apa yang sedang kau lakukan halimah” aku masih mengingat halimah dan akan terus mengingat halimah. Hrnpon berbunyi diatas ranjang. Satu pangilan masuk dari Wil.
“halo Wil”
Satu informasi aku dapatkan. Sewaktu Wil bersama pacarnya mampir dilestoran ternama disekitar perkotaan, ia melihat Lelaki separuh baya yang bersama dengan halimah ketika dilestoran cumi. sekarang lelaki tiu tengah menikmati makanan pesannaya sendirian. Dengan sangat terburu aku segera pergi dimana lokasi wli melhatnya. Aku suruh wil untuk terus mengawasinya. Dalam waktu 10 menit aku sampai dilestoran. Aku temui wil bersama pacarnya yang masih dalam pengintaian.
“wil dimana dia?”
“dia disana”
Utung saja aku tidak terlambat. Lelaki separuh baya telah selesai makan.
“kamu mau kemana yo?”
“aku mau nyamperin dia”
“hati hati yo, selamat berjuang” ucap hawatir Wil sambil mengangkat kepalan tangnnya seakan memberi semangat perjuangan.
Aluna musik pengiring suasana tegang seakan ikut mengiringi setiap langkah kaki. Sekarang adu berada dihadapannya. Aku menatapnya dengan sagat serius. Begitu juga dengan lelaki separuh baya ini. Tatapannya seakan penuh pertayaan ada apa dengan diriku. Kuputuskan untu mengawali pembicaraan.
“maaf paman boleh aku duduk disini” dengan tersenyum aku menyapa lelaki separuh baya ini.
“silahkan De”  jawabnya. Apakah wajahku terlihat begitu kekanakanaka. Tidak apalah, yag penting paman ii telah mempersilahkan aku untuk duduk.
“kalau tidak salah, paman yang waktu itu bersama Halimah saat dirumah makan cumi” mengutarakan pendapatku deng sedikit mengayunkan kepala.
Lelaki separuh bayaterheran dengan pertayaannku, seakan ia berpikir keras mengingatnya. “oh iah, waktu di rumah makan bersama Halimah keponakanku, ade siapa?”
Satu persatu rasa penasaran yang tersimpan dalam pikirnanku telah terpecahkan. Lelaki separuh baya ini adalah panam dari Halimah. Perasangka Negatf  tentang paman ini salah total.
“kenalkan namaku  Rio Sebastian, aku teman sekelas Halimah” sembari mengulurkan tangan kanan menunggu jawaban sapa tagan nya.
“Hery Santoso” dengan mengmbalas uluran tanganku.
Perbincangan kami tidak berlangsung lama. setelah mendapatkan nomor Handphone dan alamat rumah beserta sedikit Informasi tentag Halimah, aku lekas pergi dengan sedikit basabasi. Halimah sekanrag tinggal di jalan Mekar Harapan nomor 0106 tak jauh dari mesjid agung pusat kota. Dengan penuh semangat menginjak gas simerah hingga melaju cepat. Terlihat dari kejauhan kubah mesjid bercahaya terang.
“yang mana rumahnya?”
Kutemukan kediaman bertuliskan nomor 0106 yang kini telah melewai gerbag. Tampa membuag-buang waktu segea aku menuju pintu.  mengetuk pintu tigakali dengan diiringi kalimt salam. Akhirnya pintu terbuka.
“maaf Halimahnya ada?”
“non Halimahnya sedang pergi kemesjid. Sebentarlagi pulang! Ayo mas tunggu d dalam”
Halimah haya tinggal bersama ayahnya. Tetapi seringkali ia haya sendiri karna yahnya selalu disibukan degan pekerjaannya. Begitu juga malam ini, hanya terlihat pembantu dan satpam yang berada digerbag masuk. Kutunggu halimah diruang tamu. Terpampang poto Halimah dan kedua oragtuanya berukuran satu kali satu meter. Ayah dan almarhum ibunya terlihat begitu kentag dengan aturan agama.
Suara mobil yang terhenti dihalaman rumah telah membuat hati ini tidak sabar menunggu dalam penantianya. Ucapan salam tersaji dari mulut halimah. Seketika pintu terbuka. Halimah tak sadar kalau aku tengah berada dirumahnya. Dalam sekejap senumannya berganti dengan nyanyian bisu. Langkah kakinya terhenti begitu saja. Kini ia  berdiam diri. Tatapanya penuh rasa terkejut yang melihatku. 
“Halimah!” ketika kusebut namaya, ia berusaha menghindar“sampai kapan kamu akan melukai hatimu sendiri? Sampai kapan kamu akan mendekan hampa dalam hatimu?” dua pertayaannku membuat Halimah terhenti kembali dari langkahnya. Kini posisi tubuhnya membelakangiku.
“aku akan biarkan hati ini terus mengiris kehampaan. Hingga saatnya nanti aku lupa tentang sebuah rasa yang tidak seharusnya tumbuh”
“Setelah semua ini terjadi, kau akan mencampakan ku begitu saja. Kau tau? cinmu telah membuat ku merubah semuanya”
“Aku tidak pernah menyuruhmu untuk merubahnya. Tetapi bila semua telah berubah, itu adalah pilihan mu sendiri”
“aku berusaha memahami Agama untuk dapat memahamimu. Tapi sekarang kau berusaha mencampakaku begitu saja?”
“selama kau ikhlas mempelajari tuntunan Agama. Selama itu juga kau akan menikmati betapa indahnya Agama. Tetapi dasarmu telah salah untuk memahaminya. Kau rujukan atas mana Agama untuk menggapai nafsumu”
 “kau berusaha mengingkari hatimu sendiri halimah, kau mengingkari rasa cintamu”
“aku tida pernah mengingkari hatiku, karna cinta ini salah memilh haknya”
“Haruskah kamu mengingkari keikhlasa cintamu?”
“apakah ini terlihat seperti keikhlasan cinta? Namun bila seandainya semua ini adalah mahabah, kenapa aturan bertolak belakang dengan hak mahabah?”
“sekarang aku mengerti, kenapa kamu bersikeras mengingkari perasannu!.  Haruskah aku katakan kalau diriku adalah jain haram yang tumbuh membungkus daging. Apa karna aku tercipta dari hasil perilaku haram, sehingga engkau berkali-kali mengingkari cintamu?. Begitu sulitkah kau menerimaku Halimah?”  
Halimah terdiam. tidak terasa airmata ini terus terjatuh, Sering aliran darah yang mengalir tanpa henti. Tetapi aku harus tetap tegar. Aku utarakan serangkai kalmat terakhir dalam benak tangis. 
“Halimah. aku masih ingat kata-katamu ketika Kau suruh aku untuk tidak melukai orang lain. Tetapi lihatlah dirimu. Kau telah telah melukai hati ini, kau telah mencabik-cabik ruh ini, kau telah membuat hati ini mati akan rasaya. Satu hal yang kau harus kau ingat, bahwa Daging Jadah tidak akan pernah menjadi sosok perilaku dari tingkah laku induk dan jalu asalnya”.
“berhenti Rio. berhenti” teriak pilu terdengar begitu keras. Meski begitu bibir ini seakan tidak mau berhenti meyakinkan halimah.
“Apakah kamu akan tetap melihat awal jati diriku, bukannya aku yang sekarang? Apakah kamu bersikeras menatap perilaku hina masalaluku, tetapi bukannya menatap rasa iklas diriku mencintaimu? Apakah kamu tetap meyakini makna haram, bukannya makna terdalam perbaikan diriku?”
Seketika halimah memalingkan tubuh lemasnya. Genangan airmata terlalu sulit untuk ditahan. Ia menagis begitu pilu, ia bersedih mengiris hatinya, ia terluka akan ulahnya sendiri.
“sudah cukup, sudah cukup kau meyakinkanku untuk semua ini. tetapi aku tidak bisa melangkah karna nafsu mendahuli cintamu, begitu juga cintaku. Tinggalkan aku sendri, tinggal kan aku” kesedihannya begitu amat mendalam. Badan halimah terlihat begitu lesu hingga kakinya tak bisa mempertahankan kekokohannya. Kini ia berdiri diatas kedua dengkul dengan kedua betis tertekuk kebelakang. Tangnnya terkelupas lemah disamping tubuhnya. Raga ini taksanggup melihatnya seperti ini.
“hentikan langkahmu. Aku mohon padamu tinggalkan aku. Akumohon tinggalkan aku” berulangkali ia mengulang kata kata yang sama. Airmata ini terus mengalir. 
“baik Halimah, Aku akan pergi. Asalamualaikum” mengutarakan salam terakhir. Haruskah aku pergi meninggalkan Halimah atas ulahku. Pitu ruma masih terbuka lebar, karna halimah taksempat menutupnya. Beranjak pergi meninggalkannya. Meski rasa perih harus kutelan berulagkali. Menginjak gas penuh kehampaan. Suara gaung simerah sangat keras tergantung diudara. Otak ini kacau terhadap kesadaranya. Rumah bukan satu tempat terbaik menyandarkan kesedihan. Malahan akan menebar kesedihaknu pada keluargaku. Sahabat tak seharusnya menjadi pelampiasan untuk memahami kesedihan. Karna mereka bukanlah tempat untuk menampung semua laraku. Sebotol minuman bukanlah satu satunya jalan keluar yang mampu mengobati gundahgulana. Hasap penakluk kesadaran terlalu hina untuk dijadikan obat penyesalan. Bahkan pel dan sebuk tidak harus menjadi kawan malam ini. pergi menjauh dari semuanya membuatku untuk menikmati sendiri duka terdalam kali ini. bila semua orang bertaya dimana aku sekarang, mungkin sulit bagiku untuk menjawabnya. Karna akupun tidak tahu ada dimna diriku sekarang ini. selama melaju menggaungkan simerah, aku tidak tahu  jalur menuju kemana yang kupilih. tetapi satu pilihan terbaik telah kupilih.
“Na, bangun sudah subuh. Sudah waktunya shalat subuh”
Seorang kakek tua menggoyang-goyangkan tubuhku hingga terbangun. Kake tua berjalan menuju samping barisan orang-orang dalam poisi berdiri membelakangi. Terdapat satu orang didepan barisan berdiri tegap. Terdengar olehku ia membacakan kalam-kalam ilahi dengan begitu lantang. Kain panjang warna hijau kusam menjadi alas mereka menempelkan dahi dan hidungnya.
Kesadaran tengah kembali tersimpan dalam pikiranku. Ruangan bertuliskan mesjid Ar-Rohman berukuran empat kali lima memanjang kearah barat. Terdapat lampu kuning dibeberapa sudut. Pagar dari kayu tersorot lampu kuning mengelilingi bagunan mesjid. Suara hewan berupa serangga entah apa namanya mengisi keheningan. Mesjid Ar-Rohman berlokasi diperkampungan. Begitu jauhkah aku pergi dari kotaku.
Jarak pandang yang terbats karna kabut tebal tersebar sepanjang penglihatan. Sebelah kanan bangunan mesjid terdapat satu lokal terbuka. Lima keran tertata disamping bangunan. Layaknya seorang muslim hendak menjalankan tugasnya diawal pagi yang masih gelap. Air mata keram membasuh wajah penuh noda. Setiap tetes air terjatuh dari wajah menyimpan satu kalimat tasbih. Kalimat sakti akan terus terucap dalam bacaan sholat. Do,a yang kupanjatkan tengah memuatku harus bersimpu memohon ampun pada sang pencipta.

JADAH KATANYA

Sampai kapan engkau akan menangis, Dalam sebuah sosok yang tak tahu jati dirinya. Rupa yang terus menunggangi kemaluan. Yang tak seharusnya menyimpan cemoohan para pencemooh kesalahan. Yang terus merasa benar atas senandunya. Ketika mereka tahu perilaku perut gendut Milik sigadis dalam pergaulan.
Selokan-selokan nikmat bagi mereka, yang membuat malu terus dilontarkan. Bahkan bocah yang tak berdosa, harus menelan perilaku jasa induknya. Terus menerus ditimpa pelecehan penuh keterpojokan.
Bahkan riak-riak permainan bocah diusianya. Diri selalu menjadi sasaran penyisihan kawan sepermainan. Hingga rupa hina ini tiumbuh dewasa. Tetaplah kucil, jijik dianggap mereka.
Haruskah Dia berteriak ? ini bukan salahnya. Haruskah Dia meminta agar ruhnya tak disimpan dalam daging yang dianggap hina. Namun itu taharus dan takakan pernah Dia katakan. Karna Dia takakan menjadi sosok perilaku dari tingkah induk dan jalu asal dirinya.
(18.37) Jum’at, 30 Agustus 2013
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net