11.
Kalimat
Mahabah
Cucu Abdul Karim
Lama tak jumpa membuat
rasa rindu terus bertumpuk. Rasa bersalah pastilah akan sedikit membenak
didalam hati. suasana kelas terbiasa ramai dengan kebisingan suara Felin. Kini
ruangan kelas begitu terasa sepi. Mata yang biasa menatap lebihlama senyuman
manis wanita halte seakan lenyap begitusaja. selama empat hari berturut-turut
setelah kejadian perkelahian ku dengan Glen, Halimah dan Felin tidak masuk
sekolah. Informasi yang aku dafatkan mereka Sakit. Aku coba berkunjung kerumah
Felin untuk menegoknya sekalian mau minta maaf, Felin takmau menemuku. Tetapi
apa yang harus kulakukan untuk bisa melihat keadaan Halimah. Alamat rumahnya
aku tidak tahu, bahkan nomor hendponnya pun aku tidak punya. Dikarnakan halimah
selalu menghindar dariku. Mencoba bertaya kesana kemari, semua orang berkata
aku tidak punya. Hingga aku bertany pada Guru di sekolah mereka menjawab tidak
adak kontak persen yang dapat dihubungi. Memberanikan diri untuk meminta
langsuk kepada pak Dion wali kelas. akhirnya aku dapatkan sederet angka entah
nomor siapa? Yang jelas ini adalah nomor yang bisa menghubungi Halimah atau
keluarganya. Berkali-kali menghubungi
nomor tersebut tetapi tidak pernah nyambung.
Merasa lelah seharian
mencari dan menghubungi nomer tidak pernah nyambung. Kantin sekolah menjadi
satu tampat nimbruk bersama kedua sahabat karbku. kuangkat kedua tangan sambil
mengutak ngatik Handpon terasa sia-sia.
“yo ada Glen berjalan
kemari” ucap risau Wil begitujuga Drim “iah yo Glen menuju kemari, tavi ia
sekarang haya sendiri”
Tida seperti biasanya,
Glen datag dengan gaya barunya. Rasa angkuh nan jagoan tidak tampak lagi dalam
dirinya.
“mau apa lo” Drim
berdiri serentak dengan nada sinisnya. Tetapi kali ini Glen datang tidak
bermaksud untuk mengajak kami ribut. Ia mengakui kalu selama ini ia selalu
membuat gara-gara. sekarang ia meminta maaf pada kami. Layaknya seorang manusia
aku terima permintaan maaf Glen. Dihari ini Glen menawarkan diri ingin berteman
dengan kami. Dengan hati terbuka aku, Drim dan Wil menerima dengan hati terbuka
sebuah persahabatan. Glen hanya sendiri. Kawan-kawan pengecut meninggalkannya.
Satu pelajaran mengenai persahabatan. Bahwa dalam sebuah persahabatan tidak ada
yang namanya ketua, bawahan atau anak buah semuannya sama. Semuanya adalah
teman (Amigos).
“bagaimana hubunganmu
dengan Halimah” sambil meminum miniman milik Wil
“eh itu minumaku”
dengan replek drim tercengang sambil menepuk dahinya dengan tangan kanan.
“entahlah aku tidak
tahu” jawabku dengan singkat. Kini aku ingat halimah pernah mengatakan kalimat
yang membuatku terus bingung “Tetapi haruskah aku mengatakan aku mencintaimu
ketika aku tidak paham dengan penciptaan jatidirimu” kalimat terakhir yang
dikatakan halimah. Kini aku mengerti Halimah dan sangat mngerti. Tetapi apakah
kamu akan melihat asal jati diriku bukannya aku yang sekarang ini.
“wey” ketiga sahabat
konyolku mengagetkanku dengan memukul bangku “lagi lagi terbengong, mau sampai
kapan kamu akan seperti ini yo” sindir wil sambil merangkulku dengan tangn
kirinya yang kini duduk disampingku.
“apa kalian sudah
selesi. Sudah sore nih ayo kita pulang” beranjak pergi meninggalkan tempat kami
duduk dikantim “glen kamu mau pulang bareng kita” tayaku
“aku bawa kendaran
sendiri ko” terang glen sambil mengangkat kunci sepeda mitor dengan tangan
kanannya.
“oke, sampe ketemu
besok” salam pamit dari Wil
Tidak ada lagi aktivitas yang harus aku
lakukan. Selain mencari tahu bagai mana kabarmu Halimah. Selesei mengantar
kedua sahabat konyol aku mampir ketempat pengisian bahanbakar simerah. Selekas
itu aku langsung pulang. Didepan gerbag kubunyikan klakson mobil tigakali. Seketika
gerbag terbuka karna ditarik Pak Hilman.
“selamat sore Den” sapa
pak hilman yang menutup kembali gerbang
“sore”
Setelah memasukan
simerah keparkitan, langsung membuka dua helai kayu bercorak pahatan dimana aku
bisa melihat Omah dan ibu yang aku sayangi. Begitu pintu terbuka aku langsung
masuk sambil memagil Omah.
“Oamh, Omah ” pangilku
sambil melihat omah ada dimana
“Rio Omah di ruang
tamu, kemarilah” teriak omah dari arah sebelah kanan ruang tamu. Mencoba
menghampiri omah. Terlihat pelin sedang bercengkrama dengan Omah.
“Felin” dengan kaget aku berkata hingga aku terdiam
“nah Rio udah datang.
Felin Omah tinggal dulu”
Omah pergi meninggalkan
kami berdua diruang tamu. Sikap Felin yang centil nan manja seakan sirna begitu
saja. Kini aku duduk berhadapan dengan felin pada Posisi Kursi yang melingkar
dengan satu meja ditengahnya. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut.
Aku haya menatap Felin dengan penuh pertayaan ada apa ia datang kerumahku.
Sebelumnya aku menjenguknya ia tidak mau menemuiku. Hingga akhirnya Felin
berdiri. Tiba tiba pelin melangkah kearahku ia memeluku sambil menagis.
Beginilah sikap seorang lelaki sedikit jual mahal. Aku masih terdiam dengan
posisi muka tetap lurus pada posisi awal.
“Rio, aku minta Maaf.
Aku telah salah memperlakukanmu. Aku telah salah membuatmu jauh dari Halimah”
wajah nya tersandar didadku sambil menagis tersedu. Mencoba melepaskan pelukan
eratnya dengan keduatangan yang memegang kedua bahu sambing tubuh Felin.
“sudahlah jangan
menyesali yang telah terjadi. Ini semua bukan salahmu” kuhapus airmata yang
berlinai dari mata felin.
Felin akhirnya mengerti
baha cinta tidak dapat dipaksakan. Pelin sadar kalau ia telah salah bersikap
bodoh pada Halimah. Tetapi Felin mengajukan satu permintaan untuk mengijinkan
ia tetap mencintaiku.
“tidak ada persaratan
dalam cinta. Kau tak harus mencintaiku dengan syarat aku harus mencintaimu.
apabila engkau memang mencintai ku, aku tidak dapat mencegahnya. karna itu
adalah hakmu. Tetapi maaf apabila aku tak mampu membalas cintamu padaku” Akan
aku biaarkan Felin dengan rasa cintanya, hingga ia benar-benar lupa kalau ia
pernah mencintaiku. Daka kalanya aku harus membuat satu keputusa bijak. Tetapi
ada kalanya kita harus berkorban atas nama cinta. Felin pamin pulang pada ku
dan Omah setelah semuanya terselesaikan.
Keringat telah kembali
mengering, wajah terlihat kusam, bau badan taklagi segar bla dirasakan`. Usai
membersihkan tubuh ini segera meunaikan satu kewajiban sebagai seorang umat. Bersama seuntai do’a selalu ku panjatkan.
Takdir masalalu takmungkin bisa diubah. tetapi berubahan akan dapat diperbaiki
ketika takdir sedang kita jalani.
Menatap langit bada
magrib dari balkon merupakan detik-detik terakhir awan kuning bergganti hitam.
“apa yang sedang kau lakukan halimah” aku masih mengingat halimah dan akan
terus mengingat halimah. Hrnpon berbunyi diatas ranjang. Satu pangilan masuk
dari Wil.
“halo Wil”
Satu informasi aku
dapatkan. Sewaktu Wil bersama pacarnya mampir dilestoran ternama disekitar
perkotaan, ia melihat Lelaki separuh baya yang bersama dengan halimah ketika
dilestoran cumi. sekarang lelaki tiu tengah menikmati makanan pesannaya sendirian.
Dengan sangat terburu aku segera pergi dimana lokasi wli melhatnya. Aku suruh
wil untuk terus mengawasinya. Dalam waktu 10 menit aku sampai dilestoran. Aku temui
wil bersama pacarnya yang masih dalam pengintaian.
“wil dimana dia?”
“dia disana”
Utung saja aku tidak
terlambat. Lelaki separuh baya telah selesai makan.
“kamu mau kemana yo?”
“aku mau nyamperin dia”
“hati hati yo, selamat
berjuang” ucap hawatir Wil sambil mengangkat kepalan tangnnya seakan memberi
semangat perjuangan.
Aluna musik pengiring
suasana tegang seakan ikut mengiringi setiap langkah kaki. Sekarang adu berada
dihadapannya. Aku menatapnya dengan sagat serius. Begitu juga dengan lelaki
separuh baya ini. Tatapannya seakan penuh pertayaan ada apa dengan diriku.
Kuputuskan untu mengawali pembicaraan.
“maaf paman boleh aku
duduk disini” dengan tersenyum aku menyapa lelaki separuh baya ini.
“silahkan De” jawabnya. Apakah wajahku terlihat begitu
kekanakanaka. Tidak apalah, yag penting paman ii telah mempersilahkan aku untuk
duduk.
“kalau tidak salah,
paman yang waktu itu bersama Halimah saat dirumah makan cumi” mengutarakan
pendapatku deng sedikit mengayunkan kepala.
Lelaki separuh
bayaterheran dengan pertayaannku, seakan ia berpikir keras mengingatnya. “oh
iah, waktu di rumah makan bersama Halimah keponakanku, ade siapa?”
Satu persatu rasa
penasaran yang tersimpan dalam pikirnanku telah terpecahkan. Lelaki separuh
baya ini adalah panam dari Halimah. Perasangka Negatf tentang paman ini salah total.
“kenalkan namaku Rio Sebastian, aku teman sekelas Halimah”
sembari mengulurkan tangan kanan menunggu jawaban sapa tagan nya.
“Hery Santoso” dengan
mengmbalas uluran tanganku.
Perbincangan kami tidak
berlangsung lama. setelah mendapatkan nomor Handphone dan alamat rumah beserta
sedikit Informasi tentag Halimah, aku lekas pergi dengan sedikit basabasi.
Halimah sekanrag tinggal di jalan Mekar Harapan nomor 0106 tak jauh dari mesjid
agung pusat kota. Dengan penuh semangat menginjak gas simerah hingga melaju
cepat. Terlihat dari kejauhan kubah mesjid bercahaya terang.
“yang mana rumahnya?”
Kutemukan kediaman
bertuliskan nomor 0106 yang kini telah melewai gerbag. Tampa membuag-buang
waktu segea aku menuju pintu. mengetuk
pintu tigakali dengan diiringi kalimt salam. Akhirnya pintu terbuka.
“maaf Halimahnya ada?”
“non Halimahnya sedang
pergi kemesjid. Sebentarlagi pulang! Ayo mas tunggu d dalam”
Halimah haya tinggal
bersama ayahnya. Tetapi seringkali ia haya sendiri karna yahnya selalu
disibukan degan pekerjaannya. Begitu juga malam ini, hanya terlihat pembantu
dan satpam yang berada digerbag masuk. Kutunggu halimah diruang tamu. Terpampang
poto Halimah dan kedua oragtuanya berukuran satu kali satu meter. Ayah dan
almarhum ibunya terlihat begitu kentag dengan aturan agama.
Suara mobil yang
terhenti dihalaman rumah telah membuat hati ini tidak sabar menunggu dalam
penantianya. Ucapan salam tersaji dari mulut halimah. Seketika pintu terbuka.
Halimah tak sadar kalau aku tengah berada dirumahnya. Dalam sekejap senumannya
berganti dengan nyanyian bisu. Langkah kakinya terhenti begitu saja. Kini
ia berdiam diri. Tatapanya penuh rasa
terkejut yang melihatku.
“Halimah!” ketika
kusebut namaya, ia berusaha menghindar“sampai kapan kamu akan melukai hatimu
sendiri? Sampai kapan kamu akan mendekan hampa dalam hatimu?” dua pertayaannku
membuat Halimah terhenti kembali dari langkahnya. Kini posisi tubuhnya
membelakangiku.
“aku akan biarkan hati
ini terus mengiris kehampaan. Hingga saatnya nanti aku lupa tentang sebuah rasa
yang tidak seharusnya tumbuh”
“Setelah semua ini
terjadi, kau akan mencampakan ku begitu saja. Kau tau? cinmu telah membuat ku
merubah semuanya”
“Aku tidak pernah
menyuruhmu untuk merubahnya. Tetapi bila semua telah berubah, itu adalah
pilihan mu sendiri”
“aku berusaha memahami
Agama untuk dapat memahamimu. Tapi sekarang kau berusaha mencampakaku begitu
saja?”
“selama kau ikhlas
mempelajari tuntunan Agama. Selama itu juga kau akan menikmati betapa indahnya
Agama. Tetapi dasarmu telah salah untuk memahaminya. Kau rujukan atas mana Agama
untuk menggapai nafsumu”
“kau berusaha mengingkari hatimu sendiri
halimah, kau mengingkari rasa cintamu”
“aku tida pernah
mengingkari hatiku, karna cinta ini salah memilh haknya”
“Haruskah kamu
mengingkari keikhlasa cintamu?”
“apakah ini terlihat
seperti keikhlasan cinta? Namun bila seandainya semua ini adalah mahabah,
kenapa aturan bertolak belakang dengan hak mahabah?”
“sekarang aku mengerti,
kenapa kamu bersikeras mengingkari perasannu!. Haruskah aku katakan kalau diriku adalah jain
haram yang tumbuh membungkus daging. Apa karna aku tercipta dari hasil perilaku
haram, sehingga engkau berkali-kali mengingkari cintamu?. Begitu sulitkah kau
menerimaku Halimah?”
Halimah terdiam. tidak
terasa airmata ini terus terjatuh, Sering aliran darah yang mengalir tanpa
henti. Tetapi aku harus tetap tegar. Aku utarakan serangkai kalmat terakhir
dalam benak tangis.
“Halimah. aku masih
ingat kata-katamu ketika Kau suruh aku untuk tidak melukai orang lain. Tetapi lihatlah
dirimu. Kau telah telah melukai hati ini, kau telah mencabik-cabik ruh ini, kau
telah membuat hati ini mati akan rasaya. Satu hal yang kau harus kau ingat,
bahwa Daging Jadah tidak akan pernah menjadi sosok perilaku dari tingkah laku
induk dan jalu asalnya”.
“berhenti Rio.
berhenti” teriak pilu terdengar begitu keras. Meski begitu bibir ini seakan
tidak mau berhenti meyakinkan halimah.
“Apakah kamu akan tetap
melihat awal jati diriku, bukannya aku yang sekarang? Apakah kamu bersikeras
menatap perilaku hina masalaluku, tetapi bukannya menatap rasa iklas diriku
mencintaimu? Apakah kamu tetap meyakini makna haram, bukannya makna terdalam
perbaikan diriku?”
Seketika halimah
memalingkan tubuh lemasnya. Genangan airmata terlalu sulit untuk ditahan. Ia
menagis begitu pilu, ia bersedih mengiris hatinya, ia terluka akan ulahnya
sendiri.
“sudah cukup, sudah
cukup kau meyakinkanku untuk semua ini. tetapi aku tidak bisa melangkah karna
nafsu mendahuli cintamu, begitu juga cintaku. Tinggalkan aku sendri, tinggal
kan aku” kesedihannya begitu amat mendalam. Badan halimah terlihat begitu lesu
hingga kakinya tak bisa mempertahankan kekokohannya. Kini ia berdiri diatas
kedua dengkul dengan kedua betis tertekuk kebelakang. Tangnnya terkelupas lemah
disamping tubuhnya. Raga ini taksanggup melihatnya seperti ini.
“hentikan langkahmu.
Aku mohon padamu tinggalkan aku. Akumohon tinggalkan aku” berulangkali ia
mengulang kata kata yang sama. Airmata ini terus mengalir.
“baik Halimah, Aku akan
pergi. Asalamualaikum” mengutarakan salam terakhir. Haruskah aku pergi
meninggalkan Halimah atas ulahku. Pitu ruma masih terbuka lebar, karna halimah
taksempat menutupnya. Beranjak pergi meninggalkannya. Meski rasa perih harus
kutelan berulagkali. Menginjak gas penuh kehampaan. Suara gaung simerah sangat
keras tergantung diudara. Otak ini kacau terhadap kesadaranya. Rumah bukan satu
tempat terbaik menyandarkan kesedihan. Malahan akan menebar kesedihaknu pada
keluargaku. Sahabat tak seharusnya menjadi pelampiasan untuk memahami
kesedihan. Karna mereka bukanlah tempat untuk menampung semua laraku. Sebotol
minuman bukanlah satu satunya jalan keluar yang mampu mengobati gundahgulana.
Hasap penakluk kesadaran terlalu hina untuk dijadikan obat penyesalan. Bahkan
pel dan sebuk tidak harus menjadi kawan malam ini. pergi menjauh dari semuanya
membuatku untuk menikmati sendiri duka terdalam kali ini. bila semua orang
bertaya dimana aku sekarang, mungkin sulit bagiku untuk menjawabnya. Karna
akupun tidak tahu ada dimna diriku sekarang ini. selama melaju menggaungkan
simerah, aku tidak tahu jalur menuju
kemana yang kupilih. tetapi satu pilihan terbaik telah kupilih.
“Na, bangun sudah
subuh. Sudah waktunya shalat subuh”
Seorang kakek tua
menggoyang-goyangkan tubuhku hingga terbangun. Kake tua berjalan menuju samping
barisan orang-orang dalam poisi berdiri membelakangi. Terdapat satu orang
didepan barisan berdiri tegap. Terdengar olehku ia membacakan kalam-kalam ilahi
dengan begitu lantang. Kain panjang warna hijau kusam menjadi alas mereka
menempelkan dahi dan hidungnya.
Kesadaran tengah
kembali tersimpan dalam pikiranku. Ruangan bertuliskan mesjid Ar-Rohman
berukuran empat kali lima memanjang kearah barat. Terdapat lampu kuning
dibeberapa sudut. Pagar dari kayu tersorot lampu kuning mengelilingi bagunan
mesjid. Suara hewan berupa serangga entah apa namanya mengisi keheningan.
Mesjid Ar-Rohman berlokasi diperkampungan. Begitu jauhkah aku pergi dari
kotaku.
Jarak pandang yang
terbats karna kabut tebal tersebar sepanjang penglihatan. Sebelah kanan
bangunan mesjid terdapat satu lokal terbuka. Lima keran tertata disamping
bangunan. Layaknya seorang muslim hendak menjalankan tugasnya diawal pagi yang
masih gelap. Air mata keram membasuh wajah penuh noda. Setiap tetes air
terjatuh dari wajah menyimpan satu kalimat tasbih. Kalimat sakti akan terus
terucap dalam bacaan sholat. Do,a yang kupanjatkan tengah memuatku harus
bersimpu memohon ampun pada sang pencipta.
JADAH KATANYA
Sampai kapan engkau akan menangis, Dalam sebuah sosok yang
tak tahu jati dirinya. Rupa yang terus menunggangi kemaluan. Yang tak
seharusnya menyimpan cemoohan para pencemooh kesalahan. Yang terus merasa benar
atas senandunya. Ketika mereka tahu perilaku perut gendut Milik sigadis dalam
pergaulan.
Selokan-selokan nikmat bagi mereka, yang membuat malu terus
dilontarkan. Bahkan bocah yang tak berdosa, harus menelan perilaku jasa
induknya. Terus menerus ditimpa pelecehan penuh keterpojokan.
Bahkan riak-riak permainan bocah diusianya. Diri selalu
menjadi sasaran penyisihan kawan sepermainan. Hingga rupa hina ini tiumbuh
dewasa. Tetaplah kucil, jijik dianggap mereka.
Haruskah Dia berteriak ? ini bukan salahnya. Haruskah Dia
meminta agar ruhnya tak disimpan dalam daging yang dianggap hina. Namun itu
taharus dan takakan pernah Dia katakan. Karna Dia takakan menjadi sosok
perilaku dari tingkah induk dan jalu asal dirinya.
(18.37)
Jum’at, 30 Agustus 2013